Untitled Part 12

2 0 0
                                    



Emily tidak meninggalkan gedung agensi. Ia diam dan berusaha mendengarkan diskusi dari para detektif di agensi, meski usahanya sia-sia berkat ide Leader untuk membuat ruangan kedap suara.

Di dalam ruangan kedap suara itu, Leader berkata, "Ada satu hal yang membuatku bingung. Emily mengetahui pria itu mengikutinya karena tidak sengaja melihat pantulannya di etalase."

Edgar mengangguk.

"Kejadiannya juga kemarin, benar?"

"Tepat," ucap Lev.

"Bagaimana cara Emily mengetahui pria itu mengikutinya sejak beberapa minggu yang lalu?"

"Oh, itu.."

Edgar tampak kebingungan. Ia tidak memikirkan hal kecil yang sangat penting itu. Perhatian Edgar terlalu fokus pada ekspresi Emily yang sangat pucat dan mata yang merah, sehingga ia membenarkan semua laporan Emily dan tidak bertanya mengenai beberapa hal secara detail.

"Ada beberapa hal yang harus dipastikan," ucap Leader. "Banyak orang yang membutuhkan bantuan dan kita tidak bisa menerima seluruh permintaan tanpa adanya bukti dan data yang jelas. Itu satu pembelajaran untukmu, Edgar."

Edgar sedikit kecewa, tetapi ia mengangguk dan berkata, "Maaf.."

"Dan pembelajaran untukmu juga, Lev," ucap Leader, membuat Lev terkejut dan berusaha mempertahankan raut wajah yang tenang meski akhirnya terlihat sedikit aneh dan sangat dipaksakan. "Abaikan gender, status, usia, semuanya. Klien adalah klien. Hormati mereka dan dengarkan seluruh keluh kesah yang mereka rasakan."

Lev mengalihkan pandangannya. Bersikap seolah mendengarkan namun ia bertindak sebaliknya. Tapi Leader menyadari sikap Lev dan memaksa gadis ini untuk serius mendengarkan.

Kedua tangan Leader menggenggam kedua pergelangan Lev. Cukup erat, hingga membuat Lev mau tak mau mendengarkan berbagai nasihat yang akan merusak fungsi sel-sel otak kebanggannya.

"Abaikan emosimu," ucap Leader. "Aku tidak melarangmu untuk tetap ekspresif, tetapi kendalikan mereka. Buang egomu saat berhadapan dengan klien.

"Mereka memiliki emosi, perasaan, pemikiran yang berbeda denganmu dan aku ingin kamu menghargainya, Lev. Apakah mereka mengatakan kebenaran, apakah mereka mengatakan kebohongan. Pikirkan itu ketika mereka meninggalkan agensi."

"Tapi, Leader," ucap Lev memotong nasihat yang disampaikan, "menganalisis tiap perkataan dan perilaku mereka di saat mereka menyampaikan permohonan adalah salah satu hal yang penting. Jujur atau bohong, benar atau salah, aku bisa membedakan semua hal itu dalam waktu singkat. Kalau aku menggunakan kemampuanku, kita bisa menghemat waktu dan tenaga dengan cara menolak atau menerima permohonan mereka secara langsung."

Leader membenarkan perkataan Lev, tetapi ia tidak memberi respon apapun selain membiarkan Lev meneruskan penjelasannya.

"Maksudku," ucap Lev, "Leader juga pasti memikirkan hal yang sama, 'kan? Mengulur waktu dan meminta klien untuk menunggu sampai kita mengonfirmasi apakah ingin membantu atau tidak, semua itu hanya membuang-buang waktu."

"Kita tidak mengulur waktu," ucap Edgar membantah. Tapi Lev kembali berucap,

"Lalu, Edgar yang bijaksana, bagaimana kau menjelaskan perlakuan yang selama ini kita lakukan pada klien? Kita hanya menunggu mereka datang ke agensi, mendengarkan cerita mereka, kemudian meminta kontak mereka agar kita bisa menghubungi mereka di kemudian hari. Bukankah itu sama saja dengan mengulur waktu, baik kita, juga mereka?"

"Kita menghubungi mereka untuk melaporkan hasil penyelidikan kita," ucap Edgar. "Di saat penyelidikan itulah kita bisa menentukan kebenaran dari laporan yang klien sampaikan. Hanya menilai dari gestur mereka, cara mereka berbicara, juga kesan pertama yang mereka sampaikan tidak cukup untuk menilai apakah mereka mengatakan hal yang sebenarnya atau tidak.

"Itu menurutku.." Edgar mengakhiri perkataannya dengan mengalihkan pandangan. Ia merasakan perasaan yang cukup aneh. Senang, karena bisa mengutarakan apa yang ingin ia sampaikan. Sedih, karena ia harus berdebat dengan Lev.

Lev terdiam sesaat, memberi tatapan tajam pada Edgar.

"Terlalu polos," ucap Lev, "sederhana dan tidak mengetahui apapun mengenai kerasnya dunia ini."

"Aku lebih tua tujuh tahun darimu," bentak Edgar.

"Lebih tua atau lebih muda tidak ada hubungannya dengan pengalaman!"

"Pengalaman, huh? Coba jelaskan pengalaman apa yang kau maksud itu, wahai noda muda yang bisa segala hal dan selalu nomor satu!"

Leader menepuk kedua tangannya. Suara tepukan itu cukup keras hingga menghentikan pertengkaran dua orang ini.

"Cukup!" ucap Leader. "Tenang dan dinginkan kepala kalian. Perdebatan ini tidak akan pernah selesai jika kalian tidak saling menghormati pendapat masing-masing."

"Ya, dinginkan kepalamu, Edgar," ucap Lev. "Masukkan kepala batumu itu ke dalam tumpukan es batu dan diamkan semalaman."

"Kau--"

"Lev!" Teriakan dari Leader mengejutkan Lev dan Edgar. Lev, yang namanya baru saja diteriaki, tiba-tiba terdiam dan melangkah mundur menjauhi Leader. Sementara Edgar tidak bisa melakukan apapun.

"Dengar, Leader, aku bisa--"

"Kemari."

Lev hanya terdiam di tempatnya.

"Aku memerintahkanmu untuk kemari, Lev."

Namun Lev tidak bisa menggerakkan badannya. Ia menundukkan kepalanya, menggigit bibir bawahnya, dan mengepalkan kedua tangannya. Dari postur ini, Edgar sudah mengerti bahwa Lev sedang menahan rasa malu serta amarahnya.

"Lev." Sekali lagi Leader mengucapkan namanya. "Apa kamu tidak mendengarkan perintahku? Kemari."

UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang