Tujuh Belas | Panji
Makna Sebuah Rumah
Aku dan Saka sepakat untuk menyetir bergantian. Sebelum memulai perjalanan, masing-masing dari kami pulang ke rumah masing-masing untuk mengepak barang dan sedikit makanan untuk dimakan dalam perjalanan. Kemudian aku menjemput Saka, dia membawa kami ke rumah Indira dan Cindy lalu kami melanjutkan perjalanan.
Setengah perjalanan, Saka meminta aku menggantikannya. Dari spion dalam, aku memperhatikan kondisi Indira yang gelisah. Cindy tertidur di pundaknya setelah meminum obat anti mabuk dan dia terus membuang pandangan ke luar jendela. Jika tadi kami tak mengantarnya pulang, aku tak tahu bagaimana kondisinya sekarang.
"Ra, kita udah belok kanan, sekarang gimana?"
"Ah... eh... lurus aja. Nanti ada papan dengan tulisan wisata kebun teh, kita masuk ke sana."
Mungkin, memang kami harus mengajaknya bicara. Atau dia akan terus tenggelam dalam pemikiran buruknya sendiri. "Rumahmu dekat kebun teh?"
"Masih harus jalan kaki lima belas menit dari rumah."
"Enak dong, Ra, kawasan rumahnya pasti sejuk," komentar Saka.
Dia mengangguk. "Dulu aku suka keluar rumah sebelum subuh waktu daun-daun masih berembun basah."
"Nggak takut gelap dan keadaan sepi gitu?"
"Namanya aja kawasan wisata, Ka. Nggak pernah benar-benar sepi. Tengah malam terutama waktu tahun baru suka ada yang bakar-bakar jagung. Kadang aku sering dikasih."
Tak lama Ia menunjuk sebuah rumah dengan pekarangan luas yang dikelilingi pagar hijau yang telah memudar sebagian catnya. Halamannya luas dan aku memarkirkan di bawah pohon, slot parkir yang satu-satunya tersisa.
Indira nggak repot-repot mengeluarkan tas ranselnya saat ia melihat perempuan paruh baya keluar dari rumah. Langsung berlari memeluknya.
"Kok nggak bilang-bilang mau pulang?"
Pundaknya tersedu sedan. "Maafin, Dira, Bu."
Sang Ibu mengusap-usap pundaknya. Ia melihat kami bertiga yang masing-masing membawa barang di tangan. Cindy masih setengah sadar jadi aku mengambil alih tas Indira dari tangannya. "Udah jangan nangis lagi. Malu sama temanmu."
Kami bergantian menyalaminya. "Temannya Dira, kan?"
"Iya, Bu."
"Masuk dulu. Ibu buatkan teh." Dia mengiring kami ke ruang tamu. Rumahnya benar-benar sederhana tetapi dirawat dengan baik. Tak ada daun rontok yang dibiarkan di halaman. Kecuali warna cat yang memudar, selebihnya rumah ini memang punya kesan tradisional dengan perpaduan kayu dan bata.
Indira izin masuk ke kamar sebentar dan kembali dengan wajah yang lebih segar. Ibunya membawakan empat cangkir teh dan roti yang masih hangat. "Diminum, Nak, tehnya masih hangat. Ibu pilih yang melati supaya badan kalian bisa relaks. Capek kan habis jalan jauh."
Rasa tehnya manis tetapi tak berlebihan. Dijamin orang-orang akan menyukainya dalam satu sesapan. "Rotinya juga. Ibu langsung yang buat dan dijual ke tamu-tamu." katanya. Belum apa-apa kami sudah disajikan panganan yang enak begini. Jelas aja aku dan Saka nggak bisa berbohong waktu diberi makanan enak. Bikin aku jadi teringat mama di rumah. Dia juga suka buatkan kami roti kalau Saka main ke rumah.
"Bapak di mana, Bu?"
"Udah pergi ke kebun teh. Biarkan bapak tenangkan diri dulu. Dengar Ibu ya, yang kalian buat itu nggak salah. Jadi jangan sekali-kali merasa kayak gitu. Kalian kan kerja."
"Tapi, kan, Bu—"
"Udah. Enggak ada tapi-tapian. Ibu nggak mau dengar kamu cengeng begini. Kalian ikut Dira ke penginapan, istirahat dulu. Udah Ibu minta Mas Karim bersihin dua kamar. Nanti malam balik ke sini, kita makan sama-sama."
Ultimatum Ibunya membuat tak ada dari kami yang membantah. Dipikir-pikir, sifat mereka yang tak senang dibantah sama-sama mirip. Dia mengantarkan kami ke bangunan lain dan memberikan kami penginapan gratis dengan pemandangan bukit kecil dan kebun teh di belakang kamar.
*
Indira nggak berbohong waktu dia bilang udara pagi hari akan sangat dingin. Saka kembali terlelap di tempat tidurnya dan menggulung diri dengan selimut. Setelah matahari agak terik— sekitar pukul tujuh dan udara menghangat, aku keluar dengan hoodie.
Satu orang laki-laki muda yang kemarin diperkenalkan sebagai adik laki-laki Indira mengenakan kaus longgar dan mengecat pagar. Di tangannya terdapat cat minyak.
"Pagi, Kak," Farel menyapaku lebih dulu. Aku nggak tahu apakah faktor ia yang terbiasa hidup berdampingan dengan turis atau karena ia yang ramah dan bebas seperti Dira dan Ibunya, ia sama sekali tak canggung mendekati kami, teman-temannya Dira. "Jangan dipegang dulu pagarnya. Catnya belum kering."
Aku mengambil kuas lainnya. Ikut mengecat. "Loh, kamu nggak sekolah?"
"Libur."
"Tanggal merah?" Perasaanku tanggal merah masih minggu depan.
"Bukan. Ujian tengah semester. Minggu lalu untuk kelas tiga, minggu ini untuk kelas satu dan dua." Dia menjelaskan. "Tapi nggak libur-libur juga sih. Tetap ada tugas dari guru."
"Memangnya Farel kelas berapa?"
"Tiga. Tahun depan udah harus kuliah."
Aku duduk tanpa alas di rumput yang ternyata basah. Mau bangun tetapi sudah terlanjur. "Oh, bagus dong. Udah tau mau kuliah di mana?"
Farel lantas mengikutiku. Duduk langsung di atas rerumputan dan tak lupa membuka sarung tangan. "Penginnya sekolah pariwisata atau manajemen perhotelan sih, Kak. Soalnya aku pengin kerja di sini aja, kelola penginapan dan bikin jadi lebih besar. Tapi aku nggak yakin bisa."
"Kenapa?"
"Nggak ada kampus perhotelan atau pariwisata di dekat sini. Bapak juga selalu bilang kalau kami harus merantau sejauh-jauhnya. Kak Dira udah. Tapi tadi malam aku dengar kak Dira ngaku sama Bapak kalau dia udah nggak kuliah lagi. Terus aku ragu Bapak masih ngasih izin aku sekolah ke luar untuk belajar. Takutnya dikira aku bakal bohong juga." Dia membuang napas kecewa. "By the way, Kak Panji punya kakak atau adik?"
"Adik perempuan. Kayak kamu sama Amel. Umurnya setahun lebih muda dari Dira."
Dia nggak memperhatikanku waktu bicara, "Pasti adiknya nurut ya sama Kakak. Beda banget kayak kak Dira. Dia keras kepala kayak Bapak dan selalu pengin bebas kayak Ibu. Dia yang buat kesalahan malah aku yang kena imbasnya."
Aku menepuk pundaknya akrab. "Belum tentu kok, Rel. Siapa tahu Bapak lebih percaya sama kamu. Lagian kamu anak laki-laki satu-satunya. Pasti jadi favorit Bapak."
"Boro-boro favorit, kak. Dari dulu yang disayang sama Bapak itu cuma kak Dira."
"Adik kakak juga pernah bohong sama orang tua padahal dia kelihatan kayak anak yang jujur dan paling disayang apalagi dia anak bungsu. Masa mencari jati diri semua anak itu berbeda. Kakak yang sedarah sama dia aja nggak sama. Apalagi kamu, Dira, dan Amel." Aku memainkan kuas yang catnya sudah mengeras. "Tapi kenapa Bapak nggak ngizinin kalian bermusik?"
"Pendengaran Bapak udah nggak bagus. Harus pakai alat bantu. Belakangan, motoriknya juga agak terganggu jadi harus rutin dibawa terapi sama Ibu. Terus aku sering lihat Bapak marah-marah waktu dia nggak bisa tekan tuts piano dengan baik. Bapak benci dengan dirinya sendiri makanya nggak mengizinkan kami menekuni musik untuk hidup."
"Udah pernah ajak bicara Bapak?" Dia mengangguk. "Kadang, orang tua perlu dikasih tau, nggak semua yang terjadi pada beliau, akan terjadi juga pada anaknya. Kita semua punya pengalaman pertama yang sama; pertama kali menjadi anak dan pertama kali menjadi orang tua. Makanya kita benar-benar harus menjalani hidup dengan sebaik-baiknya."
Rabu, 20 Mei 2020 | 9.30
Bila mimpi tak sejalan dengan apa yang kau tuju
Tak sesuai dengan apa yang kau mau
Lepaskanlah beban pikiranmu, dengarkan hatimu.
-Pengingat, Kunto Aji
KAMU SEDANG MEMBACA
Let It Be
General FictionIndira pikir hidupnya di umur 20-an sudah cukup menyedihkan; tinggal sendiri, berbohong kepada keluarganya, dan bekerja sebagai pegawai paruh waktu agar tetap bisa hidup. Ia pikir kehidupannya mulai membaik saat ia menjadi bagian dari grup musik fa...