10. Misha dan Mereka [02]

212 29 1
                                    

Malam harinya Misha dan Alice sedang menonton tv berdua, awalnya hendak mengajak Sidney untuk menonton bersama, tetapi Sidney sedang pergi bersama keluarganya.

"Lilis, tahu enggak?"

"Enggak."

"Belum juga ngomong, begini tadi aku melihat ada seseorang bersembunyi di balik pohon besar di luar. Tepat setelah aku mulai berbenah di kamarku." Misha memutar-mutar garpu di tangannya, karena sedang menyantap makanan.

Alice yang duduk di samping Misha terus memeluk boneka kelincinya-Linzy-dan mendengarkan Misha secara seksama.
"Jadi? Kamu pikir ada penyusup?" tanya Alice.

"Kurasa bukan." Misha mengunyah makanannya sembari berpikir.

"Lalu, maksudmu itu hantu?"

"Entahlah. Apa kau tidak merasakan kejanggalan pada rumah ini? Atau, mungkin kau pernah bermimpi buruk setelah tinggal di sini? Jujur saja ya, Lis, sebenarnya aku merasa kita tidak tinggal berdua di tempat ini. Ya... Meskipun sudah terbiasa dengan hal itu, tetap saja aku bisa merasa takut, loh!" Misha memalingkan wajahnya dari Alice dan dari tv yang mereka tonton. Dia melihat ke arah dapur. Lorong yang sepi dan gelap itu, seakan sedang tertawa padanya. Itulah yang Misha rasakan.

Alice terdiam seketika, kembali mengingat kali pertama dia tiba dan mengalami semua hal aneh. Mulai dari perempuan bergaun hitam, ketukan pada pintu dan jejak kaki berlumpur yang dia lihat di dapur. Belum lagi saat dia ke rumah untuk mengambil ATM neneknya. Seseorang atau sesuatu sedang mengawasinya di kamar yang sunyi itu. Alice percaya jika Misha mengatakan ada kejanggalan pada rumah itu, berarti memang benar. Sebab, Misha bisa merasakan hal-hal berbau mistis dan sesekali bisa melihatnya, Alice tahu itu!

"Lilis, aku mengantuk. Apa kau masih ingin menonton?" Misha meletakkan piring ke atas meja dan bangkit dari dudukannya.

"Eh! A-aku juga mengantuk, akan kumatikan tv-nya."

Misha dan Alice pergi ke kamar masing-masing. Semua telah tertidur. Tepat pukul 00:05 tengah malam, hujan deras mengguyur Marina City. Suasana malam yang begitu sunyi ditambah dengan derasnya hujan, membuat malam itu semakin mencekam.

Misha mulai risih ditempat tidurnya, hingga terbangun. Misha terbangun karena suara-suara berisik yang aneh.

Suara yang bersembunyi di balik air hujan.

Tok tok tok

Misha terkejut melihat bayangan telapak tangan yang samar tampak dari tirai jendela. Tangan itu mengetuk-ngetuk kaca jendela, membuat Misha mematung ditempat tidurnya.

Di sisi lain, Alice sedang bermimpi buruk. Tubuhnya terus bergerak ke kiri dan kanan, bahkan sesekali mencengkram selimut dan merintih ketakutan. Dahinya mulai berkeringat, apapun yang dia lihat, pastilah bukan mimpi indah.

Misha tak kuasa menahan rasa takutnya ketika bayangan yang semula ada di luar jendela, kini mulai menembus kaca dan terlihat jelas. Tangan berhias darah yang kulitnya mengelupas. Tangan itu masuk, berusaha meraih Misha yang jaraknya cukup jauh.

Tentu saja Misha tidak akan menunggu sampai tangan itu merangkulnya. Dia berlari membuka pintu dan bergegas ke kamar Alice. Sosok pria tua dengan kapak berdiri di lorong menuju dapur, Misha terhenti menyadari kehadirannya ketika menaiki anak tangga.

Dengan napas terengah-engah, Misha melirik sosok itu. Alangkah terkejutnya dia seketika sosok itu berlari ke arahnya tanpa aba-aba.

Misha berteriak histeris sembari berlari menuju kamar Alice.

"Alice!!!" Misha tak percaya dengan yang dilihatnya.

Gadis bergaun hitam sedang memeluk Alice ditempat tidurnya. Sebagian wajahnya cantik dan sebagian lagi hancur parah. Spontan Misha berteriak sekencang-kencangnya, menutup kedua telinga dengan tangan dan memejamkan matanya. Berharap yang dia lihat hanyalah bagian dari mimpi buruknya.

Misha membuka matanya setelah beberapa saat. Dia mendapati dirinya ada ditempat tidur dalam kamarnya. Sinar matahari samar-samar menembus tirai jendela.

"Sudah pagi? Apa itu tadi?"

Alice berteriak memanggil Misha untuk segera bangun dan sarapan. Dengan penampilan acak-acakkan dan belum cuci muka, Misha menghampiri Alice di meja makan yang ada di dapur.

"Hei! Setidaknya, bersihkan wajahmu dulu!" umpat Alice.

"Aku yakin semalam itu bukan mimpi. Rasanya sangat nyata, aku bahkan masih mersakan jantungku berdegup kencang." Misha meletakkan tangan kanannya di dada sambil kembali memutar kejadian itu di pikirannya.

"Kamu bicara apa? Enggak jelas." Alice acuh tak acuh pada Misha.

"Semalam aku ke kamarmu. Aku berteriak sangat kencang. Kau tidak dengar?"

"Aku bahkan tidak ingat kalau kamu ke kamarku. Oh ya, aku baru menulis beberapa bab untuk novelku nanti. Coba kamu baca!" Alice menyodorkan beberapa lembar kertas yang tersusun rapi.

Setelah beberapa menit kemudian, Misha bertanya pada Alice.
"Karakter protagonis ini mirip seperti Mitha...."

"Itu memang dia. Aku membayangkan dia saat menulisnya. Hanya dia yang cocok."

"Dia kecelakaan dan lumpuh. Apa ada dendam terselubung di sini? Kau begitu membencinya, ya?"

"Ya. Sangat." Alice mengatakannya dengan lantang.

"Btw, kau menulis tangan? Tidak ketik saja di laptop?"

"Rencananya, nanti kuketik setelah yang di kertas selesai. Kenapa memangnya?"

"Kau pakai pulpen tinta? Hitam sekali."

"Tidak. Aku memakai pena yang kutemukan. Penampilannya seperti pena antik. Tak kusangka tintanya sehitam itu."

Misha mengangguk.

"Ini. Aku sudah selesai membacanya." Misha menyerahkan kertas itu kembali pada Alice dan membuka media sosial di ponselnya.

Sesaat dia diam. Matanya terus berfokus pada ponselnya. Berita yang dia baca, tidak bisa dipercaya. Postingan Dista yang disertai foto itu, sangat mengejutkan. Gadis di foto itu terbaring lemah di rumah sakit. Dan yang ditulis Dista pada postingan itu, lebih mengejutkan.

Mitha kecelakaan dan mengalami kelumpuhan.

Pena HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang