Dua Belas | Indira
Dijebak Hujan
Jalan benar-benar macet. Kombinasi jam pulang kerja, hujan deras, dan orang-orang yang tak sabaran untuk segera sampai rumah memperparah keadaan. Jika saja mood Panji sedang buruk, aku yakin, ia akan mengumpat kesal.
Itu hanya keyakinan dalam benakku karena yang terlihat justru sebaliknya. Ia membesarkan volume suara radio sehingga lagu Lauv yang sedang diputar meredam suara hujan. Ia terlihat santai. Menikmati waktu dengan mengetuk-ngetuk jarinya pada kemudi.
"Mau nyanyi?" Ia bertanya tiba-tiba, membuatku gelagapan. Lantas dia mengikuti lirik yang bersenandung dan aku mengikutinya.
"They pull me in the moment. You and I alone and people may be watching. I don't mind cause..."
Tetapi dia berhenti setelah mencapai chorus. "Kok berhenti?!"
"Aku mau dengar suara kamu," Dia membuang muka waktu mengatakannya. "Lebih suka hujan atau cuaca cerah?"
"Kayaknya... dua-duanya? Aku menikmati hujan tetapi juga suka merutukinya." Aku tertawa. "Aku menikmati bagaimana hujan bikin aku merasa mellow dan produktif menulis lirik tetapi juga marah-marah sendiri karena aku nggak bisa pulang dan jemuranku jadi nggak benar-benar kering."
"Jadi, harus menunggu hujan turun supaya bisa menulis lirik?"
"Enggak juga. Menulis kan perihal kebebasan. Bukannya sama aja kayak kalian waktu menari?"
Mobil berhenti di lampu merah. Kelihatannya kami akan mendapat dua sampai tiga kali lampu merah. "Sarana ekspresi diri, kan?" Ia melihatku dan tertawa. "Perlu aku turunkan suhunya? Khawatir kamu dingin."
Aku menggeleng padahal tanganku yang tergenggam kusembunyikan di balik jaket denim Panji. Sedari tadi pagi, aku berpura-pura lupa tentang pertanyaannya kemarin. Aku nggak ingin curiga terus menerus karena Panji menginginkan sesuatu dari pertemanan kami. Aku ingin percaya bahwa yang dia tanya barusan murni karena kepeduliannya saja.
"Panji, tentang yang kemarin...."
"Nggak apa-apa, Dira. Jangan jawab terburu-buru kalau bikin kamu nggak nyaman." Dia membalas cepat.
"Makasih," Semoga dia nggak salah memahami apa yang aku maksud. "Kamu baik. Pasti banyak yang suka. Bukan aku nggak mau kenal denganmu tetapi kita baru kan baru kenal sebentar. Jadi... aku agak terkejut sedikit."
"My fault. Aku yang terburu-buru."
Panji benar-benar tahu bagaimana membuatku makin merasa bersalah dan buruk. Dia memperlakukanku dengan baik dan sekarang mengantarku pulang. Jika saja aku tidak sedang dalam proses melupakan Arka, aku yakin akan semudah itu menyukai dia.
Akhirnya kami lepas dari lampu merah. Dari sebuah bundaran, aku memintanya untuk terus lurus.
"Jadi, kamu tinggal dengan Cindy?"
Aku mengangguk. "Baru beberapa tahun. Panji, aku boleh minta tolong? Nanti mampir di apotek terdekat, ya. Kayaknya stok obat kami sudah habis."
Dia mengangguk. Sulit melepas pandangan dari jalan raya. Rintik yang jatuh di kaca mudah membikin kabur jarak pandang. "Ada lagi yang mau kamu beli?"
"Itu aja."
"Makan malam kalian?"
"Aku sudah menyiapkan bubur untuk Cindy. Dia cuma perlu menghangatkannya. Nanti aku bisa memasak sedikit untukku."
"Oke." Nadanya tak seantusias pertama tadi. Di sebuah deret pertokoan, kami berhenti. Dia hendak memaksa turun mengambil payung tetapi aku menyekal lengannya. Sebentar. Tak akan kebasahan juga.
"Cepat juga." Komentarnya sebab tak sampai lima menit, aku kembali. Rumah kami tak begitu jauh lagi. Aku mengarahkannya hingga mobil berhenti di depan pagar.
"Hati-hati di jalan, ya." Aku berjalan cepat-cepat. Rumah kami merupakan rumah ganda, tiga rumah dalam satu halaman. Karena merasa nyaman, kami melanjutkan kontraknya hingga akhir tahun nanti. Rumput liar di depan rumah yang tak begitu tebal membuat tanah agak licin.
Mobil Panji baru meninggalkan pagar depan waktu Cindy membuka pintu. Dia melonggokan kepala ke luar dan aku baru menyadari dia menggulung diri dengan selimut seperti burrito berjalan.
"Diantar siapa?"
"Panji." Aku menggosok kedua tangan memperoleh kehangatan. Memang suhu pendingin di mobil Panji tadi dingin. Aku nggak protes atau menaikkan suhu karena dia sepertinya terlihat tak merasa kedinginan.
"Jaketnya?"
"Punya Panji. Kelupaan dikembalikan." Waktu di Echos, aku menggunakannya untuk menutupi kepala. Tetapi di apotek tadi, aku memakainya melapisi pakaian. Sekarang jaketnya lembab.
"Menurutmu Panji benar-benar lupa?"
"Menurutmu Panji akan kembali dalam lima menit untuk jaket ini?" balasku. "Panji nggak akan ngabisin waktu di jalan kali, Dy."
"No, I mean, Panji bisa aja negur sebelum kamu turun. But he lets it. Kayaknya dia benar-benar suka kamu, Ra."
"Okey, Dy. Stop the bullshit. Aku mau mandi."
"Jangan lama-lama. Nanti sakit." Aku hanya bergumam dari dalam kamar waktu Cindy berteriak. "Aku hangatkan sup."
"Kamu masak?! Kan lagi sakit."
Cindy membuka pintu kamar. "I am better. Thanks to you."
"Terus kenapa keliling rumah dengan selimut?! Jorok tau."
Dia menyengir. "Dingin, hehe. Memangnya Dira, nggak berasa apa-apa karena kehangatan cinta Panji."
"Dangdut."
Ia tertawa dan menutup pintu. Aku merogoh tas dan mengambil ponsel. Mengetikkan sebuah pesan yang ternyata dibalas cepat oleh sang penerima.
*
[Indira]
Panji, maaf.
Jaketnya tertinggal.
[Panji]
Nggak apa-apa
Simpan dulu denganmu
[Indira]
Kamu kan lagi nyetir?!
Kok pegang hp?
[Panji]
Hahaha, enggak kok
Terjebak lampu merah, lagi.
[Indira]
Duh, maaf ya.
[Panji]
Padahal tadi, Ra, aku mau ajak kamu makan malam
Berdua
Tapi kamu keburu bilang mau makan bareng Cindy
[Indira]
Pan...
[Panji]
Next time aja kali ya, Ra?
Sekalian dengan jaketnya.
*
Minggu, 10 Mei 2020 | 10.45
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Be
General FictionIndira pikir hidupnya di umur 20-an sudah cukup menyedihkan; tinggal sendiri, berbohong kepada keluarganya, dan bekerja sebagai pegawai paruh waktu agar tetap bisa hidup. Ia pikir kehidupannya mulai membaik saat ia menjadi bagian dari grup musik fa...