Dua Puluh Tiga | Panji
Langit Abu-Abu
Kadang dering masih ada namamu, beberapa pesan singkat untukku.
Entah apa maksudmu yang ku tahu. Sayangimu aku telah keliru.
—Tulus, Langit Abu-Abu
Persetan dengan segala kisah romansa manis. Persetan dengan segala sumpah serapah yang aku lontarkan dalam perjalanan kembali dari Simfoni menuju Echos.
Aku nggak membalas sapaan Laura, candaan Helena, sampai tatapan penuh tanya dari Mahesa. Bersegera masuk ke ruanganku yang langsung kukunci rapat-rapat. Aku sedang tidak ingin diganggu siapapun.
Menyandarkan punggung di sandaran sofa dan menutupi kedua mataku dengan lengan adalah hal pertama yang coba aku lakukan untuk menepis suara-suara yang muncul di kepalaku.
Menyukai Arka. Berpacaran dengan iparnya sendiri.
Kalimat telak dari Cindy yang jelas tidak segera dibantah oleh Indira. Dia hanya berdiri diam dan aku bisa membaca semuanya dari dua tatapan perempuan yang habis berseteru itu.
Cindy benar dan Dira nggak menyangkalnya.
Tiba-tiba semua bayangan tentang apa yang aku lihat dan Indira katakan jadi masuk akal. Alasan dia meninggalkan teman-temannya di rooftop café ketika ulang tahun Helena. Tepat setelah kukatakan bahwa Laura dan Arka akan menyusul. Alasan dia mengatakan bahwa dia sedang dalam kondisi tidak baik ketika aku mendekatinya.
Semuanya karena perempuan itu masih menyukai Arka?
Lantas apa makna dari segala upaya yang aku usahakan? Mengantarnya pulang, menghiburnya, mendengar cerita-ceritanya, sampai mengajak ia berdansa untuk membuatnya lupa dari tekanan keluarganya sendiri. Ah, aku baru ingat, kami baru aja saling bertukar cerita dan dia mungkin menerima perasaanku karena merasa kasihan.
Aku pernah sakit hati ketika kak Risa menolak perasaanku. Namun, aku mencoba paham sebab ia melakukannya karena akan segera pergi ke luar negeri. Dia mungkin hanya menganggapku adik seperti ia menganggap rekan-rekan lain di Echos. Tetapi, dengan Dira, dengan segala usaha menyenangkannya yang aku dapatkan adalah sakit hati karena ia memanfaatkanku untuk menyembuhkannya dari patah hati karena Arka?
Karena iparku sendiri? Karena orang yang disayang setengah mati oleh adikku?
Lagi-lagi aku keliru memahami perasaan. Aku keliru sudah sayang padanya.
*
"Oi!" Saka masuk ke dalam ruanganku, seperti biasanya tanpa mengetuk. Dia langsung duduk di atas sofa dengan meja yang bertumpuk kertas. "Apaan, nih? Blok koreo yang terbaru?"
Aku menggumam.
Dia membuang napas. "Berasa sepi, ya, Pan? Dulu tuh di lantai tiga selalu hidup karena ramai anak-anak. Ada Cindy dan Indira juga," celotehnya.
Sudah hari ketiga setelah kejadian laknat tersebut. Di tengah pikiran atas tanggung jawab kelas yang sudah aku daftarkan, aku masih sungkan menanyakan langsung apa yang sudah terjadi pada Indira. Kesal juga penasaran.
"Mumpung kelasku masih mulai setengah jam lagi, nggak mau cerita?"
Shit! Saka dengan segala kemampuannya memancing orang-orang. Tetapi menahan semuanya dalam kepala sendiri juga hanya membuatku semakin pusing. Dia menarik senyum waktu tahu kalau memang aku nggak bisa merahasiakan perasaan kalut seorang diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Be
Ficción GeneralIndira pikir hidupnya di umur 20-an sudah cukup menyedihkan; tinggal sendiri, berbohong kepada keluarganya, dan bekerja sebagai pegawai paruh waktu agar tetap bisa hidup. Ia pikir kehidupannya mulai membaik saat ia menjadi bagian dari grup musik fa...