Rindu ini terkadang kejam, menatap dengan bengis, menusuk sendi bertubi-tubi, hanya ada satu penawar yang dapat membungkamnya, tertawa renyah bersama, mewujudkannya dalam temu yang menyenangkan. Lalu, apakah kau bersedia melipat kain jarak yang selama ini membentang cukup jauh? Ingin kusulam bagian tepinya dengan do'a-do'a terindah, telah kusiapkan motif kesetiaan dengan benang kepercayaan. Duhai kamu, aku rindu.
Kini, uraikan sampai kapan kau akan menghukumku dengan begitu kejam, mengurungku dalam jeruji besi. Tak ada cahaya, gelap, sesak untuk sekedar bernapas sekali pun. Bebaskan aku dari jeratan ini, berhentilah menyiksaku, bukalah kembali pintu yang telah kau tutup rapat-rapat. Runtuhkan benteng berjeruji besi ini, aku ingin temu, aku merindumu.
Bukankah dulu kita sempat berjanji, untuk tak akan pernah beranjak satu inci pun? Namun, ternyata Sang Maha memilihkan jalan yang berbeda. Masih kuingat seringkali senja menjadi saksi kebersamaan kita, ditengah damai semesta, sembari meresapi aroma tanah pasca hujan berteman dua cangkir teh hangat. Kau tahu, rinduku tak berkesudah, sudut mataku masih acap kali basah, bahkan mengalir deras mengenangmu dengan pasrah.
Aku tak ingin menyalahkan siapa pun. Setiap hubungan selalu ada saja ketidak sepahaman, permasalahan, juga pertengkaran yang tak terhindarkan, termasuk jarak yang kerap kali kusalahkan. Aku tak ingin memvonis diriku sendiri sebagai penyebab runtuhnya hubungan kita, meski aku tak paham seberapa besar kesalahanku. Aku hanya ingin menerima, bahwa mencintaimu, merindukanmu hanya bisa kusampaikan lewat untaian doa.
29, Maret 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Random Post
PoetryAda banyak, sangat banyak kataku yang hanya kutuliskan dalam ponselku, atau sekedar kutulis dalam catatan kusamku. Kata receh yang mampu kusajikan untuk kalian. Beberapa puisi atau prosa amatiran yang akan kalian baca. Maaf bila aku belum bisa membe...