Dua Puluh Dua | Indira
Rahasia dan Rasa Kecewa
Semuanya berjalan dengan normal, latihan, hari final, dan pembuatan album kedua kami—kecuali isi kepalaku yang terus menerus bertengkar oleh kegaduhan pilihan diri sendiri. Kerja sama antara Echos, Simfoni dan Gunadarma pula sudah selesai. Sesuai janjiku pada Panji tempo hari, aku memenuhi ajakannya untuk makan malam bersama.
"Ya udah, nggak apa-apa." Aku menenangkan laki-laki itu waktu dia bercerita kalau entah bagaimana Saka menangkap gerak-gerik kami menyembunyikan status hubungan. Membuatnya tak bisa berbohong dengan sahabat sendiri.
"I don't mean to. Tapi Saka memang se-jeli itu."
"Beneran nggak apa-apa, Panji. Kalaupun setelah ini, Cindy menuntut penjelasan, aku juga nggak akan bisa kabur, 'kan, karena kami housemate?"
"Dengan status kalian grup musik yang sedang terkenal-terkenalnya?"
"Pan, it's not something big, okay? Aku rasa nggak ada penggemar dan media yang mau repot-repot mengungkit kisah asmara kami. Arka mungkin, sebab dia frontman dan dia sudah menikah dengan adikmu sendiri. Tetapi kamu tau kan yang dia lakukan? Dia menjaga supaya Laura nggak diekspos berlebihan. Setauku, Ilham cukup sering diganggu oleh media karena tidak terlihat menggandeng perempuan waktu Devan pernah memposting pacarnya. Cindy juga sedang dekat dengan Yogi."
Namun, sepulangnya kami dari late-dinner tersebut, Cindy sudah tertidur. Paginya, kami sarapan bersama dan dia masih nggak mengungkit apapun. Jadi, aku menganggap dia hanya tahu kalau kami dekat. Seperti tujuan awalnya; membuatku dekat dengan salah satu anggota Echos agar patah hatiku sembuh.
Kembali pada rutinitas lama membuatku dejavu pada kegiatan bolak-balik antara studio latihan, studio Arka, dan kelas-kelas musik di Simfoni. Aku nggak tahu Cindy ke mana waktu ia meninggalkanku bersama Arka di studionya. Sebentar lagi giliranku recording untuk lagu utama waktu tiba-tiba pertanyaan Bapak kembali berbayang di kepalaku.
"Arka, seumur hidup sampai sekarang, pernah nggak sekali aja merasa terbebani dengan pekerjaan sekarang?"
"No, I love it. Aku nggak merasa menjadi musisi itu sebuah pekerjaan. Tetapi juga nggak bisa dibilang hobi yang membuang-buang waktu. Lebih kayak... bagian dari hidup. Kenapa tiba-tiba nanya?"
Aku menggeleng. "Cuma pengin tahu. Soalnya aku lihat kamu bisa 24 jam di sini. Kadang tertidur dengan musik yang terputar dari komputer."
"Aku rasa karena aku menganggap studio sempit ini kayak rumah kedua? Aku juga nggak yakin. Tapi beristirahat, bekerja, dan berdiskusi di sini sering bikin aku ngerasa, 'oh, ini cara aku merasa berguna.'"
"Dan nggak pernah merasa bosan? Cemas? Depresi?"
Arka membalikkan kursi keagungannya—sebenarnya kursi beroda biasa. Namun, kami sering bercanda menyebutnya agung karena kepalanya sering tak tampak kala kami melihat dari jauh karena sandarannya yang tinggi. Tatapan seriusnya membuatku cemas sendiri dia menyadari sesuatu yang kusembunyikan.
"Menjadi pekerja seni memang rentan merasa cemas sampai depresi, Ra. Karena kita bermain dengan emosi dan perasaan dan kerap kali perasaan sensitif itu berbalik menyerang kita sendiri. Aku pernah merasakannya? Mungkin pernah dan mungkin akan terjadi lagi. Tetapi satu hal yang perlu kita ingat; semua pekerjaan punya risiko."
Aku termenung memikirkan kata-katanya waktu Cindy masuk dan dia mengakhiri menceramahiku.
"Punya passion yang kuat nggak akan cukup bikin kita bertahan kalau dari hati yang paling dalam, kita nggak punya keinginan melakukannya."
*
Aku percaya Cindy. Aku percaya pada sahabatku.
Setelah selesai perekaman bagianku dan Cindy, aku memintanya menyusulku ke kantin Simfoni yang syukurnya hari ini tidak begitu ramai. Kami memilih duduk di sisi luar kantin, di bawah naungan payung yang hanya mampu melindungi dua orang saja.
"Kenapa?"
C'mon, Ra. Memintanya memahami posisimu seharusnya nggak akan sesulit ini. Dia pasti paham dengan apa keputusanku setelah semua yang terjadi.
"Masalahmu dengan Panji?"
"Kamu... udah tau?"
Dia meletakkan minuman jus botolan yang baru dibukanya. "Obviously obvious. Aku sebenarnya nunggu kamu kasih tau daripada membiarkan Saka memberi pertanyaan tanpa jawaban apa ada sesuatu dari kalian." Dia mendesah. "Kenapa sih, Ra, nggak mau jujur sama teman sendiri?"
"Bukan nggak mau—"
"Tapi nggak bisa? Kita kenal udah mau empat tahun. Aneh kalau rasanya selalu harus aku yang bertanya lebih dulu daripada kamu yang kasih tahu sendiri. Tentang perasaanmu sama Arka, aku yang tanya kenapa. Tentang perasaanmu sama Panji, aku juga yang mendorong. Tentang konflikmu dengan keluarga juga aku. Aku masih di sini, nggak menghakimi pilihanmu, 'kan, Ra?"
"It just... kamu terlalu peka."
"Dan masalahnya?"
"Aku bakal mundur dari Harmoni dan Simfoni." tukasku dalam satu tarikan napas. Cindy yang kuperhatikan bakal menarik minumannya mendekat malah berhenti. Dia menatapku dengan tatapan yang nggak pernah ku sadari sebelumnya.
Marah. Terluka.
"Nggak."
"Dy... kamu tahu, 'kan, kondisi keluargaku."
"Enggak."
"Dy, please...." Aku nggak kuat menatapnya, hanya bisa menunduk memainkan jari-jemariku di atas paha. Keputusan ini udah membayangi kepalaku sejak Panji mengatakan kalau mereka bisa melatih lima belas murid tanpa kehadiranku. Membuatku berpikir perkataan Bapak mungkin ada benarnya. Satu hari nanti, mereka akan punya kehidupan sendiri, meninggalkan orang-orang yang tak punya kuasa seorang diri.
Ditambah fakta bahwa Panji tetap berhasil menjalankan bisnis kelas tari di Echos padahal ia tak begitu menyukai menari. Panji tetap berhasil dan hidup menjadi anak yang baik. Dan aku iri ingin menjadi sepertinya juga.
"Ra, lihat aku sekali lagi dan bilang dengan lantang kalau kamu yang mau pamit dari Harmoni."
Aku menggeleng lemah, memberi tanda nggak sanggup melakukannya.
Dia berdecih lalu tertawa sinis. "Arka benar, 'kan? Passion yang kuat nggak cukup bikin kita bertahan kalau dari dalam hati, kita nggak mau melakukannya. Dari awal, tekad kita semua sama di Harmoni; sama-sama mau sukses, mau bergerak seirama, dan percaya satu sama lain. Tapi ini balasan kamu atas rasa percaya kami sama keahlian yang kamu tunjukkin di 2016?"
Aku mendengar gesekan antara kaki kursi besi dan lantai waktu Cindy hendak bangkit dari duduknya. "Nggak usah ngomong sama aku kalau jawabannya cuma bentuk keegoisan semata." Aku baru berani melihat tatap nyalangnya waktu itu, "setelah rahasia besar kalau kamu menyukai Arka, sekarang rahasia baru apa yang kamu sembunyikan? Pacaran dengan iparnya sendiri?"
"Dy...." Aku hendak menegurnya waktu menyadari ada satu sosok tinggi dan tegap yang melihat pertengkaran kami. Sejak kapan dia di sana? Mengapa dia tidak bilang berniat menyusulku ke sini? Sebanyak apa yang sudah dia dengar dari adu mulut kami?
"Panji...." Dan aku cuma bisa berdiri, melihat sahabatku berbalik dan Panji melangkah pergi.
Kini, aku benar-benar sendiri.
Senin, 1 Juni 2020 | 10.51
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Be
General FictionIndira pikir hidupnya di umur 20-an sudah cukup menyedihkan; tinggal sendiri, berbohong kepada keluarganya, dan bekerja sebagai pegawai paruh waktu agar tetap bisa hidup. Ia pikir kehidupannya mulai membaik saat ia menjadi bagian dari grup musik fa...