Jalan utama di kota ramai oleh mobil-mobil yang tanpa henti meneriakkan suara klakson mereka, terutama setiap lampu lalu lintas memperlihatkan warna hijau. Seolah tak ingin terlambat dalam urusan mereka, semua kendaraan berlomba-lomba meningkatkan kecepatan mereka.
Edgar melangkahkan kakinya di kerumunan orang-orang yang sibuk berjalan ke berbagai arah. Ponsel di tangan mereka, beberapa ada pula yang menutupi telinga menggunakan earphone tanpa kabel untuk menghindari suara-suara yang bisa membuat stres meningkat drastis. Tapi berbeda dengan orang-orang tersebut, Edgar, dengan tangannya yang penuh tas belanjaan, merasa bahwa suara bising itu adalah irama indah yang bisa menenangkan jiwa dan raganya.
Helaan napas panjang sempat dikeluarkan. Badannya tampak lemas, bahkan terlihat sedikit membungkuk karena beban berat yang dibawa. Namun, setelah mengerahkan seluruh tenaga yang tersisa, ia kembali berdiri tegak dan berjalan layaknya seorang pria kekar yang membawa berbagai barbel dengan berat ratusan kilogram.
Helaan napas sekali lagi berhasil lolos dari celah kedua bibirnya.
"Demi apapun," ucapnya, "Bisakah kalian, si penggila misteri dan pengarang terkenal, keluar dari pikiranku?"
Dari perkataannya, jelas sekali terlihat bahwa benak Edgar sangat lelah memikirkan kejadian yang baru saja terjadi di toko buku. Ada tiga hal yang mengganggu pikirannya. Petunjuk yang diberikan oleh sang partner, reaksi dari Elyod yang seketika ceria mendapatkan hadiah buku tipis itu, serta dirinya sendiri yang masih saja memikirkan hal yang tidak bisa ia mengerti. Bahkan ia mulai penasaran, apa jawaban dari game konyol itu.
Meski benaknya berpikir keras, kakinya juga bergerak tak kalah kuatnya agar ia bisa mencapai tujuan dengan lebih cepat. Ia bisa mencapai tujuan hanya dalam beberapa menit, tetapi tentu saja, teman setia Edgar tidak ingin meninggalkan ia sendirian di tengah kebisingan.
Perkenalkan, "Kesialan" adalah nama teman baik Edgar yang segera menghampiri dengan mengirim utusan seorang wanita tua dengan jas mahal dan make up tebal. Wanita ini sibuk memperhatikan kuku tangannya yang berwarna merah marun yang dihiasi aksesoris kecil di bagian tengahnya. Sesekali wanita tua ini tersenyum, sesekali juga cemberut, dan kini berubah kesal ketika belanjaan Edgar menganai jas wanita tersebut.
"Hei!" bentak wanita tua tersebut. "Pria sialan, kau taruh di mana matamu?!"
Edgar hanya berjalan santai, meski raut wajahnya tak sesantai langkah kakinya.
"Pria sialan, tidak punya sopan santun!" Wanita itu dengan kesal menghampiri Edgar, lalu mencengkeram lengan sang pria. "Aku bicara denganmu. Kau pikir kau itu siapa, seenaknya saja mengabaikanku!"
Kejadian ini menarik perhatian beberapa pejalan kaki yang lewat. Mereka melihat Edgar dan sang wanita tua dengan tidak antusias. Hanya melirik sekilas, kemudian fokus mereka tertuju lagi kepada urusan mereka masing-masing.
Edgar meladeni si wanita tua dengan malas. "Maaf, tapi seharusnya saya yang berkata demikian. Anda ini siapa, seenaknya saja memicu pertengkaran di tengah kerumunan."
Jawaban Edgar lantas membuat wajah sang wanita tua memerah karena amarah. Ia menggertakkan giginya. Tatapan matanya tajam dan garis-garis keriput di wajahnya terlihat jelas di sela-sela make up tebalnya, membuat Edgar bergidik ngeri karena melihat monster aneh nan menakutkan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
"Um.." Edgar berucap ragu, "Make up-mu.. retak."
"Hah?!" Wanita tua itu berteriak mengancam.
Dan Edgar dengan sigapnya segera melarikan diri dari lokasi kejadian, agar ia tak terlibat kasus kekerasan dan pemerasan dengan ia yang menjadi korbannya.