Awal Kekacauan Hidupku (1)

306 79 182
                                    

Bismillah.
Assalamualaikum reader. Hai, hallo. Apa kabar. Semoga selalu dalam lindungan Allah Swt. Tuhan Yang Maha Baik.
Selamat membaca yaa.

Jangan lupa vote dan comentnya 🤗
Check it out 😁😁😊

Author Kaisya

Namaku Kaisya Nurmala. Umurku tepat 17 tahun saat perpisahan kelas di sekolah menengah ke atas, tepatnya dua bulan yang lalu, yaitu 15 April 2015. Saat wisuda berlangsung aku sangat gugup. Aku takut jika aku harus kehilangan mimpiku karena nilai yang aku peroleh tidak memuaskan. Sialnya, apa yang aku pikirkan benar. Nilaiku merupakan nilai yang hampir terendah dari kesekian jumlah siswa yang berada di SMA Negeri 1 Mangolyo. Nilaiku berada dideretan ketiga dari bawah. Betapa terkejutnya aku. Ini benar-benar di luar perkiraan ku.

"Sial! Nilai yang paling buruk. Ah. Allah nggak adil! Padahal aku udah belajar, aku udah sholat 5 waktu, udah relain bagun malem-malem agar bisa mendapat nilai yang sempurna. Aku juga udah rela untuk tidak bermain seperti teman-temanku lainnya. Kenapa sih Allah nggak ngabulin permintaanku? Allah jahat!"

Aku mengerutu dalam hati. Menyalahkan Allah karena belum mengabulkan doa-doaku. Aku marah besar dengan takdir ini.

Selepas acara perpisahan, aku, kedua orang tuaku dan kedua adik kembar ku pulang. Di sepanjang perjalanan aku hanya diam, dan semua keluargaku juga ikut terdiam, mereka paham atas apa yang aku rasakan saat itu. Kecewa mendapatkan nilai hampir terendah, dan tidak bisa meneruskan kuliah di Sarjana Hukum. Aku meratapi nasibku. Aku sedih dan kecewa kepada Allah. Sesekali ayah mencoba melirikku. Tetapi aku selalu mengabaikannya. Hatiku masih terasa sesak. Sakit sekali. Jauh lebih sakit, daripada melihat laki-laki yang aku sayang berpisah denganku. Cinta pertamaku setelah ayah 6 tahun lalu.

Flashback

Tepat ketika aku duduk di bangku kelas 6 di Sekolah Dasar di kampung halaman nenekku . Aku pernah jatuh cinta pada seseorang laki-laki. Cinta monyet mungkin, cinta pertama yang belum bisa aku lupakan hingga sekarang. Dia sangat sempurna, ketampanannya membuat setiap gadis terpesona. Dia tinggi, kulitnya bersih, orangnya rapi, pintar pokoknya terbaik deh. Namun bukan itu yang aku suka darinya, tapi kebaikan dan perhatian kecil yang dia berikan kepadaku.

Berawal dari dia yang selalu memberikan perhatian lebih padaku. Selalu menanyakan bagaimana kabarku. Ketika aku sakit dia adalah orang pertama setelah keluargaku yang sangat perduli padaku. Merawatku dengan kasih sayang yang tulus. Hari-hariku di sekolah hanya aku habiskan berdua dengan dia. Belajar bersama, bergurau, pulang sekolah bareng dan seterusnya seperti itu.

Sebab di desa tidak ada teman yang mau berteman denganku. Mereka berpikir jika anak kota itu manja, sombong dan sok. Di mata mereka aku hanyalah angin yang selalu mereka abaikan. Ada atau tidak adanya aku selalu mereka anggap aku tak ada. Aku memang sedih dengan perlakuan mereka, tapi aku selalu berusaha untuk tetap tersenyum, bertahan dengan semua ini. Berbeda dengan Bagas, dia selalu memberiku semangat yang lebih agar aku kuat.

"Kamu pasti bisa lulus dengan nilai terbaik Icha. Buktikan kalau kamu adalah wanita yang hebat. Jangan pernah menghiraukan orang-orang yang membencimu. Masih banyak orang-orang yang menyayangimu. Termasuk aku, aku akan selalu menyayangimu Cha, percayalah, dan ingat cha, "orang yang membencimu tidak akan pernah perduli dengan kebaikanmu, dan orang yang menyukaimu juga tidak akan perduli dengan kekuranganmu." Tutur Bagas lembut.

Sejak itulah benih-benih cinta muncul diantara kami. Kami memang tidak pacaran. Karena kami membuat komitmen tidak akan pernah pacaran sebelum halal. Sayangnya setelah kami lulus Sekolah Dasar, tiba-tiba ayah menjemputku. Mengajakku pulang dan berniat menyekolahkanku di Sekolah Menengah Pertama di kota tempat kami tinggal. Inilah awal perpisahan kami. Setelah itu kami tidak pernah memberi kabar satu sama lain. Dia dan aku telah disibukkan dengan urusan masing-masing. Berusaha mewujudkan impian kita sejak kecil. Dikala itulah rasa sakit yang pertama kali aku rasakan. Bahkan lebih sakit daripada pengabaian teman-temanku di kampung, dan sekarang rasa sakit itu muncul lagi. Sakit karena tidak bisa melanjutkan kuliah di Sarjana Hukum. Ini sangat menyesakkan hati dan membuatku membenci Allah. (Na'udzubillahi mindzalik)

Hijab dan Masa Laluku (Tahap Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang