Aku mendapati diriku tersadar di depan laptop di atas meja belajar ku.
"Auh.." Aku memegangi kepalaku yang sakit.
Apa itu tadi? Preman-preman itu? Baju ku?
Aku memperhatikan diriku dan sekeliling ku. Cih, dasar mimpi sialan bahkan sudah segini tua nya mimpi-mimpi buruk itu terus mengikuti. Ini pasti karena aku melupakan obat itu!
Delusi-delusi itu seperti terjebak di dalam sana, kenapa susah sekali mengeluarkannya sejak dulu. Rasanya aku menjadi ketergantungan dengan obat-obatan pahit ini.
Aku mengambil dua butir pil dari kumpulan obat ku lalu pergi ke dapur untuk mengambil segelas air dan menegaknya bersamaan dengan kedua pil di tanganku.
Aku kemudian kembali ke kamarku, duduk di meja belajarku dan kembali fokus dalam ketikanku.
Ada jadwal lomba menulis dalam waktu dekat ini, jadwal itu aku terima dari Dista, teman sefakultasku yang juga mengikuti lomba menulis tersebut.
Tiga tahun berteman dengan Dista ternyata Dista orang yang asyik dan mudah bergaul tidak seperti aku yang penutup ini.
Dulu semasa SMA, Dista lah yang pertama kali tahu aku suka menulis.
Berangkat dari hobi yang sama, Dista dan aku mulai dekat. Kita mengikuti perlombaan menulis yang sama dari mulai menulis cerita pendek, essay, artikel, bahkan puisi.
Dista memenangkan beberapa di antaranya tapi aku selalu gagal. Dista bilang aku mungkin belum mengenal tulisanku atau kadang dia menghiburku dengan berkata kalau jurinya mungkin khilaf, yang seharusnya di mading adalah nama ku bukan Dista.
Itu lah Dista hal-hal yang membuatku senang berteman dengannya dengan menjadi diriku sendiri, dia bahkan tidak menjatuhkan ku yang notabene saingannya dalam lomba, dia mendukung ku dengan memberi semangat.
Awalnya Dista bisa sefakultas dengan ku, aku juga terkejut. Aku nggak bakal mengira seorang Dista - salah satu siswa terpandai di kelas, yang memiliki segudang kenalan, yang bapaknya terkenal memiliki relasi di mana-mana - akan masuk kampus yang sama dan fakultas yang sama dengan ku.
Tapi menyenangkan begitu mengetahui kebenaran kabar itu. Itu berarti aku bisa berteman dengannya lagi.
Sabtu lalu Dista datang ke rumah ku, sebenarnya bukan hal yang luar biasa karena dulu pun dia sering melakukannya.
Ia memberikan selembaran kertas brosur.
Aku mencermati kertas brosur yang Dista berikan waktu itu. Isinya ternyata lomba menulis novel. Aku tentu saja tertarik. Dista bilang dia juga akan mengikuti lomba itu.
Kali ini tentu saja harapanku bisa menang.
Tangan ku masih terus mengetik. Aku menargetkan ketikanku bisa selesai sebelum bulan depan, saat deadline lomba jatuh tempo, agar bisa ku edit lagi.
Ide-ide fresh mengalir begitu saja dari imajinasiku tanpa beban. Aku sepertinyanya tidak mengingat mimpi buruk yang beberapa menit lalu mengganggu tidurku. Aku terhanyut dalam tulisanku.
Aku fokus pada cerita yang ku tuliskan. Mataku lurus menatap layar laptop sedangkan jemariku mengetik pada keyboard. Posisi huruf yang sudah diluar kepalaku tidak menyulitkanku melakukan hal ini.
"BAKSO..."
TENG. TENG. TENG.
"BAKSO.."Sampai kemudian teriakan tukang bakso membuyarkan konsentrasiku...
Buyar. Dan hilang!
"Ah!!" Aku tersadar dari tulisanku.
Sebentar aku meregangkan tubuh di atas kursiku lalu berdiri menghadap jendela.
Alih-alih marah, aku malah senang bukan kepalang.
"Mang Aguuusss.." Teriak ku kencang, "baksonya satu ya! Bentar lagi Alice turun."
"Iya, neng." Balas Mang Agus, tukang bakso keliling langganan ku.
Aku berlarian menyusuri anak tangga satu per satu lalu berlari ke arah pintu menghampiri Mang Agus yang berhenti di depan pagar rumah ku.
"Mang, kamana dua hari nggak kelihatan?" Aku membuka obrolan dengan Mang Agus.
"Ayak, neng. Lagi soting."
"Soting naon?"
"Naon etah judul na? Anak langit!"
"Wih si mamang, meranin siapa mang?"
"Gini-gini mamang teh terkenal."
"Terkenal bohong nyak?"
"Hahaha si eneng gak kenal Agus Kuncoro? Itu saya!"
"Hahaha aya aya we, mang." Aku ketawa mendengar guyonan Mang Agus barusan. Bagaimana tidak, Mang Agus yang dihadapan ku kalau kalian lihat beh beda seratus delapan puluh derajat sama Agus Kuncoro. Nggak ada mirip-miripnya. Mirip daki nya, mungkin kali ya.
Aku kemudian mengambil mangkok yang disodorkan Mang Agus di depan ku. Aku menikmati bakso pesananku dengan tenang.
Mang Agus ini bisa dibilang salah satu sumber inspirasiku, entah bagaimana awalnya sampai Mang Agus selalu dapat memberikan inspirasi untuk tulisan-tulisan ku, itu sebabnya aku selalu menunggu tukang bakso keliling yang satu ini. Orangnya ramah dan tidak pelit untuk saling bertukar pandangan.
Coba Mang Agus lebih muda sedikit dan belum beristri, aku mau mau aja mendampingi Mang Agus.
Yah, bakal ada pemberontakan sedikit dari Oma sih, tapi siapa yang peduli, Oma kan sudah tua. Oma nggak akan mengerti lah perasaan anak muda. Apalagi Papa yang sibuk dengan bisnisnya. Jangan harap deh.
Hahaha ingin sekali aku menertawai diriku tapi takut menyinggung Mang Agus atau dianggap gila oleh Mang Agus.
Tiba-tiba terbesit niat di hati ku,
kalau istri Mang Agus dijadiin bakso, bakalan enak gak ya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Pena Hitam
HorrorKolab @nasyaelf @gr_dhani @another_kira @nabielyafie [COMPLETED] Warning! R 17+ Kehidupan yang seharusnya penuh warna-warni, kini berubah menjadi hitam! Seorang penulis novel, kini menulis takdir bukan lagi cerita fiksi. "Seumur hidupku ... hanya a...