apa salahnya mencoba?

3K 836 57
                                    

"Mau sampe kapan sih anjing lo begini?"
Jeno melirik Gibran yang sedang duduk di sampingnya, men-scroll isi chatnya bersama Nadhira tanpa mau melakukan apapun kecuali hanya membacanya saja.

"Sampe kapan apanya?" tanya Gibran acuh, padahal disini, Jeno yang jadi sasaran empuk Gibran untuk segala informasi tentang Nadhira.

"Lo sayang lan sama Nadhira? nggak usah cupu lah, deketin aja goblok jangan kayak gini." lalu Jeno menyesap secangkir kopinya. Gibran hanya diam. Jeno sebetulnya nggak jauh brengsek dari pada dia.

Namun Jeno juga tak seperti Gibran yang mengagumi hanya dalam diam. Mengagumi dari jauh.

Apalagi mengagumi sahabat sendiri.

"Kalian tuh kegedean gengsi tolol. Apa salahnya nyoba? lo belom coba, lo gaakan tau hasilnya."

Setelah mendengar ucapan Jeno, Gibran pergi dari warung kopi belakang sekolah. Pusing mendengar celotehan Jeno yang berisik namun siapa tau itu berguna bagi Gibran nantinya.

Betul juga. Gibran belum pernah menyobanya. Dan ia tak bisa menyiksa dirinya sendiri seperti ini.

🐱🐈

Istirahat pertama, Gibran tak sempat memakan sarapannya tadi pagi. Jaemin, Felix dan Sunwoo udah nunggu Gibran di meja kantin sedangkan dia perlu beli roti dulu.

Gibran nggak bisa makan sarapan berat selain pakai roti sama susu. Persis seperti Nadhira.

"Rotinya abis mbak?"

Gibran menoleh. Bukan dirinya yang kehabisan namun suara gadis yang amat ia kenal. Nadhira.

"Yah yaudah susunya aja satu.." Gibran menatap roti di tangannya sejenak, lalu Gibran berinistiatif mendekati nadhira.

"Nad, belum sarapan?" tanyaGibran tiba-tiba pada Nadhira. Nadhira disana menggeleng sembari memberi uang pada si penjual minuman di kantinnya.

"Kebiasaan lo tuh, nih makan ya. Jangan sampe sakit." Gibran memberiikan sebungkus rotinya pada Nadhira.

Kalau dulu Nadhira akan langsung menerimanya dengan tanpa banyak bertanya karena paham Gibran yang sedang sok perhatian padanya.

Sekarang berbeda.

"Ini punya lo Gibran, lo juga belum sarapan kan?"

Dan sebetulnya Nadhira sangat ingin memarahi Gibran karena lelaki itu kerap meninggalkan sarapannya. Namun apa yang bisa dia lakukan sekarang?

"Gua udah gak laper Nad, soalnya udah ngeliat lo. Kenyang."

Nadhira nggak tau harus berekspresi seperti apa. Namun pipinya sukses menghangat. Gibran tetap sama, gombal.

"Di makan ya, jangan sampe sakit."

Ingin sekali Nadhira menyahuti,"nggak usah sok peduli." karena rasa benci yang ada di dalam hati Nadhira lenyap karena melihat begitu manisnya senyuman Gibran untuknya hari ini.

Namun yang keluar dari ucapannya,"iya..makasih ya Gib." dengan sedikit lengkungan kecil di bibirnya.

Gibran tak salah lihat. Nadhira baru saja tersenyum padanya. Namun hanya sekilas dan mungkin Gibran salah lihat.

Pada dasarnya, Nadhira tak benar-benar membenci Gibran. Dengan bertemu Gibran, rasa benci itu seolah lenyap.

Dan entah, Gibran rindu mereka tertawa bersama. Bukan rasa canggung seperti tadi. Gibran rindu rasa hangatnya senyuman dan ucapan Nadhira.

Rindu yang terus membelenggu, dan terus menggangu. Sebab empunya rindu kini mulai tak tahan dengan segala kerinduan.

"Iya bener kata Jeno. Apa salahnya mencoba."

Iya Gibran capek begini terus. Mending maju dan mencoba segala kemungkinan di hatinya agar pertanyaannya terjawab.

blue dusk ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang