Delapan Belas | Indira
Menjadi Anak Yang Baik
Malam pertama kami sampai, aku masih tidur di kamar sendiri. Paginya selepas sarapan ringan, selayak tour guide profesional, aku mengajak Panji, Saka, dan Cindy berjalan kaki menuju kebun teh.
"Kalian capek? Mau istirahat? Ada warung dekat sana."
"Aku masih kuat," kata Cindy. "Kalian gimana?"
"Masih sanggup, kok. Kebunnya yang di sana ya?" Saka menunjuk hamparan tanaman teh yang hijau dengan para petani yang cekatan memetik dan menyortir daun-daun yang tak lebar tersebut. "Ah, udaranya segar banget."
Tawaku keluar. "Kalian cukup antusias ya. Aku pernah bawa tamu ke sana tapi sepanjang perjalanan ngeluh mulu, katanya capek. Padahal nggak sampai lima belas menit jalan kaki."
"Karena jalannya agak nanjak, Ra, tetapi karena pemandangannya hijau bikin puas mata."
"Ra, kebun seluas ini punya kalian semua?" tanya Saka.
Kepalaku menggeleng. "Bukan. Rata-rata dimiliki oleh penduduk yang lama tinggal di sini. Kalian juga nggak lihat pabrik-pabrik atau gedung besar, kan? Karena di sini semua teh masih diolah tradisional di rumah-rumah penduduk. Masih ada perjalanan jauh untuk lihat kebun teh yang dipunya sama perusahaan."
"Enak dong. Masih segar. Terus teh yang kemarin diolah ibumu sendiri juga?"
"Iya. Langsung dipetik dari kebun sendiri tapi nggak sebesar yang kalian lihat sekarang. Cukup diolah untuk konsumsi keluarga aja."
Kami berdiri mendekati tanaman teh. "Kalian tau kenapa cuma bagian atas daun teh yang dipetik?"
"Nggak tahu. Pokoknya di TV kelihatannya gitu."
"Untuk menjaga kualitas rasa dan aromanya. Dipetik yang atas, yang warnanya masih hijau muda," aku memetik satu, "misalnya kayak begini. Yang nggak terlalu lebar mekarnya."
"Memangnya kalau salah petik kenapa?"
"Bakal ngaruh ke masa panen. Aku nggak tahu terlalu banyak, cuma sedikit-sedikit." Aku membawa mereka berkeliling lagi. "Kalau kalian tertarik, datang aja ke rumah yang warna putih itu," ada tulisan berukiran Butik Teh di depannya. "Mereka biasanya ngajarin gimana cara memilih teh yang baik sampai cara menyeduhnya. Mereka juga jual oleh-oleh."
"Besok, deh, yuk," ajak Cindy yang disetujui yang lainnya. "Boleh kali ya, Ra, kalau kami lagi suntuk sama kerjaan, main-main ke sini."
"Silakan. Rumah selalu terbuka buat kalian."
*
Cindy memintaku menemaninya di kamar hanya sampai dia tertidur saja. Dia bilang dia nggak sengaja menonton video penampakan kuntilanak dan ketakutan tidur sendiri karena di belakang kamarnya terdapat pohon besar. Padahal aku juga sudah katakan untuk tak usah takut karena tawa yang paling mungkin didengarnya adalah tawa cekikikan dari tamu-tamu lain.
Memastikan Ia tertidur pulas, pukul sebelas aku ke dapur, berniat mengambil satu gelas air putih untuk menghilangkan dahaga lantas menyusulnya ke alam mimpi. Namun, yang kujumpai adalah Panji yang tengah membuka kulkas.
"Lapar?"
"Hmm," Di tangannya ada satu sachet bubuk coklat instan. Jelas nggak akan cukup untuk menganjal perutnya sampai besok pagi. "Kamu juga?"
"Cuma haus." Aku menandaskan habis satu gelas dan membuka lemari di atas. "Kalau lapar, di lemari ada mie."
Dia heran jadi aku menjelaskan, "Selain roti, Ibu juga selalu menyediakan mie. Biasanya stok sering habis kalau lagi musim liburan, karena haha-hihi bareng teman kadang bikin kita cepat lapar. Dua atau satu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Be
General FictionIndira pikir hidupnya di umur 20-an sudah cukup menyedihkan; tinggal sendiri, berbohong kepada keluarganya, dan bekerja sebagai pegawai paruh waktu agar tetap bisa hidup. Ia pikir kehidupannya mulai membaik saat ia menjadi bagian dari grup musik fa...