Delapan | Indira
Dongeng Kehidupan
Kami berangkat dari Simfoni pukul 8.30. Mengalami lampu merah beberapa kali hingga sampai di Echos pukul 9.15. Cukup terlambat dari waktu yang kami janjikan saat mobil yang mengantar berhenti di depan sebuah bangunan kecil yang berwarna keabu-abuan. Ada tulisan Echos besar di salah satu kaca depan.
Cindy membayar ongkos perjalanan dan aku membuka bagasi mengambil keyboard dan gitar. Ini milikku pribadi, hasil mengumpulkan uang dari bekerja dan tampil di sana-sini. Untuk dapat masuk, kami masih harus menaiki tiga anak tangga dan menemukan Laura di bagian resepsionis.
"Hai!" Dia menyapa kami dengan senyuman lebar setelah seseorang menerima kembali kartu yang diberikannya. Aku sempat memperhatikannya saat ia berjalan ke koridor yang penuh dengan orang-orang yang duduk. Mungkin menunggu giliran kelasnya.
"Kak Panji dan Saka udah sampai. Mereka di lantai tiga." Laura menunjukkan kami tangga yang posisinya tak begitu tampak dari luar. "Naik aja. Ruangannya tepat di depan tangga. Maaf, tapi aku nggak bisa temani kalian lama-lama."
Kami menaiki tangga. Di lantai dua ternyata sama saja. Ada kelas-kelas yang suara musiknya samar-samar terdengar ke luar. Masih tampak beberapa orang yang sepertinya menunggu jadwalnya.
Keadaan di lantai tiga justru sangat berbeda. Sunyi. Dengan satu ruangan luas yang dibatasi oleh kaca. Juga sebuah ruangan yang kuperhatikan saat Panji keluar dari sana. Membawa satu set pengeras suara.
"Ka, bantu buka pintunya." Saka yang duduk di salah satu sofa buru-buru bangkit. Membuka pintu sehingga akses masuk menjadi lebih mudah bagi kami. Ia menunjuk satu sudut tempat aku bisa meletakkan keyboard. Cindy menyandarkan gitarnya ke dinding.
"Kalau dibagi dua sisi gini bisa nggak sih? Kalian di sudut sana latihan, aku dan Saka di sisi dekat pintu?"
"Bisa. Tapi kalian nggak terganggu kan dengan suara keyboard?" tanyaku memastikan.
"Kalian bawa keyboard kira-kira buat kawinan siapa, nih?"
Aku dan Cindy tertawa lepas. Saka yang bertanya malah dipukul lengannya oleh Panji. "Tingkahnya jangan malu-maluin coba."
"Iya, tau, Pan. Cairin suasana lah biar gampang akrab. Ketemu artis ini."
Setelahnya Panji menarik sebuah meja rendah berbentuk lingkaran. Ia mendudukan diri dan kami mengikutinya. Kalau dilihat-lihat memang rasanya ruang ini tidak sehidup ruangan yang aku lihat di lantai satu dan dua. Sudah luas dan hanya dibatasi kaca, kemudian cahaya matahari yang masuk langsung ke ruangan. Cermin panjang di satu sisi dan sisi lainnya terdapat sofa, meja, dan barang-barang yang aku tak tahu fungsinya apa.
"Ruangan ini memang jarang dipakai." Dia membaca pikiranku. "Ruangannya dipakai kalau kami dapat job untuk merancang penampilan skala besar kayak anniversary. Terus yang konsep penampilan gimana?"
Aku mengeluarkan catatan dari tas. "Masih belum spesifik bakal gimana. Kami udah mikir beberapa lagu yang sekiranya cocok untuk dinyanyiin. Tujuannya satu; gimana caranya supaya yang ngelihat mereka juga bisa rasain cerita-cerita masa muda."
"Berarti ada vibe nostalgia?"
"Tepat." Aku menjetikkan jari. "Young love. Kebebasan. Pertemanan. Kira-kira itu kata kunci dari lagu-lagu yang kami pilih." Aku menyodorkan catatan pada Saka dan Panji, membiarkan mereka memahami coret-coretan kasarku.
"Kalian punya saran judulnya?"
"Cerita kita?" Saka menyarankan yang dengan cepat ia tarik lagi. "Lupain aja yang aku bilang tadi."
"Sebenarnya aku juga mikir persis kayak Saka," kata Cindy. "Tapi jujur aja, judulnya kurang menggungah perhatian."
"Selain cerita, apa kata yang cocok? Dongeng? Kisah? Fantasi?" Panji ikut memikirkannya. Kisah masih terdengar biasa. Fantasi jelas nggak cocok. Dongeng boleh sih, cocok juga dengan tema nostalgianya. "Dongeng? Dengung?"
"Ngiung.... Ngiung. Hap! Lalu ditangkap." Saka bernyanyi dan menepuk tangannya seolah ia benar-benar menangkap nyamuk. Dia benar-benar punya selera humor yang nggak terduga. Kelihatannya Saka cukup ahli membuat orang lain merasa nyaman.
Aku melihat Panji menutup muka. Berusaha menggeser duduknya agak jauh saat Saka sengaja mendekatinya. "Udah tau aku, Pan. Dulu juga tingkahnya begini."
"Ka, serius coba. Sebentar aja." mohonnya. "Dongeng sebelum kita dewasa?"
"Dongeng kehidupan, gimana?" reflekku bertanya. Yang malah disetujui. "Di kita udah oke. Kalian gimana?"
"Untuk penampilan biasanya kita mikir eksekusi untuk opening, break-dance, sama closing-nya. Itu yang paling dasar sebelum nyusun koreografi. Kita punya berapa hari sebelum latihan full tim?"
"3-4 hari. Jangan buat terlalu susah karena selain kita nggak tahu basic skill mereka, setiap penampilan juga dibatasi lima menit. Sebisa mungkin rangkuman cerita tersampaikan dengan baik." Panji menjawab. "Usahakan mereka langsung bisa latihan minggu depannya."
Aku jadi terpikir. Penampilan teatrikal biasanya memakan waktu yang agak panjang untuk latihan. Aku tidak pernah menampilkan teatrikal tetapi menonton drama musikal tradisional pernah satu kali waktu aku masih kecil dulu. Nggak bisa dikatakan aku mengingat bagaimana euforia saat aku menyaksikan itu semua. Kagum, takjub, dan bikin penasaran.
"Arka ngirim pesan dari gurunya. Gimana kalau mulai siang ini, mereka udah latihan?"
"Cepat banget," protesku. "Kita bahkan belum nyusun lagunya."
"Dan kami belum buat koreografinya." Saka malah merebahkan diri. Ia menutup mata.
"Ya udah, sih. Nggak apa-apa." sahut Cindy tenang. "Kita pakai kesempatan ini untuk lebih kenal dengan mereka. Lebih mudah terpikir idenya kalau kita tau gimana mereka, kan?"
Sabtu, 2 Mei 2020 | 9.44
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Be
General FictionIndira pikir hidupnya di umur 20-an sudah cukup menyedihkan; tinggal sendiri, berbohong kepada keluarganya, dan bekerja sebagai pegawai paruh waktu agar tetap bisa hidup. Ia pikir kehidupannya mulai membaik saat ia menjadi bagian dari grup musik fa...