Episode 12

571 114 2
                                    

Ini bayar utang update minggu yg udah lewat sebulan😂 happy reading~~

.

Waktu baru menunjukkan pukul tiga sore. Cuacanya cukup bagus untuk berjalan-jalan di taman.

Ceramah Hani tadi memang membuatku berpikir untuk berubah dan tidak lagi memikirkan urusan orang lagi. Tapi tetap aja aku nggak bisa menghilangkan kejadian di toko eskrim tadi. Aku bahkan menyaksikan bagaimana Joohyun menangis tanpa suara dengan kepala tertunduk. Aku juga masih ingat bagaimana tatapan iba dan suara bisik-bisik pengunjung di sana.

Dan, Namjoon… dia pergi meninggalkan Joohyun semenit kemudian. Dia pergi tanpa meninggalkan sepatah katapun. Untungnya aku masih menutupi wajahku dengan topi, syal, dan kacamata bulat besar saat kami bertemu pandang di depan pintu. Dia tidak sadar itu aku.

Kejadian itu membuatku lelah. Memikirkannya saja sudah membuatku sedih.

Apa ini alasannya cowok yang aku temui di kencan buta tidak pernah lagi menghubungiku? Apa caraku berbicara membuat mereka tidak nyaman?

“Aku pikir dengan bereaksi dan sedikit terbuka akan membuat mereka nyaman,” gumamku sedih sambil menendang-nendang daun yang berguguran.

Setelah setengah jam menghabiskan waktu di taman, aku pergi ke perpustakaan kota. Rencana awalnya sih mau belajar sampai malam disana. Tapi sepertinya aku tidak akan bisa konsentrasi disini. Jadi aku pergi meminjam beberapa buku untukku pelajari.

Sesampainya dirumah, aku mendapati ada sepasang sepatu heels berwarna hitam mengkilap di rak sepatu. Siapa ya? Apa Namjoon sedang ada tamu?

Aku pun berjalan di koridor tanpa menimbulkan suara langkah apapun. Ruang tamu dan dapur tidak ada siapa-siapa. Tapi aku lihat ada dua peralatan makan dan beberapa bungkus ramyeon yang belum dibuang di wastafel.

Tiba-tiba suara pintu kamar mandi berbunyi. Aku pun terkejut dan hampir melompat. Aku menoleh ke sumber suara, dan mendapati Namjoon yang habis mandi.

Dia menatapku. Aku juga balas menatapnya dengan tangan masih di depan dadaku, merasakan jantungku yang masih berdetak kencang.

Pakaiannya sangat santai dengan kaos abu-abu kelonggaran, celana pendek selutut, rambut basah dan berantakan, dan handuk kecil di pundaknya. Samar-sama aku mencium bau alcohol bercampur dengan wangi sampoonya.

“Sudah pulang?” tanya Namjoon sambil lalu. Dia pergi ke dapur dan mulai membersihkan piring bekas makanannya.

Aku mengangguk kecil. “Kita kedatangan tamu ya?” tanyaku sambil memperhatikan punggungnya yang sedang mencuci piring.

“Iya.”

“Boleh aku tebak?”

“Kalau kau pikir dia Joohyun, kau salah. Yang datang adikku.”

Ooh. Baguslah.

Entah kenapa aku lega sekali. Aku tidak tahu bagaimana reaksi Joohyun saat melihatku dirumah Namjoon. Mungkin aku bisa dianggap orang ketiga atau apalah itu yang sifatnya negatif. Apalagi mereka baru saja putus. Bisa-bisa muncul masalah lainnya.

“Oppa!”

Suara melengking dari dalam kamar Namjoon membuatku terkejut (lagi). Seorang gadis berambut panjang coklat yang tingginya sama denganku, keluar dari kamar sambil membawa iPod-nya. Menyadari ada aku di dekat Namjoon, dia langsung merubah nada bicaranya dan membungkuk sopan padaku. Aku yang canggung juga membalas bungkukkannya.

Setelah itu, gadis itu kembali merubah nada bicaranya—dari lembut penuh tata krama menjadi kesal hendak menerkam—kepada oppa-nya.

“Apa yang kau lakukan dengan barangku? Kenapa nggak mau dipake lagi? Lihat!” Gadis itu menekan-nekan tombol iPod-nya dengan kesal dan kasar. “Nggak mau nyala tau!”

Namjoon pun mematikan keran, membuka sarung tangan cucinya, lalu mendekati adiknya yang menatapnya marah. Namjoon mencoba menghidupkan benda itu tapi tetap tidak menyala.

“Benar. Beli aja yang baru.”

“Beliin.”

“Hah? Kenapa Oppa yang beli? Itukan punyamu. Belilah sendiri!”

“Nggak mau! Jelas-jelas kau yang merusaknya. Kenapa aku yang beli? Ipod ini udah lama di kamarmu, tau.”

“Sebelum Oppamu minjem, barang itu udah rusak dari awal. Aku bahkan nggak pernah memakainya.”

“Nggak! Pokoknya oppa harus beliin yang baru! Ganti!”

Oke, sepertinya aku nggak ada sangkut pautnya dengan pertengkaran ini. Sebaiknya aku pergi.

“Eonni mau kemana?”

Eh?

Langkahku mendadak berhenti. Padahal tinggal lima langkah lagi untuk masuk ke kamar. Seharusnya aku pergi saat mereka berantem tadi.

Dengan berat hati, kuputar badanku dan menatap mereka berdua yang sedang menatapku juga. Oh tidak. Aku seperti sedang melihat dua Namjoon disini.

“Haruskah aku terlibat ke dalam pertengkaran kalian?” tanyaku bingung dengan bahasa sebaku mungkin. Kebiasaanku kalau sedang bingung. Bicara dengan bahasa baku.

Adiknya Namjoon mengangguk. “Omong-omong, namaku Kim Nam Mi. Adik Kim Nam Joon. Jangan kaget liat wajah kami, ya. Sebenarnya kami tidak mirip.”

Dia sebenernya mau ngomong apa?

Aku terpaksa tertawa. “Kalian mirip.”

Nammi mendadak memukul punggung Namjoon yang berada di jangkauan tangannya yang panjang. Hebat banget dah bisa mukul punggungnya padahal jarak berdiri Namjoon tu nggak tepat di sebelahnya.

“Namamu siapa?” tanya Nammi mendadak sambil mengulas senyum ramah.

“Kim Chanhee. Panggil aku senyamanmu aja,” jawabku santai. Yah setidaknya Nammi sama menyenangkannya kayak Namjoon. Bahkan cara mereka untuk akrab dengan orang lain sangat mirip, bertanya nama lebih dulu.

“Kim Chanhee…” Nammi bergumam lirih. Gadis itu bertukar pandang kearah Namjoon yang menatapnya balik penuh arti. Tatapan itu kayaknya cuma mereka berdua doang yang tau artinya. Soalnya setelah itu, mereka berdua udah ganti fokus gitu. Nammi ke arahku, dan Namjoon memainkan ponselnya.

“Jadi menurutmu, siapa yang salah disini, Kak Chanhee?” tanyanya mendadak.

Pertanyaan mendadaknya Nammi bikin aku kaget. Dia mungkin ngira aku dari tadi mendengar mereka bertengkar karena iPod. Aku bahkan nggak ngerti kenapa mereka bisa seribut ini cuma masalah iPod. Namjoon bisa aja beliin dia yang baru. Dia kan punya banyak uang dari kerjaan dan usaha nyewa rumah besarnya ini. Berapalah harga iPod kecil itu. Pasti nggak mahal.

Apa mungkin…

Masalah harga diri?

“Siapapun yang pake terakhir kali dan berakhir rusak, orang itu yang harus ganti,” jawabku tegas.

Jawabanku langsung mencerahkan wajah Nammi lalu memamerkan ekspresi kemenangannya pada Namjoon.

“Nggak baik ngerusakin barang orang. Apalagi udah minjem. Iya kan?” tanyaku balik pada Namjoon yang keliatannya lagi mikir buat nyerang balik.

“Wah, kau tegas juga,” gumam Namjoon terkesima tak percaya.

Aku ngangkat bahu aja.

Nggak ngerti sih maksud ‘tegas’ dia itu apa.

“Yaudah. Kau masuk kedalam kamarku dulu. Nanti kita omongin lagi masalah iPodmu itu. Oke? Sekarang masuk. Yuk masuk yuk,” kata Namjoon tanpa henti sambil mendorong bahu Nammi dan membawanya ke dalam kamar.

Nammi nggak sempet ngebantah udah dikunciin aja ama Namjoon.

Sementara adiknya mengomel di dalam kamar, Namjoon mendekatiku dan berkata padaku dengan jarak cukup dekat sampai aku harus mendongak menatapnya.

“Tunggu aku di taman belakang ya. Ada yang ingin aku katakan.” Namjoon tersenyum, memperlihatkan dimple-nya yang dalam dan manis itu.

Oh, tidak. Aku merasa aku tertangkap basah.

Semoga dia minta ketemu kayak gini bukan mau ngomongin masalah putusnya dia dengan Joohyun. Semoga aja…

"My Strange Housemate" SeriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang