Part 7

2.8K 171 15
                                    

Zahra pov

Aku berdiri di depan cermin untuk melihat penampilanku. Seragam putih abu-abu dengan kerudung putih telah menyelimuti tubuhku. Aku menatap wajahku di pantulan cermin. Aku tersenyum melihat betapa cantiknya diriku. Wajahku ini memang selalu cantik dalam keadaan apapun. Aish! Bolehkan sedikit sombong.

Aku mengambil tasku yang berada di atas meja belajarku. Tas berwarna coklat muda yang sudah menemaniku selama 3 bulan ini. Hasil dari memalak mas Ali.

"Sudah siap tinggal mengisi perut deh" gumamku sendiri.

Aku keluar kamar dan berjalan menuju ruang makan. Disana semua sudah berkumpul. Sepertinya aku yang terakhir.

"Pagi semua" sapaku dengan penuh semangat.

"Pagi" jawab semua. Sungguh senang mendengar ucapan yang kompak seperti ini.

Pemandangan hangat ini yang selalu membuatku betah di rumah. Aku bersyukur Allah memberikanku sebuah keluarga yang lengkap tanpa kekurangan kasih sayang dan perhatian.

Aku mengambil duduk disamping umi. Abi ada diujung meja sedangkan mas Ali, mbak Riana dan Meka ada di hadapanku. Sesaat aku melirik kursi sebelah. Kosong dan tidak ditempati sejak beberapa tahun belakangan ini.

Kursi itu tempat mbak Syafa. Kakak perempuan tersayangku. Sungguh aku sangat merindukan dirinya. Mungkin nanti malam aku akan menelfonnya sampai puas untuk mengobati rasa kangenku.

"Aduh ada yang bahagia banget nih sebentar lagi mau nikah" goda mas Ali membuatku melotot kearahnya.

"Ini masih pagi. Mas Ali buat mood ku turun. Astaghfirullah sabar Zahra. Orang sabar dapat uang tambahan dari abi", aku hanya bisa membatin. Aku tidak ingin menimbulkan masalah baru yang akan membuatku pusing sendiri.

Mas Ali malah menatapku dengan wajah puas. Bolehkan aku membuang kakak laki-lakiku ini ke kandang harimau.

Aku mengalihkan pandangan. Kulihat Meka tengah berpangku tangan menatap makanan penuh binar. Tentu saja aku tahu penyebabnya. Ada ayam goreng makanan kesukaan ponakan kecilku ini.

"Belajar masak dek. Bentar lagi kan jadi seorang istri", ucap mas Ali menggodaku untuk kesekian kalinya.

"Mbak suaminya tuh. Mulutnya di lakban aja. Kurung kamar juga jangan biarin keluar nanti beringas", jangan dikira aku tidak bisa membalas perbuatannya. Aku yakin mas Ali sebentar lagi akan protes.

"Kamu kira mas itu hewan hah? Pake beringas segala", nahkan?

Semua tertawa. "Gampang deh. Ntar mbak jinakin deh".

"Wah iya mbak. Tali lehernya aja kalo perlu", lirihku pelan pada kalimat terakhir. Jangan sampai aku mendapat teguran.

Tapi bukannya diam atau apa, mas Ali malah semakin gencar meledekku. "Semoga Alfa betah dengan sikapmu ini dek".

Aku langsung terdiam. Ngomong-ngomong soal dokter Alfa, aku jadi kembali memikirkan tadi malam. Apakah ucapanku menyakiti dirinya? Aku rasa iya. Mungkin lebih tepatnya kecewa.

Aku menghela nafas. Entahlah semenjak lamaran kemarin aku menjadi emosional dan cengeng. Semalam saat sholat tahajud rasa bersalahku muncul lagi. Membuatku kembali menangis hingga mataku bengkak. Ini saja aku sengaja pakai make up agar tidak ada yang tau jika aku habis menangis.

"Oh ya dek nanti kamu berangkat gak usah naik angkot. Sudah ada yang menjemputmu", ucap abi sambil menatap hangat diriku.

"Siapa?" tanyaku penasaran.

"Siapa lagi kalau bukan Alfa" celetuk mas Ali.

Aku sangat terkejut. Dokter Alfa? Menjemputku? Bagaimana bisa?

Cukup MengenalmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang