Part - 10

181 11 1
                                    


Hari ini Reyhan pulang agak terlambat, memang biasanya terlambat, tapi ini lebih terlambat. Oke terlalu banyak kata terlambat.

"Rey, gue mau ngomong." Ucap Renita.

Reyhan berjalan begitu saja menuju meja makan.

"Ngomong aja langsung." Ujarnya tak enak.

"Lo beneran pacaran sama Jessica?"

"Lo perlu bukti?" Tanya Reyhan balik.

Renita terdiam.

"Emang lo tadi nggak liat pas di lapangan?" Reyhan mulai jengah.

"Terus apa urusannya sama lo?" Tanya Reyhan lagi.

"Apa yang musti gue bilang ke mama papa lo kalo nantinya mereka nanya?"

"Gampang, lo nggak usah ungkit masalah ini didepan mereka, mereka pasti nggak akan tau."

"Dan Rey, Jessica itu penindas, dia bukan cewek baik. Beberapa kali gue ngeliat dia lagi ngebully adek kelas." Renita mencoba meyakinkan Reyhan.

Reyhan merasa tersungut. Ia menggebrak meja makan dengan emosi meluap. Ia tak suka bila pacarnya dihina seperti itu.

"Terus siapa cewek yang paling baik buat gue?! Lo?! Bahkan gue nggak niat sama sekali nerima perjodohan ini!! Asal lo tau aja, gue terpaksa!!" Ucapnya telak.

Kemudian dengan gusar Reyhan mendorong kursi yang tadinya ia duduki dan berlalu ke kamarnya.

Renita tertegun. Ia masih berdiri disana dengan pikiran yang kalut. Ia tak mengerti mengapa Reyhan begitu marah.

Baru pertama kalinya Reyhan membentak seperti itu, baru pertama kalinya Reyhan marah kepadanya.

Iya, dia memang salah karena terkesan menjelek-jelekkan Jessica dihadapan Reyhan, tapi ucapannya benar, Jessica bukan cewek yang baik untuk Reyhan.

Dan ia tak akan jadi yang terbaik untuk Reyhan.

*****

Renita berjalan menuju balkon kamarnya sambil membawa handphone. Ia duduk di kursi itu. Memandang langit yang gelap, dengan sedikit bintang. Malam ini bulan tak nampak.

Ia berniat menghubungi ibunya, sudah lama sejak ia berbincang lewat via telepon, ibunya selalu sulit dihubungi.

Seperti kali ini, sudah berkali kali ia menghubungi nomor ibunya, tapi tetap tak diangkat. Kemudian ia mencoba menghubungi ayahnya.

Dering ke tiga, ayahnya mengangkat telepon dari Renita.

"Halo Ren, ada apa? Ada masalah?" Tanya ayahnya to the point.

"Enggak pa, Renita cuma lagi kangen sama papa," ada jeda.

Ia menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.

"Dan mama." Sambungnya.

"Kalo kamu kangen tinggal telepon aja nomornya. Udah ya Ren, papa lagi sibuk, kapan kapan kamu main aja kerumahnya mama papanya Reyhan."

"Tapi kan pa-" belum selesai ia berbicara, telepon nya sudah terputus.

Renita menghembuskan nafas berat. Bukan masalah ia tak mau mengunjungi ayah dan ibunya Reyhan, hanya saja, ia merindukan orang tuanya sendiri, bukan orang tua orang lain.

Ia membuka aplikasi chat di handphone nya, hendak mengirim voice note untuk ibunya, entah akan diputar ataukah diabaikan.

"Ma, Renita kangen mama. Kalo mama lagi nggak sibuk, telepon Renita ya."

Tanpa tahu bahwa di balkon sebelah Reyhan sedang duduk sambil meminum kopi hangatnya. Ia kembali memandang langit. Sepertinya akan turun hujan. Renita benci hujan, apalagi disusul oleh petir.

Tirai yang memisahkan balkon nya dengan balkon kamar Reyhan tertiup angin. Udara semakin mendingin.

Renita segera masuk kedalam kamar, tak lupa mengunci pintu balkonnya dan beranjak ke atas tempat tidur kemudian menyelimuti seluruh tubuhnya.

*****

Pukul 12 malam, hujan lebat mengguyur. Renita sungguh benci malam ini, dimana ia mendengar gemuruh langit dan lebatnya suara hujan. Entah sejak kapan, ia selalu resah bila hujan mengguyur daerahnya.

Ia menutup kedua telinga dengan tangannya yang berada didalam selimut.

Petir pertama mulai muncul, suara gemuruh keras terdengar setelahnya.

Renita kaget.

"AAAAAAAAA!!"

Ia benci petir.

Ia benci suara gemuruh itu.

Dan ia mulai menangis.

Petir kedua mulai datang, disusul gemuruh keras itu lagi, kali ini tak hanya itu. Lampu dirumahnya juga ikut padam.

Renita tak bisa menggambarkan bagaimana suasana hatinya dikala seperti ini.

Ia mulai bangkit dan berniat menyusul Reyhan di kamar sebelah, karena gelap, ia seperti menabrak sesuatu.

Petir ketiga menyusul, dengan suara gemuruh lebih keras dari sebelumnya.

"AAAAAAAAA!!"

Renita menyerah, ia hanya berjongkok dilantai sambil menutup kedua telinganya. Tangisnya makin kencang.

Ia hanya berharap Reyhan segera datang ke kamarnya, atau sekedar mengecek keadaannya.

Petir ke empat, dibarengi gemuruh itu lagi, dan suara tangis Renita makin mengecil.

Ia susah bernapas, entah apa tapi seolah sedang berada ditempat pengap dan gelap, ia tak bisa bernapas dengan normal. Tubuhnya bergetar hebat.

Tak lama, ada seseorang dengan membawa benda bercahaya memasuki kamarnya.

Renita masih sibuk menutup kedua telinganya. Ia sungguh takut gemuruh keras itu terdengar lagi.

Reyhan melihat Renita.

Reyhan melihat Renita yang terduduk dilantai dengan kedua tangan menutupi telinga. Ia panik, segera berlari mendekat.

"Ren, ren, lo kenapa Ren?" Tanya Reyhan panik.

Renita tak menjawab. Ia masih sibuk berusaha bernapas. Tubuhnya masih bergetar, dan lampu belum menyala.

Reyhan berusaha menenangkan Renita, ia memegang kedua bahu Renita. Tanpa Reyhan sangka, sungguh perempuan itu terlihat rapuh didepannya. Tubuh bergetar, ada bekas tangis, dan napasnya sesak.

Kali ini Reyhan memegang kedua tangan Renita, berusaha melepas tangan yang menghalangi telinga Renita.

Tapi Renita bereaksi lain.

"Jangan!!" Ujar Renita.

"Aku takut." Ujarnya melemah.

Reyhan segera membawa Renita ke pelukannya.

Menenangkan tubuh Renita yang bergetar hebat. Mengelus punggung perempuan itu. Renita tak lagi menangis, perlahan napasnya mulai teratur.

Tanpa Renita sadari, Reyhan berubah lagi dari Reyhan yang biasa. Tapi siapa peduli, semua orang menginginkan Reyhan yang seperti ini.

Setelah beberapa menit, akhirnya lampu kembali menyala. Tak disangka, Renita tertidur dipelukannya.

Tanpa menunggu Renita bangun, Reyhan menggendong tubuh Renita menuju atas tempat tidur dan menyelimuti tubuh Renita.

*****

Hey guys, jujur gue agak nggak dapet feel nya. So sorry guys

HurtTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang