Tujuh | Panji
Sampai Kita Bertemu Lagi
Ruangan yang tadinya bergema oleh suara musik menjadi lebih sunyi setelah aku mematikan pengeras suara. Aku meneguk minuman, mengelap keringat yang mengalir dari pelipis menuju leher.
"Saya ada janji setelah jam dua. Latihannya dilanjut besok, ya." tegasku. Yang disambut senang oleh raut-raut yang kelelahan. Mereka berjejer di dekat dinding, meluruskan kaki dengan napas yang masih naik turun. Antara aku yang terlalu keras melatih atau mereka yang belum bisa mengatur napas dengan baik.
Aku sudah akan keluar saat dua perempuan mendekat. "Kak Panji, boleh foto?"
"Sekarang?" Dengan kondisi berkeringat gini? Tetapi aku tak tega jadi tetap memenuhi permintaan mereka. Mengambil beberapa foto dan izin meninggalkan ruangan. Tepat setelah keluar ruangan, Laura tengah sibuk dengan komputernya.
"Kamu jadi ke Simfoni?" Ia menjawab dengan anggukan.
"Tunggu, ya. Aku mau ke sana juga." Aku mempercepat langkah, naik ke lantai tiga. Satu-satunya ruang kosong yang kuperuntukkan diri sendiri. Membasuh badan dan mengganti baju agar lebih layak.
*
"Simfoni aja udah cukup luas." cerita Laura. "Arka bilang mereka punya beberapa kelas khusus untuk bermain musik atau melatih vokal. Harmoni biasanya latihan dan rekaman di sana."
"Kamu kenal dekat dengan Harmoni?"
"Lumayan," jawabnya. Aku memarkirkan mobil dan hendak turun waktu Laura menatapku penuh curiga.
"Kenapa?"
"Kakak naksir ya dengan Indira?"
"Mau dikunci?" ancamku saat dia masih saja berusaha menyelidiki diriku. Dia turun sambil tertawa dan aku mengikutinya berjalan. Letak kantin nggak terlalu jauh dari pintu utama. Ramai oleh beberapa anak muda yang membawa tas gitar di pundaknya.
Laura kesulitan mencari meja karena jarak pandangnya terbatas. Tubuhnya kecil dan sekarang tertutup oleh tas-tas dari orang yang berlalu lalang. Aku menepuk pundak agar dia mendekat dan tak menabrak orang-orang.
Sambil mengantri, aku masih mencoba mencari. Menemukan Arka, Indira, dan Cindy di satu meja paling ujung. "Mereka udah di sana." Kataku menunjuk satu arah. Kami menyelesaikan antrian dan membayar lalu menuju ke meja yang sama.
"Jadi, aku butuh bantuan Echos." jelas Arka setelah mempersilakan kami untuk terus makan. "Ada sekolah yang dulu aku latih ekstrakulikuler. Mereka mau tampil teater musikal tetapi nggak ada yang bisa tanggung jawab."
"Gurunya?"
"Udah terlalu tua. Dia yang melatih waktu kompetisi awalnya masih off-air. Tahap selanjutnya live di salah satu tv swasta dan kalian tau beban professionalitas lebih besar dari sekadar kompetisi biasa."
"Jadi mereka butuh penari dari Echos?" tanya Laura.
"Mereka butuh guru dari Echos." Arka mengoreksi, "Yang sanggup mengawasi latihan lima belas anak. Pak Edo, guru mereka, minta aku cari kenalan yang bisa diajak kerja sama. Satu-satunya yang bisa aku pikirin cuma kalian."
"Kami juga?" tunjuk Cindy pada dirinya sendiri.
"Mereka mau tampilkan perpaduan nyanyi dan tarian. Kalian mau?"
*
Untuk mendapatkan kejelasan kerja sama seperti apa yang diinginkan Pak Edo, Arka berinisiatif membuat janji temu langsung, antara Echos, Simfoni dan pihak sekolah. Dia masih berbicara dengan Pak Edo, mengonfirmasi tiga orang yang bersedia melatih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Be
General FictionIndira pikir hidupnya di umur 20-an sudah cukup menyedihkan; tinggal sendiri, berbohong kepada keluarganya, dan bekerja sebagai pegawai paruh waktu agar tetap bisa hidup. Ia pikir kehidupannya mulai membaik saat ia menjadi bagian dari grup musik fa...