Bunyi dedaunan yang saling bergesekan, serta langkah kaki gadis kecil yang tidak berhenti berlari mencari jalan keluar, terdengar dengan sangat jelas di telinga para pemburu tua yang berjalan santai dengan rokok di mulut mereka. Ada yang menghela napas, ada pula yang melangkah lebih cepat sambil merusak tiap semak yang menghadang jalannya.
Di mana gadis itu, ucap mereka tanpa henti kepada satu sama lain, saling melempar umpatan pula. Pandangan mata yang tajam dan napsu memburu yang besar menjadi kunci utama dari perburuan yang mereka lakukan tepat tengah malam ini, di saat tidak ada sinar bulan yang menyinari.
Sementara sang gadis, dengan napas yang hampir habis dan kaki yang terasa amat lemas hingga hampir tidak bisa digerakkan, masih berusaha keras melarikan diri dari para pemburu tua itu. Sesekali ia berhenti berlari untuk mengambil napas panjang dan memulihkan semangatnya, kemudian setelah ia merasa lebih baik, kedua kakinya yang bergetar kembali melangkah. Jantungnya berdegup kencang, dan kata-kata penyemangat serta harapan terus ia ucapkan dalam hatinya.
Gaun putih yang ia kenakan telah ternodai lumpur dan embun dedaunan. Rambutnya berantakan, kulitnya dibasahi keringat, dan matanya basah menahan air mata. Ia berlari dengan kaki yang telanjang, dan tanah yang basah berhasil membuat kukunya dilumuri noda coklat. Badannya bergetar ketakutan. Ia ingin berteriak, sangat ingin mencari dan memohon bantuan kepada siapapun yang akan ia temui di pelariannya ini. Tapi ia mengurungkan keinginannya itu. Pria itu lebih kejam dari siapapun. Tidak ada yang bisa menebak apa yang pria itu pikirkan, dan mungkin saja, seseorang yang ia mintai tolong adalah mata-mata yang diutus oleh sang pria. Keselamatannya bisa terancam jika ia salah bertindak sedikit saja.
Di saat benaknya mencari cara bagaimana ia bisa keluar dari masalah ini, mencari jalan keluar dari hutan lebat yang dingin ini, suara para pemburu tua dapat ia dengar semakin jelas.
Mereka semakin dekat, benak sang gadis berbicara, namun ia tidak berani menoleh ke arah lain selain kepada apa yang ada di hadapannya. Tangannya yang kotor berusaha untuk menutup mulutnya rapat agar tidak ada suara atau teriakan yang bisa membuat para pemburu itu mengetahui keberadaannya. Ia melangkah lebih perlahan, dan terus bersembunyi, mencoba untuk menjauh dari mereka yang mengincarnya dengan cara yang aman untuk gadis kecil sepertinya.
"Hei," ucap salah satu sang pemburu, membuat badan sang gadis kecil berhenti bergerak dan membeku sesaat. "Apa kau masih belum puas bersembunyi? Cepatlah keluar. Makanan enak dan tempat tidur yang nyaman menunggumu."
Ucapan itu membuat para pemburu lainnya menahan tawa. Beberapa di antara mereka tak bisa menahannya dan tawa pun keluar begitu saja.
Tidak ada makanan enak di sana, benak sang gadis kecil berkata. Semua yang menyenangkan di kediaman itu hanyalah untuk mereka yang disukai oleh sang pria, sang dalang dari peristiwa pengejaran ini. Ia bukanlah salah satu dari "mereka yang disukai". Kemampuannya tidak cukup untuk membuat sang pria terkesima. Setiap ajaran yang diberikan oleh utusan sang pria tidak ia laksanakan dengan baik, dan caci serta maki adalah satu-satunya yang ia dapat dari sang pria. Jika ia berhasil ditemukan dan ditangkap oleh para pemburu tua itu, maka kediaman menyeramkan itulah tempat di mana ia akan kembali.
Sang gadis menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Berbagai kenangan buruk yang terjadi di kediaman tersebut menjadi penyemangat dalam hatinya. Ia ingin kembali ke rumahnya yang sebenarnya. Ia ingin kembali ke dalam dekapan ayah dan ibu, serta kakak laki-laki, yang telah menjualnya tiga tahun lalu kepada sang pria.
Salah satu pemburu tua itu berada satu langkah lebih dekat dari tempat persembunyiannya. Napas sang gadis sempat berhenti sejenak, namun ia berusaha keras menenangkan hatinya. Hutan yang semakin gelap dan udara yang dingin menjadi penghalang terberat baginya. Ia pun merangkak, bergerak perlahan sambil menoleh ke kiri dan kanan dengan hati-hati. Semak-semak yang tumbuh dengan liar, serta suara gesekan dedaunan dan angin yang berhembus adalah pendukung dalam usahanya untuk bergerak menjauh dari para pemburu tersebut.
Sang gadis terus bergerak dengan perlahan. Kecerdikan serta kelihaiannya dalam bersembunyi berhasil membuat para pemburu tua itu terkecoh, dan sang gadis berhasil berada di posisi yang lebih jauh dari mereka. Ia bisa bernapas lebih lega karena satu dari sekian banyak cobaan telah ia lalui dengan baik. Perlahan ia kembali menegakkan tubuhnya. Kakinya hampir mati rasa akibat hawa dingin dan ketegangan yang baru saja ia rasakan. Ia sempat menoleh ke berbagai arah. Suara maupun sosok dari para pemburu yang mengejarnya tidak ada lagi. Ia hampir menyelesaikan tantangan dalam hutan dan berbagai perangkap yang disiapkan oleh sang pria.
Langkah kakinya terasa lebih ringan, namun tetap waspada dan siap berlari sekuat tenaga jika salah satu pemburu mengetahui keberadaannya. Jika ia tidak bisa berlari, maka ia akan bersembunyi dan melakukan hal yang sama seperti yang ia lakukan sebelumnya. Apa yang gadis kecil ini rencanakan telah sempurna. Mungkin sang pria memiliki rencana yang lebih baik dan lebih berbahaya, namun untuk saat ini, apa yang ia lakukan adalah rencana terbaik.
Malam semakin larut. Hanya suara angin dan dedaunan bergesekan yang dapat didengar oleh sang gadis. Langkahnya semakin lambat. Tubuhnya lemas, tidak bisa tegak dengan lurus dan hampir terjatuh berkali-kali. Wajahnya amat pucat. Jari-jari tangannya berkerut dan ia hampir tidak bisa merasakan kakinya bergerak. Ia sangat ingin istirahat, duduk dan bersandar di pohon sambil menutup kedua matanya perlahan. Tapi ancaman yang sang pria itu berikan masih belum selesai. Ia harus menemukan jalan keluar dari hutan ini, dan ketika saat itu tiba, kebebasan telah berada di genggaman.
Sang gadis menarik napasnya, lalu menghembus napas itu dengan lemas. Bersamaan dengan itu pula, kakinya tak dapat lagi ia gerakkan dan ia terjatuh. Gaun putihnya yang dipenuhi noda kini menjadi satu-satunya pelindung tubuhnya dari tanah basah dan rerumputan. Pikiran sang gadis kosong, dan yang dapat ia lihat hanyalah kegelapan tanpa ada cahaya sedikitpun. Selama ini ia berjalan tanpa arah. Sang gadis kecil hanya mengandalkan naluri serta firasat, dan selalu melakukan hal yang sama, yaitu menghindar dari para pemburu tua.
Di saat itulah, sang gadis menyadari satu hal. Bagaimana jika, pikir sang gadis kecil, pria itu telah merencanakan ini dari awal? Bagaimana jika pria itu menyuruh para pemburu untuk hanya mencari di beberapa lokasi yang telah ditentukan dan membiarkan si gadis kecil berjalan menuju wilayah di mana para pemburu tidak ada, lalu wilayah yang dianggap si gadis kecil aman ternyata lokasi terbaik untuk menemukannya? Apakah ini adalah salah satu perangkap yang disiapkan oleh pria itu? Jika perkiraannya benar, maka hal itu bisa menjelaskan mengapa tidak ada satu pun para pemburu yang mengejarnya. Ini adalah akhir dari kehidupan sang gadis.
Tidak ada yang disebut dengan kebebasan, begitu isi benak sang gadis kecil, penuh rasa putus asa. TIdak ada jalan keluar dari hutan tanpa ujung ini. Tidak ada tempat persembunyian yang aman. Tidak ada rumah, ayah, ibu, maupun saudara yang menunggu kehadirannya.
Usahanya sia-sia. Rencana terbaik menurutnya hanyalah mainan bagi sang pria. Pria itu sudah memikirkan semuanya. Kemungkinan terbesar hingga kemungkinan terkecil pun telah dipikirkan, dan pria itu menjalankan rencananya dengan sangat baik, tanpa ada kesalahan sedikit pun. Pikirannya, serta tubuhnya, yang sangat berbeda dengan pria itu bukanlah tandingan. Ia telah mengetahuinya sejak awal, namun naluri untuk bebas mendorong tubuhnya melakukan aksi berbahaya ini.
Ia mengetahui kesalahannya. Ia mengakui segala tingkah dan langkah yang ceroboh. Ia tidak bisa meraih apa yang diinginkan, dan air mata yang telah ia tahan selama beberapa jam akhirnya keluar begitu saja, bersamaan dengan kedua matanya yang tertutup perlahan.
Di saat itu pula, di antara suara hembusan angin yang semakin kencang, ia dapat merasakan seseorang berjalan mendekat ke arahnya.