Lima | Panji
Magis Sebuah Senyuman
Aku datang terlambat saat melihat teman-temanku sudah duduk melingkar di salah satu ruangan Echos; Mahesa, Saka, Kiara dan Zoya. Hanya Helena yang tak ada di sana sebab jelas dialah pusat perbincangan kami hari ini.
Aku melepaskan jaket denim dan meletakannya asal di samping. "Jadi gimana rencananya?"
"Teman Saka yang punya cafenya. Dia bilang rooftop siap di-booking untuk tiga hari lagi. Aku bisa beli kuenya sendiri. Yang lain gimana?"
"23 hari Sabtu, kan, ya?" Zoya membuka ponselnya. "Aku ada kelas latihan sampai jam setengah tiga."
"Dengan Helena, kan?" Mahesa memastikan yang dibalas anggukan. "Nanti, kamu yang bawa Helena ke cafenya, bisa?"
Zoya menyanggupinya. "Mahesa, Panji, kalian bisa datang sebelum pukul tiga? Bantu dekor aja."
"Aku bisa," jawab Mahesa cepat. Aku berusaha mengingat-ingat jadwal untuk tanggal 23. Nggak ada kelas yang perlu ku ajari, tetapi seingatku, aku ada janji dengan agensi. Sepertinya mereka tertarik untuk menggunakan talent Echos sebagai bintang iklan produk mereka. "Sorry, aku ada janji."
Mahesa melihat ke luar pintu transparan ruangan besar ini. Laura, adikku, memberi kode sesuatu yang tak ku pahami. "Helena di depan. Kita bubar sekarang."
"Sebentar," sergah Zoya cepat, "Band-nya gimana?"
Bunyi notifikasi sekali berdentang dari ponsel di genggaman Kiara. "Mereka bisa." Disambut helaan napas lega. Membuatku bingung sendiri karena tertinggal beberapa obrolan rencana mereka di awal. Aku bertanya pada Zoya yang dijawabnya,
"Bandnya Arka, Harmoni. Belakangan, mereka lagi naik daun dan Helena salah satu penggemarnya. Kamu kenal mereka?"
Aku menggeleng. Aku tahu tetapi tidak kenal. Laura pernah cerita tentang laki-laki yang dia sukai, namanya Arka dan sekarang mereka resmi di catatan hukum dan agama. Arka bergabung di sebuah band dan mereka kenal karena Laura menyukai musik-musik Harmoni.
Waktu itu, aku penasaran. Jadi, sekali waktu, aku mendatangi penampilan kecil mereka di satu café. Mereka punya empat anggota dengan satu perempuan yang bernyanyi. Setelahnya, aku sempat khawatir dengan image anak band yang melekat pada mereka. Syukurnya, dugaanku salah. Arka terlihat baik dan ramah pada penggemarnya.
Mengetahui Laura bersama laki-laki yang baik, cukup melegakan bagiku.
*
Map perjalanan yang dikirim Saka menunjukkan tanda sampai di tujuan saat aku masuk ke sebuah halaman café yang fasadnya tidak terlalu besar. Bangunan itu didominasi oleh kaca, terdiri dari dua lantai dan saat aku turun dari mobil, samar-samar aku mendengar lagu yang dimainkan dari rooftop. Acara ulang tahun Helena sudah dimulai.
Perayaan ulang tahun menjadi semacam tradisi di Echos. Aku sebagai pemilik studio tari itu pernah membaca sebuah artikel. Tempat kerja yang menyenangkan itu sangat mempengaruhi mood pekerjanya. Terutama bagi kami, orang-orang yang terlibat di seni yang mood kerja akan sangat mempengaruhi kedinamisan alur kerja. Jadi, acara kumpul-kumpul dan ulang tahun seperti ini sudah jadi kebiasaan kami.
Aku baru saja ingin bertanya saat seorang barista menyapa dari balik meja. "Temannya Saka?"
"Iya," mungkin dia sering melihatku dengan Saka, entahlah.
"Langsung ke kanan, naik ke lantai tiga. Ada pintu yang mengarah langsung ke rooftop."
Aku mengikuti instruksi sang barista. Semakin dekat, suara musik semakin jelas. Jika aku tak salah dengar, tadi mereka menyanyikan selamat ulang tahun. Sekarang, lagunya sudah berganti.
Ada pintu ganda yang harus aku dorong ke arah luar. Aku tertegun di langkahku sesaat setelah menutup pintu.
Seorang perempuan sedang menyanyi, terlihat manis dengan senyumannya yang jelas ke arahku. Pakaiannya berwarna merah muda dan tangannya terlihat sibuk memindahkan helai anak rambut yang berterbangan karena angin.
"Cinta selalu sembuhkan luka. Karena diri sangat berarti*."
Sebuah gitar dari perempuan lainnya, aku yakin pernah melihatnya dulu sekali, menutup penampilan. Kami bertepuk tangan, aku menyusul duduk dan mengernyit heran saat Mahesa menyerahkan topi kerucut.
"Ulah Saka. Udah pakai aja." Dia menjawab malas. Aku melihat yang lain masih dengan topi masing-masing. Saka, teman yang udah aku kenal dari kompetisi kami di sekolah dulu, yang masih konsisten dengan segala keunikannya, pura-pura terlihat tak bersalah. Ia malah meminta empat orang yang selesai tampil untuk istirahat dan duduk bersama kami.
"Kalian berempat? Arka mana?"
"Menyusul terlambat, bareng Laura, kan, Pan?"
Aku mengangguk. Teringat pesan singkat Laura kalau dia akan mampir sebentar di rumah sebelum menyusul kami di sini.
"Kalian udah saling kenal, belum?" tanya Kiara pada yang lain. Dan Cindy yang duduk di sebelahnya langsung bersuara. "Aku, Cindy, gitaris." Ia menepuk punggung laki-laki di sebelahnya. "Devan, cajon, di depannya, Ilham, basis, dan yang vokalis namanya Indira."
Dia menyebutkan semua nama anggota lengkap dengan posisi mereka. Mereka tersenyum sopan tetapi mataku tidak bisa terlepas dari kecanggungan Indira. Dia terlihat agak menunduk dan mengaduk-aduk minuman jeruknya.
"Kalian dari Echos? Tempat kerjanya Laura?" Cindy bertanya.
"Pada dasarnya, Laura adik Panji dan Panji yang punya Echos. Jadi bisa dibilang, Echos juga dekat dengan Laura meski dia bukan penari." Jelas Kiara.
"Laura bukan penari?" Aku mengeluarkan napas. Pertanyaan yang selalu sama.
"Di Echos nggak cuma ada penari," sahutku sambil menjaga nada suara agar tak terdengar kesal. "Kalian sendiri gimana?" Aku mengalihkan pembicaraan.
"Maksudmu, Harmoni?" Cindy mudah terditraksi juga. "Kami terbentuk sekitar enam...?" Dia lalu bingung sendiri.
"Tujuh," koreksi Ilham. "Tujuh tahun yang lalu dan cuma berempat."
"Aku gabung paling akhir." Indira menjawab. "Pertamanya cuma menjadi pengganti tapi sekarang udah resmi."
Ah, wajar saja wajahnya asing. Pasti dulu yang aku lihat adalah formasi awal mereka. Aku melempar senyum waktu dia merasa aku memperhatikan. Aku masih menyimak obrolan mereka sampai pesan Laura masuk.
"Laura dan Arka sampai lima menit lagi." kataku. Indira lagi-lagi memperhatikanku, dengan tatapan yang berbeda, dan buru-buru memalingkan wajahnya. Ada yang salah denganku?
"Aku ke bawah, sebentar," pamitnya, "Ada yang mau dititipi?"
"Tolong bilang sama pramusajinya untuk bawa dua minuman lagi, ya." kata Saka. Indira mengangguk dan pergi begitu saja.
Kenapa aku merasakan ada sesuatu yang aneh? Oke, dadaku tadi berdegup saat dia melihatku tetapi tatapan matanya... agak sendu? Mengapa berbeda dengan saat dia bernyanyi?
"Aku ke toilet," kataku sambil bangkit. Diam-diam memperhatikan ia yang berada di lantai dua dan turun ke lantai dasar.
Selasa, 28 April 2020 | 11.45
* Potongan lirik diambil dari lagu Monica Tahalea - Hai.
Video musiknya bisa dilihat di media paling atas. Terus, aku membayangkan suara Indira ya kayak vibe-nya Monita. Agak-agak akustik (?)
Sampai jumpa di bab berikutnya!
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Be
General FictionIndira pikir hidupnya di umur 20-an sudah cukup menyedihkan; tinggal sendiri, berbohong kepada keluarganya, dan bekerja sebagai pegawai paruh waktu agar tetap bisa hidup. Ia pikir kehidupannya mulai membaik saat ia menjadi bagian dari grup musik fa...