[Dua Puluh Lima-End | Indira] Perihal Merelakan

126 23 15
                                    

Dua Puluh Lima (End) | Indira

Perihal Merelakan


Cinta bukan tentang menanti dan menunggu

Tetapi memang telah telah waktunya tuk bertemu

Walau tak berakhir bersama,

Mungkin nanti

Sampai nanti bertemu kembali

—Monita Tahalea, 168

*

Bapak, maaf karena Dira mengirim pesan seperti ini dan nggak pulang ke rumah menemui Bapak. Dira nggak yakin bisa mengungkapkan semuanya jika Dira melihat mata Bapak.

Bapak selalu jadi panutan Dira. Selalu jadi idola nomor satu yang nggak akan pernah tergeser oleh orang lain. Sekalipun ada orang lain sehebat Beethoven dan karya-karyanya, setegas pemimpin dan perintahnya, sehebat pahlawan dan kekuatannya, Dira tetap akan memilih Bapak sebagai komposer terbaik, pemimpin keluarga, sang pahlawan terhebat.

Dira masih ingat pertama kali Bapak mengajarkan Dira bermain piano. Dira masih ingat Bapak melarang Dira keluar bermain kecuali jika sudah selesai berlatih serius selama empat jam setiap harinya. Dira marah sama Bapak tetapi Dira tetap saja bermain. Karena, entah diciptakan dengan magis apa, piano selalu berhasil bikin Dira merasakan segala macam emosi; marah, sedih, kecewa dan bahagia. Dan Dira tau Bapak juga merasakan hal yang sama.

Makanya Bapak marah ketika telinga Bapak nggak mengizinkan Bapak untuk mendengar dengan baik. Sama seperti Dira, Bapak juga nggak bisa lepas dari piano klasik itu. Dira tahu Bapak pura-pura membersihkan piano padahal Bapak rindu bisa menciptakan nada-nada lagi.

Lantas, Bapak bertanya sama Dira mana yang harus Dira pilih? Impian dan teman Dira atau keluarga Dira?

Dira nggak mau dan nggak bisa memilih salah satunya. Dira masih ingin bermain Canon, lagu pertama yang Dira kuasai tanpa arahan dari Bapak. Lagu yang selalu Dira mainkan dan punya kenangan amat sangat membekas bagi Dira.

Dira udah terlanjur jatuh cinta pada segalanya dan Dira nggak punya rencana untuk kalah pada segala kendala.

Semoga kali ini Bapak percaya sama Dira. Sebagaimana Dira selalu percaya sama keluarga kita. Dira minta maaf kalau Dira durhaka sama Bapak. Dira pasti akan pulang ke rumah dan sekalipun Bapak masih marah sama Dira, dan mungkin menganggap Dira bukan anak yang baik, Dira tetap akan menganggap Bapak sebagai panutan Dira.

Dira sayang Bapak.

*

Merelakan salah satunya.

Aku nggak pernah berpikir kalau satu hari akan datang ketika aku diminta memilih salah satunya. Bagaimana sesuatu yang membentukmu menjadi dirimu yang kuat dan tegar seperti sekarang diambil dari hidupmu?

Let It Be. Merelakan. Menjalani sesuatu yang sudah ditakdirkan untukmu.

Mungkin itulah yang sudah aku jalani bertahun-tahun. Merelakan kuliah dan pekerjaan di café untuk memfokuskan diri pada perkembangan Harmoni. Merelakan perasaan pada Arka karena sadar yang terbaik bagi laki-laki itu bukan aku. Merelakan rasa tak nyaman akibat patah hati dan membuka diri untuk kemungkinan yang baru bersama Panji.

Aku sudah merelakan begitu banyak hal dalam hidup dan menjalani apa yang aku mampu. Hingga, kali ini, aku tidak ingin lagi dipaksa memilih salah satunya.

Aku akan menyimpan dan menjaga semuanya dalam hati.

Perihal merelakan memang tidak akan pernah sesederhana memilih dan membuang pilihan yang lain. Terutama ketika kamu beranjak dewasa karena kamu sadar efek pilihanmu hari ini akan kamu jalani sampai kamu tua nanti.

[Panji]

Apa kata Bapak?

[Indira]

Belum dibalas

Tapi nggak apa-apa

Aku bakal pulang nanti di akhir tahun

Dan entah gimana, aku yakin, masih ada secercah dukungan untukku

[Panji]

Banyak berharap untuk kebaikan hubungan kalian

Terus, Cindy?

[Indira]

I'll talk to her

Suara panggilan dari pengemudi daring memanggilku dari ketikan pesan yang belum selesai.

"Mbak Indira, kan? Pesanan chocolate lava cake?"

Sejujurnya, selama empat tahun, kami hampir tidak pernah mendiamkan satu sama lain. Jadi, aku nggak tahu solusi apa yang bisa kugunakan untuk membujuk Cindy agar mau bicara denganku lagi. Empat tahun menjadi bandmate dan housemate nggak menjamin kamu tahu apa yang sahabatmu suka. Atau mungkin... karena aku terlalu egosentris.

Memusatkan segala-segalanya pada sudut pandangku.

Dia pasti terluka. Dikhinati orang yang sudah berjanji selamanya untuk bersama.

Ah, kata-kata selamanya memang menjebak. Kalau seandainya waktu itu Cindy tidak mengatakan agar aku tinggal bersama Harmoni selamanya, bagaimana hidupku sekarang ini?

Apa aku hanya akan menjadi penyanyi? Apa aku punya kesempatan belajar langsung dari mereka? Apa aku punya kesempatan menyentuh lagi piano?

Yang jelas, aku nggak menyesal. Bertemu mereka lebih dari sekadar definisi atas kebahagiaan dan keberkahan. Sebab karena mereka pula, aku menjalani banyak hal yang luput dari pandanganku.

Aku menempelkan satu post-it bergambar beruang madu, Grizzly—yang ini aku yakin merupakan favorit Cindy. Dia sudah pergi dengan Yogi sejak sore tadi. 

Marahnya jangan lama-lama karena aku nggak punya teman yang mau diajak nonton animasi padahal kamu sering ketiduran di tengah film.

Ngomong-ngomong animasi, aku ingat Robin pernah bertanya dengan Pooh, gimana kalau jadinya ia terpisah dengan sahabatnya? Pooh bilang, asal kita terpisah bersama, semuanya bakal baik-baik aja.

But if we're not together, there something you must remember. You're braver than you believe and stronger than you seem, and smarter than you think. But the most important thing is even if we're apart, I'll always be with you. I'll always be with you.

—Fin

Minggu, 7 Juni 2020 | 12.06

Aku tahu, ini nggak ditulis dengan cukup memuaskan. Karena kekuranganku waktu nulis seringnya ada di bagian mengeksekusi penulisan dari konflik menuju ending. But I'll try my best.

Sampai jumpa di cerita lain.

Masih ada ExtraPart Panji-Indira dan Saka-Kiara setelah chapter ini.

Terima kasih karena sudah membaca, memberi bintang, dan komentar. Semuanya sangat-sangat mampu memberi semangat untuk terus menulis! 

Let It BeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang