Dianne membuka matanya karena rasa haus menyergapnya. Hanya ada keheningan di ruangan itu bersama dengan kegelapan.
Dia meneguk saliva-nya untuk menenangkan diri dari rasa takut yang menghampirinya. Ia tidak suka kegelapan.
Dianne berusaha menggerakan tubuhnya untuk duduk. Ia mendesis pelan saat rasa sakit di tulang rusuknya mendera dirinya.
"Apa yang kau inginkan?" Tanya suara yang terdengar dingin entah darimana di kegelapan itu, yang membuat Dianne seketika membeku ketakutan.
Terdengar bunyi sepatu beradu dengan lantai. Mendekat ke arah tempat Dianne berada.
Dianne meremas selimut di atas tubuhnya dengan erat. Rasa panik mulai membuat dirinya sesak.
"Kenapa kau terbangun, Dianne?" Ujar suara itu lagi, sekarang terdengar lebih dekat.
Dianne tidak menjawab. Ia berusaha mengatasi rasa sesak yang melilit dadanya.
"Ini aku, Marcus." Ujar suara itu, yang ternyata merupakan suara Marcus.
"Mi---mister Hawskey?" Ujar Dianne tergagap.
"Ya. Ini aku." Ujar Marcus seraya menyalahkan standing lamp yang berada di dekat ranjang Dianne, sebelum menarik kursi mendekat.
Dianne menghembuskan nafasnya setelah cahaya temaram dari lampu menerangi ruangan itu, membuat dirinya dapat melihat wajah Marcus dengan jelas.
"Apa yang kau butuhkan?" Tanya Marcus lagi, berusaha lembut namun masih terdengar sangat dingin.
Dianne menggeleng sungkan. "Rusukmu sakit? Aku akan panggilkan dokter." Marcus hendak menekan tombol bantuan
Tetapi, Dianne kembali menggeleng. "Ti--tidak, Mr. Hawskey. Sa--saya... tidak apa."
"Kalau begitu, kenapa kau terbangun?" Tanya Marcus kembali seraya menatap wajah Dianne.
Dianne menurunkan pandangannya, menatapi tangannya yang di infus. "Sa--saya... ha--haus." Ujar Dianne sepelan mungkin.
Marcus mengambilkan segelas air yang diberi sedotan dan membantu Dianne untuk minum.
Ia benar-benar harus menajamkan pendengarannya saat berbicara dengan gadis itu.
Semenjak Dianne membuka mata, intonasi suara gadis itu semakin memelan. Padahal, sebelumnya bicara gadis itu sudah cukup pelan.
"Te--terimakasih, Mr. Hawskey." Ujar Dianne pelan setelah selesai melegakan dahaganya.
Marcus mengangguk kaku. "Panggil aku kalau kau membutuhkan sesuatu. Jangan banyak bergerak, rusukmu terluka."
Dianne mengangguk sebagai respon atas perkataan Marcus.
Setelah itu, keheningan kembali menghampiri mereka berdua. Dianne memainkan jemarinya, ia tidak pernah berani menatap wajah Marcus yang selalu tanpa ekspresi terlalu lama. Sementara Marcus menatap wajah Dianne, yang berhiaskan perban di sekitar kepalanya.
"Kau sudah tidak perlu memakai masker oksigen?" Tanya Marcus memecahkan keheningan.
Dianne menaikkan pandangannya, menatap Marcus sejenak sebelum mengangguk.
"Istirahatlah." Ujar Marcus setelah hening beberapa saat. Pria itu hendak mematikan standing lamp, namun dicegah oleh Dianne.
"Tolong..ja--jangan di--dima--tikan." Ujar Dianne seraya menatap Marcus dengan mata melebar panik.
Marcus menaikkan salah satu alisnya. "Takut?"
Dianne mengangguk seraya menggigit bibirnya.
"Baiklah." Ujar Marcus. Pria itu menaikkan selimut hingga ke bawah leher Dianne, lalu melangkah ke arah sofa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Amentia (SLOW UPDATE)
RomanceLove comes from insanity.. Bagaimana rasanya ketika kamu bangun dan hidupmu berubah 180 derajat? Apa rasanya jika kamu harus menyerahkan hidupmu dalam genggaman orang asing demi menyelamatkan hidup orang yang kamu cintai? Itulah yang dirasakan Dian...