29 : Trust Me, Please! (1)

147K 8.1K 449
                                    

Sarah sekali lagi melihat penampilannya di depan cermin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sarah sekali lagi melihat penampilannya di depan cermin. Tanda merah di area sekitar leher masih membekas dan membuat Sarah kembali teringat dengan perbuatan Steve tadi malam. Ingatan itu membuat wajah Sarah dipenuhi rona. Sarah berdoa. Tidak banyak yang Sarah inginkan. Dia hanya berdoa semoga Steve selalu bersikap lembut kepadanya. Hanya itu.

"Sarah, apa kau sudah selesai?" teriak Steve dari seberang pintu.

Sarah yang sempat melamun, terlonjak. Sarah segera merapikan pakaian dan rambut, lalu berjalan cepat ke arah pintu ruang ganti, takut jika Steve meninggalkannya turun. "Tu-tunggu sebentar." Sarah membuka pintu dan melihat Steve telah berdiri di depannya dengan kaus hitam dan celana denim sebatas lutut.

Hari ini adalah hari libur Steve dan Steve sangat menyukai setelan pakaiannya saat ini. Simpel, tetapi masih memberikan aura ketegasan Steve. "Siap untuk sarapan?" tanya Steve.

Sarah mengangguk dan rasa laparnya tiba-tiba makin kuat. Entah kenapa akhir-akhir ini Sarah mudah sekali lapar dan juga menangis jika Steve sedikit-sedikit marah dan bersikap kasar kepadanya.

"Kalau begitu, ayo." Steve meraih tangan Sarah yang sempat menempel di perutnya.

Sarah mengangguk dan berjalan bersisian dengan Steve. Sarah berkali-kali mencuri pandang ke arah Steve dengan senyum di wajah lugu. Apa Steve mulai luluh? Itu menjadi tanda tanya besar Sarah kepada Steve. Namun, keceriaan Sarah tiba-tiba menghilang. Saat mereka menuruni anak tangga dan telah tiba ruang makan, Steve tiba-tiba melepaskan genggaman tangan.

"Steve?" Kenapa sikap Steve tiba-tiba seperti itu?

"Steve! Duduklah di samping kami!" Karin berteriak saat Steve datang.

"Iya, Steve. Duduklah di samping Nenek." Rossie berkata lembut kepada Steve tanpa mengalihkan matanya untuk Sarah, seolah-olah Sarah tidak ada. Steve yang sempat terdiam, akhirnya mengangguk. Sarah tiba-tiba merasa asing dan sendirian lagi.

"Kenapa kau masih berdiri di sana, duduk di depanku." Nada suara Steve tiba-tiba berubah datar. Sarah terkejut dengan nada itu. Padahal baru pagi ini Steve bersikap sangat lembut, tetapi kenapa sekarang dia berubah lagi? Sarah berjalan lesu dan mengambil tempat duduk di depan Steve.

"Selamat pagi. Apa aku terlambat untuk sarapan?" Gerry datang dengan wajah ceria dan duduk di samping kiri Sarah, "Pagi, Cantik."

Sarah hanya tersenyum tipis kepada Gerry, tetapi kembali muram setelah matanya bertemu dengan mata Steve. Steve melempar tatapan tajam yang mengancam kepadanya. Sarah benar-benar tidak nyaman.

"Puding Yorkshire kesukaanmu, Steve." Karin memberikan sepiring puding kepada Steve. Sarah merasa cemburu saat dia melihat kedekatan mereka.

"Steve, hari ini tolong temani Karin ke Mal. Ada yang ingin Nenek beli, tapi kaki Nenek tidak kuat untuk bepergian."

Steve menyuapkan potongan kecil puding ke mulut, tetapi matanya jatuh lurus kepada Sarah. "Baik, Nek."

***

"Apa kau ingin sesuatu? Aku akan membelikannya untukmu. tanya Steve seraya mengganti pakaian, kepada Sarah yang masih duduk diam di kursi.
Mata Steve menyipit. Sebuah kerutan kecil terbentuk di antara alisnya yang tegas. Dia berjalan mendekati Sarah dan menangkap dagunya agar Sarah menatapnya. "Kenapa diam?"

Sarah menggigit bibir. Wajah Steve menjulang di atasnya, memelototinya dengan tatapan mata kosong. "Aku ingin pulang."

Steve kembali naik darah. Matanya menunjukkan hal itu. "Omong kosong itu lagi! Sudah berapa kali kubilang, kau akan tetap tinggal di rumah ini bersamaku! Selamanya!"

"Kau curang! Kau boleh pergi, sementara aku tidak." Mata Sarah memanas dan berkaca-kaca, berharap setidaknya Steve akan mengajak pergi, tetapi kenyataannya tidak. Terlebih Steve akan pergi berdua saja dengan Karin, dan hal itu membuat hati Sarah sakit.

"Aku tidak ingin berdebat denganmu." Steve melepaskan cengkeraman di dagu Sarah dan menghela napasnya kasar.

Steve menaikkan ritsleting jaket dan kembali memberikan perintah kepada Sarah, "Kau tidak boleh keluar kamar, kecuali saat aku bersamamu." Saat Steve telah benar-benar siap dan hendak pergi, Steve menunduk untuk mencium pipi Sarah. Namun Sarah malah bersikap sebaliknya. Sarah membuang wajah menolak ciuman Steve.

"Sarah." Steve tersinggung atas penolakan Sarah. Steve menarik lengan Sarah agar gadis itu berdiri. Lalu dicengkeramnya kedua pipi Sarah dan ditarik lebih dekat. "Jangan membuatku marah, Sarah. Ini peringatan terakhirku. Jika kau menjadi gadis penurut aku tidak akan menyakitimu."

Sarah kesepian. Rumah ini bagaikan penjara untuknya. Saat Steve libur, harapan bahwa Steve akan menemaninya sepanjang hari ini tiba-tiba lenyap. Sarah benar-benar ingin menangis dan Steve menyadarinya.

"Malam ini aku akan mengajakmu jalan-jalan." Sarah spontan mengangkat kepala dan mengusap matanya yang berair.

"Jalan-jalan?"

Steve mengangguk, "Tapi dengan satu syarat."

"Syarat?" Sarah tidak mengerti syarat apa yang dimaksud Steve.

"Jangan keluar kamar sebelum aku pulang, dan jangan dekati Gerry. Satu jengkal pun kau tidak boleh dekat dengannya."

Sarah mengangguk semangat. Wajahnya kembali ceria karena rencana Steve untuk mengajaknya jalan-jalan malam ini. Steve menarik pinggang Sarah dan melarikan bibirnya ke pipi Sarah, lama. Steve melepaskan pelukan dan ciumannya kepada Sarah. Diusapnya pipi gadis itu lembut.
"Aku tidak akan lama."

"Janji?"

Steve terkejut Sarah menjulurkan jari kelingking kepadanya. Namun pada akhirnya Steve hanya mampu tersenyum melihat keluguan Sarah, "Janji."

***

Sarah tidur menyamping seraya melihat jam beker bergambar Mickey Mouse di depannya. Sudah hampir empat jam lebih Steve pergi. Tidak ada ponsel atau apa pun yang bisa Sarah gunakan untuk mengurangi kejenuhan. Sarah mendesah dan meletakkan kembali ke atas meja lampu tidur.

Sarah memeluk boneka Teddy Bear pemberian Steve tiga tahun lalu. Itu adalah saat di mana Steve masih begitu baik dan sayang kepadanya. Steve selalu di sampingnya saat Sarah membutuhkan. Steve selalu menyayanginya saat Ayah menjaga jarak dengannya. Mungkin inilah yang menjadi alasan kenapa Sarah selalu bergantung kepada Steve. Sarah ingin kembali ke masa itu.

Sarah menarik napas dalam. Matanya mulai memejam. Rasa kantuk yang teramat berat mulai dirasakan. Sarah akhir-akhir ini mudah sekali mengantuk. Sarah tertidur dengan kesadaran yang belum sepenuhnya hilang. Bahkan saat Sarah merasakan kehadiran seseorang di kamar, rasa kantuk mengalahkan segalanya.

"Sarah." Sarah mendengar suara seseorang memanggilnya. Apa itu Steve?

"Steve?" Setelah mengigau kesadarannya pun hilang. Sarah tertidur.

***

Cerita ini sudah bisa dibaca lengkap di platform KARYAKARSA ya... Bentuk PDF...

 Bentuk PDF

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tears of Sarah [21+] / Repost Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang