Untitled Part 2

15 5 1
                                    

7 tahun kemudian, di salah satu pusat perbelanjaan.

Napas mereka berdua tidak beraturan, terburu-buru meletakkan satu keranjang penuh makanan instan dan satu botol vitamin di kasir. Selagi petugas kasir tersebut melaksanakan tugasnya, salah satu dari mereka menggenggam erat dompet berwarna coklat tua yang telah terkelupas kulitnya, menatap dan menghitung dalam hati jumlah makanan yang dibeli.

"Totalnya," ucap sang petugas kasir, kemudian menyebutkan nominal angka.

Si pemegang dompet, yaitu seorang pria berpenampilan kaku dan rambut berantakan, segera memberikan uang kepada petugas, kemudian berlari keluar dari pusat perbelanjaan tersebut sambil membawa semua makanan yang telah dibeli. Sementara satu orang lainnya mengikuti dari belakang.

"Tujuan selanjutnya?" ucap si pria kaku, sedikit berteriak agar sang partner dapat mendengar suaranya.

"Toko buku!" sang partner menjawab antusias, kemudian mempercepat kecepatan larinya sehingga kini ia dapat berlari tepat di samping si pria kaku. "Ada penulis terkenal di sana. Aku harus bertemu dengannya, meminta tanda tangan, bersalaman, lalu meminta diskon untuk buku terbarunya!"

"Buku terbaru? Kau tahu kalau keuangan bulan ini menipis, 'kan?"

"Kau tahu kalau penggemar sejati tidak akan melewatkan satu pun karya terbaru dari idolanya, 'kan?"

"Yang aku tahu, penggemar sejati tidak akan meminta diskon kepada idolanya." Si pria kaku menghela napas. Ia sempat terdiam dengan dahinya yang tampak berkerut, seolah tengah memikirkan sesuatu di dalam pikirannya. Kebutuhan pokok serta kemauan sang partner sama penting, dan si pria kaku tahu, sang partner tidak akan menyerah begitu saja dan akan terus memaksa jika keinginannya tidak dipenuhi.

"Dengar," ucap si pria kaku, "Kita memiliki banyak kebutuhan lain yang harus dibeli. Apa kau sudah lupa kalau selama ini kita memakai sabun yang sama selama hampir enam bulan? Sudah berapa kali kita mencampurkan air ke dalam botol shampoo? Dan aku harap kau juga ingat, kita hanya menggosok gigi dengan air garamselama hampir dua minggu."

Sang partner mendengarkan dengan seksama dan ia mengingat semua pengalaman menyedihkan itu. Si pria kaku itu juga beruntung, karena perkataannya barusan seolah membuat sang partner mengingat satu hal yang sangat penting. Ia segera menepuk lengan si pria kaku berkali-kali. "Kita lupa membeli garam! Bagaimana caranya kita menggosok gigi besok?"

"Garam apa?!" Sang pria kaku berteriak. Spontan ia menghentikan langkahnya mendadak, sehingga membuat sang partner yang mengikuti hampir saja terjatuh. "Semua orang di satu divisi mengatakan kalau penampilan kita lebih aneh daripada para gelandangan. Mereka bilang kita bau, kotor, jorok! Aku berusaha membuatmu sadar kalau kita harus hidup lebih baik lagi, dan sekarang kau lebih mempedulikan buku tebal dan mahal itu? Bagaimana dengan pola makan kita yang selama sebulan ini hanya memakan makanan instan? Bagaimana cara kita membayar listrik, air dan gas? Dan lebih penting lagi, di mana kita akan tidur malam ini? Kau tahu kalau kita sudah lama tidak membayar sewa apartemen. Kau mau kalau kita benar-benar menjadi gelandangan? Kau sudah gila?!"

Wajah si pria kaku itu memerah, penuh emosi dan siap memberi tamparan keras di pipi sang partner kapanpun si pria kaku berkehendak. Namun sang partner mencoba untuk tetap tenang. Ia memberi senyuman kecil selama beberapa detik, kemudian memberikan ekspresi datar serta mengintimidasi.

"Aku gila?" ucap sang partner. Lalu berkata, "Tidak jika dibandingkan denganmu. Dengarkan perintah gadis kecil ini dan turuti semua kemauannya. Silakan saja kalau kau menolak, tapi tolong diingat, tanpa kemampuan dari sel-sel otakku, kau tidak akan bisa bertahan hidup. Tubuhmu akan membusuk dan menjadi santapan binatang liar di jalanan."

"Kh.."

Si pria kaku tidak bisa berkata-kata. Amarah semakin menguasai dirinya. Ia sangat ingin melempar semua barang belanjaan ke wajah sang partner, mendorongnya ke jalanan, dan tertawa sambil melihat tubuh sang partner dilindas kendaraan.

"Tolong dengarkan perkataanku sekali saja," ucap si pria kaku dengan intonasi berat, "Aku mendapat perintah untuk mengawasimu, bukan menuruti permintaanmu."

"Dan," kata sang partner menyela perkataan si pria kaku, "tolong dengarkan nasihatku sekali saja. Jika kau ingin membunuhku, usahakan untuk tidak memperlihatkan tatapan menjijikkan itu. Lakukan juga perbuatanmu di tempat sepi. Aku yakin semua orang yang ada di sini tidak ingin melihat kejadian di mana seorang pria membunuh seorang gadis tak berdaya. Kalau kau ingin membuat rencana kejimu itu seolah terlihat seperti kecelakaan, gunakan sel-sel otakmu dan berpikir lebih keras. Terlalu besar resikonya jika kau mengeksekusi rencanamu di tengah kota seperti ini. Memang saksi mata memiliki sisi positif dan negatif dalam sebuah rencana pembunuhan. Namun dari kasusmu, aku berani mempertaruhkan semua gajiku selama tiga tahun, kedudukan saksi mata hanya akan membuat kedokmu sebagai seorang pembunuh ketahuan. Bagaimana? Bersedia mengantarku ke toko buku sekarang?"


UntitledTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang