Musik klasik mengiringi ruangan yang dipenuhi aroma menggairahkan yang membangkitkan selera makan.
Pisau, garpu, serta sendok berwarna perak, ditemani pula dengan makanan porsi kecil nan indah (juga mahal) berada di atas meja bertaplak putih bersih.
Kalau Edgar melihatnya, pasti ia akan terkejut dengan kemewahan dan banyaknya uang yang keluar hanya untuk makan siang. Berbagai kata-kata protes secara otomatis berhasil muncul di benak Leader.
Dan Leader, meski tak mau, tersenyum kecil membayangkannya.
Senyuman itu membuat sang lawan bicara berhasil menyadari perubahan raut wajahnya. "Apa yang kamu pikirkan?"
"Tidak ada," ucap Leader. Ia memotong daging premium berukuran sedang itu ke porsi yang lebih kecil, kemudian melahapnya perlahan.
Sang lawan bicara yang duduk tepat di hadapan Leader hanya membalas dengan memasang senyuman yang sama.
Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka. Tak ada percakapan, tak ada respon antara satu dengan yang lain, tak ada keakraban di antara mereka berdua. Satu-satunya hal yang merusak keheningan mereka adalah musik klasik yang perlahan mulai berhenti dan memainkan musik yang berbeda.
"Kate."
Leader memutuskan untuk memecah keheningan dengan memanggil sang lawan bicara.
Katherine, nama sang lawan bicara, yang lebih dikenal dengan sebutan Kate. Ia adalah wanita yang memiliki postur tinggi dan tegap, memiliki rambut panjang berwarna kuning keemasan, serta mata biru yang memperlihatkan adanya ambisi tersembunyi. Sifat mereka berdua hampir mirip, namun Kate lebih menyesatkan.
"Akhirnya.." ucap Kate tersenyum senang. "Sejak pertama kali bertemu, ini ketiga kalinya kamu memanggil namaku. Apa begitu sulit memanggil namaku?"
Keheningan kembali dan musik menguasai kekosongan di antara mereka berdua. Tatapan Leader yang lembut dan hangat, berubah drastis saat ia mengajukan pertanyaan.
"Apa maksudmu?"
Kate membalas dengan ucapan, "Aku mengajukan pertanyaan yang sama. 'Apa maksudmu?'"
Dari saku jasnya, Leader mengeluarkan amplop berwarna putih. Amplop tebal itu ia letakkan di atas meja, kemudian diberi dorongan ringan dan ditujukan kepada Kate.
"Seharusnya kamu sudah tahu apa jawabanku," ucap Leader. "Aku tidak akan pernah menerima tawaranmu. Mereka bukanlah barang yang bisa dipindah tangankan dengan mudah, diberi harga dan dibuang saat tidak dibutuhkan."
Senyuman di wajah Kate tidak berubah, bahkan semakin terlihat ceria.
Amplop tebal itu tak ia sentuh, melainkan ditusuk beberapa kali dengan garpu seolah amplop itu tak berguna baginya.
"Mereka adalah aset," ucap Kate. "Apapun yang akan terjadi pada mereka, semuanya ada di tanganmu. Bukankah itu sama dengan apa yang ingin aku lakukan?"
Leader meletakkan garpu dan pisaunya. Tak ada niat untuk menyelesaikan hidangan yang disajikan. Jika ia memaksakan diri untuk menikmatinya, maka ia akan merasa sangat muak. Lebih baik daging mahal ini disisakan untuk para koki yang menyajikannya, membuat mereka bingung dan menyelidiki apa kesalahan dari masakan yang mereka berikan, daripada harus ia habiskan tepat di depan Kate.
"Aku mengeluarkan banyak uang untuk reservasi di restoran ini," ucap Kate. Ia juga melakukan hal yang sama seperti Leader dan membiarkan hidangan tersebut tersisa. "Tapi tidak apa. Aku rela mengeluarkan uang sebanyak apapun demi bertemu denganmu."
Leader mengangkat gelas berisi air mineral, kemudian meminumnya perlahan dan menyisakan beberapa tetes di dalamnya.
"Aku membutuhkannya." Kate terus berbicara. "Semua yang ia miliki, aku sangat menyukainya. Tingkah lakunya, penampilannya, cara bicaranya.."
Kate memperlihatkan senyuman yang berbeda. Sinis--tidak, lebih dari itu. Mata birunya memancarkan sinar yang tidak dapat dideskripsikan dan, jujur, Leader mulai merasa tidak nyaman. Ia seolah ditelan ke dalam lubang hitam tanpa dasar hanya karena tatapan sang gadis.
Dingin.
Hampa.
Kosong.
Namun kejam.
Tawa kecil dan pelan, lembut, juga menjijikkan, berhasil didengar oleh Leader.
Kate terlihat bersemangat dan itu bukanlah pertanda yang baik.
"Berikan aku gadis itu," ucap Kate. "Aku akan membayarmu sebanyak apapun yang kau inginkan. Berapa juta, miliar, triliun, bahkan desiliun pun akan aku berikan padamu."
Leader beranjak dari tempatnya. Dari sudut pandangnya saat ini, ia bisa melihat Kate sebagai serangga kecil yang dapat ia hancurkan dengan mudah, namun beracun.
Selama beberapa saat ia menatap Kate dengan tajam. Benci, kesal, marah, berbagai perasaan negatif yang dapat memicu amarah seolah menyatu secara tiba-tiba. Leader tidak pernah merasakan hal ini.
Bertemu dengan gadis ini adalah sebuah kesalahan.
Leader mengetahuinya, tetapi ia tidak memiliki pilihan lain selain bertatap muka dengannya.
Saku jasnya sekali lagi mengeluarkan sesuatu. Kali ini bukanlah amplop, tetapi sebuah dompet hitam. Leader mengambil beberapa lembar uang dan meletakkannya di meja.
"Aku akan membayar bagianku," ucap Leader kemudian menyimpan kembali dompet pada tempatnya. Setelah itu, ia pergi meninggalkan Kate sendirian di sana.
Entah mengapa Leader merasa sangat lelah seketika. Langkahnya menjadi lebih ringan saat ia berhasil keluar dari restoran klasik yang sangat mewah dan memanjakan mata itu.
Setidaknya ia bisa merasa senang pada satu hal.
Syukurlah Lev tidak mengikutinya.