Sepuluh menit kemudian kami akhirnya keluar dari café. Aku kembali merapatkan jaketku akibat dingin yang langsung menusuk tulangku. Udaranya lebih hangat di dalam café tadi. Ada rasa menyesal kenapa kami keluar cepat sekali dari café tadi.
“Rotinya enak,” gumam Namjoon basa-basi. Dia ingin bicara lagi denganku rupanya. Kentara sekali.
“Iya. Ukurannya pun cukup besar untuk perutku yang kecil,” balasku jenaka. Namjoon tertawa kecil mendengarnya.
“Kau besar dimana, Chan?”
“Aku besar di kota ini. Setelah menginjak SMA, keluargaku pindah ke Busan karena pekerjaan ayah. Karena aku tidak mau ikut mereka, akhirnya aku tinggal sendirian. Awalnya, cukup sulit karena aku tidak terbiasa hidup sendiri. Namun, lama kelamaan aku menyukai kesendirian dan menjadi terbiasa.”
“Lalu, kenapa kau bekerja? Apa mereka tidak memberimu uang bulanan?”
“Mereka kirim, kok. Tapi jumlahnya tidak cukup. Apalagi biaya hidup di kota besar sudah semakin mahal. Aku tidak bisa terus menunggu dikirim setiap bulan. Makanya aku kerja. Lumayan uangnya bisa menutupi kebutuhanku. Aku bahkan bisa membeli baju dengan uangku sendiri.”
Benar. Aku bangga dengan diriku yang sudah bisa menghasilkan dan menghabiskan uang hasil keringat sendiri.
“Kau tidak lelah?” tanyanya dengan nada khawatir.
Kumasukkan tanganku ke dalam saku jaket dan menoleh kearahnya. “Capek, dong! Apalagi aku sudah kelas tiga. Seharusnya aku masuk ke tempat les dan belajar banyak darisana.”
Aku berhenti. Namjoon juga ikut berhenti dan menatapku. Dia menungguku menyelesaikan kalimatku yang menggantung. Senyumku tersungging diwajahku yang kedinginan.
“Kalau ada tenaga untuk melakukan sesuatu, kenapa tidak dilakukan? Apalagi dunia ini semakin egois. Benar kan?”
.
Aku baru saja hendak membuka kulkas ketika Namjoon menyodorkan segelas kopi hangat tepat di depan wajahku. Aku mendongak ke wajahnya dan melihat sebuah senyum ramah disana. Dengan kedua tanganku kuambil gelas kopinya sambil menunduk sebagai tanda terima kasih. Setelah itu, tidak ada pembicaraan lagi selain suara seruput kopi dari mulut kami masing-masing.
Langkahku bergerak mendekati bar dan duduk di atas stool kayu. Aku tumpu kedua sikuku di atas bar dan menyeruput kopiku sambil bergumam betapa hangatnya kopi ini. Aku sangat berterima kasih kepada Namjoon yang sudah tiba-tiba memberikan segelas kopi padaku. Aku bisa mengerjakan ratusan soal malam ini tanpa kantuk. Kira-kira berapa soal yang bisa aku selesaikan ya?
“Tentang rumah ini…”
Namjoon menyadarkan fantasiku tentang kopi dengan suaranya yang tiba-tiba membuka pembicaraan baru. Mataku beralih menatapnya sambil menaruh gelasku ke atas bar. Punggungku menyandar di sandaran stool sembari menatap Namjoon yang kini duduk di atas counter kitchen.
“Apa sebaiknya kita membagi tugas?” tanyanya lalu menatapku.
Mataku beralih menatap hal lain dan berpikir tentang tugas rumah yang dia bicarakan.
Menyapu rumah, mengepel, mengelap kaca, membersihkan perabot, membuang sampah, mencuci piring, menyiram tanaman, membeli bahan makanan…
“Tidak banyak yang bisa dilakukan dirumah ini.” Namjoon lagi-lagi menyadarkan lamunanku. “Kau tidak perlu menyapu, mengepel, mengelap kaca, dan membersihkan perabot karena semua itu dilakukan sekali seminggu oleh pembantu.”
Eh? Dia barusan membaca pikiranku, ya? Kok dia tahu apa yang kupikirkan?
Aku tersenyum canggung. “Baiklah. Aku bisa melakukan hal lain yang tidak dilakukan pembantumu.”
“Tidak.” Namjoon menggeleng lalu menaruh gelas kosongnya di sampingnya. “Lebih baik kau tidak membebani dirimu dengan pekerjaan rumah. Aku akan melakukan sebagian besar pekerjaannya. Seperti berbelanja dan menyiram tanaman.”
“Biar aku saja yang menyiram tanaman! Aku suka menyiram tanaman,” ujarku mendadak semangat sampai tidak sadar tanganku sudah terangkat tinggi. Aku seperti seorang siswa kepada gurunya.
Namjoon tertawa kecil melihat tingkahku. Aku pun menurunkan tanganku secepat mungkin sambil berdehem pelan.
“Jadi aku yang berbelanja,” kata Namjoon menunjuk dirinya dengan telunjuk.
“Aku akan menyortir barang dan membuangnya. Aku juga akan mencuci piring,” kataku semangat sambil menangkat tangan sekali lagi. Sepertinya ini kebiasaan yang tidak bisa diubah.
“Tidak. Kita akan mencuci piring bergantian.”
Aku mengangguk tanda setuju. Dia pasti memikirkan waktu padatku antara bekerja dan sekolah. Itu bagus karena aku masih bisa fokus pada keduanya tanpa terbebani dengan pekerjaan rumah. Lagipula menyiram tanaman, membuang sampah dan mencuci piring bukanlah hal yang berat. Aku sudah terbisa melakukan semuanya saat kerja.
Aku turun dari stool sambil membawa gelas kosongku ke tempat cuci piring. Saat tanganku hendak mengambil sarung tangan pink untuk mencuci, Namjoon tiba-tiba mengambilnya dan menaruh sarungnya ke tempat semula. Dia menggeleng lalu tersenyum.
“Biar aku saja. Istirahatlah.”
Ucapannya yang begitu perhatian membuatku canggung. Bahkan jantungku berdetak cukup cepat sedetik. Hari ini dia selalu membuatku terkesima dengan mannernya terhadap perempuan. Bahkan caranya berbicara terdengar sangat hangat dan penuh kesopanan. Aku merasa nyaman menjadi seorang perempuan.
“Kalau begitu, aku pamit belajar dulu. Permisi.”
Setelah membungkuk sopan padanya, aku segera berjalan cepat menuju kamar. Tidak peduli bagaimana kikuk dan kakunya badanku saat berjalan. Yang penting aku harus segera bersembunyi di kamarku dan menenangkan jantung ini.
Aku bahkan tidak yakin bisa menyelesaikan sepuluh soal dengan tenang hari ini.
“Tidur aja deh!” gumamku kesal karena tak kunjung tenang, sambil menarik selimutku sampai ke atas kepala.
.
Udah episode 7 tapi belom ada konfliknya😅
Flat banget nggak sih ceritanya? Kasih tau gua di komen ya. Pengen tau nih gimana kesan kalian baca cerita gua😆😆
Thanks yg udah nyempetin baca dan voment cerita gua. Happy Sunday guys and see you mext week😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
"My Strange Housemate" Series
Fanfiction'SERI PERTAMA MY STRANGE HOUSEMATE' Chanhee thought, "Dia orang paling jenius yang pernah aku temui. Tidak ada yang tidak bisa dilakukannya. Koleksi bukunya aja penuh dengan pembahasan dan sisi lain dunia, dan ditulis dengan bahasa Inggris. Sejenius...