Part 12

2.2K 136 14
                                    

Zahra merapikan kamarnya yang sedikit berantakan. Selesai sholat maghrib tadi, Firda sahabatnya menelfon jika gadis itu akan datang sehabis isya nanti. Karena itu ia beres-beres terlebih dahulu. Walaupun sebenarnya kamarnya masih bisa dibilang cukup rapi.

Selesai membereskan kamar Zahra memilih duduk dipinggir kasur. Seperti sebelumnya, ia kembali memikirkan soal hubungannya dengan Alfa. Masih ada beban mengganjal dihatinya.

Meskipun akhir-akhir ia sedikit demi sedikit mulai belajar menerima pria itu, tetap saja ada perasaan asing yang singgah dihatinya.

Zahra menghela nafas. Ia memejamkan mata sejenak. Berusaha mengusir sosok pria tampan itu dari pikirannya. Banyak hal yang lebih penting untuk dipikirkan olehnya. Tapi tetap saja bayang-bayang Alfa berkeliaran di otaknya.

"Kenapa kamu terus-terusan muter di kepala aku sih? Gak capek apa?", Zahra mulai berbicara sendiri karena kesal.

Gadis cantik itu mengerucutkan bibirnya. "Aku capek loh mikirin kamu. Mikirin pernikahan kita nanti. Otak kecil aku jangan dipaksa mikir yang berat-berat dong. Nanti kalo meledak gimana? Arghhh sebel".

"Kamu mikirin aku juga gak sih? Kamu pusing juga gak? Apa malah santai-santai? Harusnya kamu mikirin juga aku! Jadi biar pusing bareng-bareng!".

Zahra memukul pelan dahinya. Ia merutuki tingkah bodohnya yang bicara sendiri seperti orang gila. Ini seperti bukan dirinya. Apalagi bicaranya bisa dikatakan melantur. Ini mungkin efek dari pikirannya yang masih kacau.

"Aku kaya orang stres. Parah banget sih".

Tok!! Tok!!

Suara ketukan pintu membuat Zahra yang sedang melamun terlonjak kaget. Gadis itu mengelus dadanya berusaha menetralkan detak jantungnya yang sedikit lebih cepat.

"Hampir aja copot", lirihnya.

"Adek ini umi. Boleh umi masuk?" suara lembut Nafisa menyapa indera pendengaran Zahra.

Zahra menautkan alis. "Umi?".

Sebelum beranjak dari kasur, ia menarik nafas dalam-dalam. Memperbaiki penampilannya yang bahkan sudah rapi. Entah kenapa tiba-tiba ia merasa gugup.

Zahra membuka pintu kamarnya. Diluar uminya berdiri dengan seulas senyum manis yang terpatri dibibir wanita paruh baya itu.

"Masuk umi".

Nafisa mengangguk pelan. Ia mengikuti putrinya yang duduk dipinggir kasur. Matanya menelisik kamar putrinya yang terlihat lebih rapi dari sebelumnya.

"Apa umi minta tolong buat Firda tinggal disini biar putri umi ini lebih rajin membersihkan kamarnya?", Nafisa menoel pipi chubby putrinya.

Zahra menggeleng tidak setuju dengan ucapan uminya barusan. "Umi, Zahra gak males beres-beres kamar loh".

"Umi gak bilang kamu pemalas loh".

Zahra mengerucutkan bibir mungilnya. "Secara tidak langsung maksud umi begitu. Biasanya kamar Zahra juga rapi. Kan selalu Zahra beresin".

Nafisa tertawa kecil melihat wajah muram putrinya. "Haha umi bercanda dek. Tapi memang ini lebih rapi lagi dari biasanya".

"Iya umi. Lain kali Zahra bakal beresin lebih rapi lagi", cengir Zahra.

"Oh iya umi kesini karena mau ngomong sesuatu sama Zahra?", tanya Zahra.

Nafisa hanya tersenyum. Ia mengelus puncak kepala putrinya dengan penuh kasih sayang. Jangan lupakan tatapan lembutnya yang mampu membuat Zahra merasa bahwa ia adalah gadis terberuntung memiliki ibu yang begitu amat sangat menyayangi dirinya.

Cukup MengenalmuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang