Triiing!!!
Suara ponsel mengejutkan Alice membuat pikiran yang memenuhi kepalanya sejenak buyar.
Ternyata telfon dari Dista. Mengingat nama Dista membuat Alice sebal. Alice menutup panggilan Dista begitu saja tanpa menjawabnya.
Alice jadi kangen Mang Agus. Dulu, sewaktu masih di Jakarta Alice sering berbagi cerita dengan Mang Agus, tukang bakso langganan Alice di Jakarta.
Bahkan Mang Agus memberikan kontribusi terbesar untuk cerita-cerita Alice, pasalnya Mang Agus orang nya nggak cuek bebek. Mang Agus malah orang nya asyik, baik, kadang suka guyon, nggak heran jualannya nggak pernah sepi pembeli.
Dan biasa nya dengan berbagi cerita dengan Mang Agus, muncul ide-ide untuk dimasukkan ke dalam cerita Alice, meskipun kerap kali cerita itu gugur di dalam perlombaan.
Waktu itu Alice ingat sebelum dia dan oma pindah ke Batam, Alice bilang mau buat cerita horor ke Mang Agus lalu Mang Agus tanya kenapa nggak cerita romantis aja. Kenapa tidak keduanya, jawabku.
Sepertinya itu bagaimana aku mengawali isi novelku ini. Hari itu masih segar diingatanku, bagaimana dengan gilanya aku berfikir untuk menjadikan istri Mang Agus seperti potongan daging yang diulek kemudian siap dijadikan bakso.
Ah, apa istri Mang Agus baik-baik aja ya?
Triiinggg!!!
Dista.
Lagi lagi yang muncul nama Dista. Kenapa tiba-tiba menelfon? Apa sekarang Dista kesepian? Apa Alice hanya tempat untuk menghilangkan rasa sepinya Dista aja? Kemana Dista saat Alice butuh?
Kesal dengan semua hal yang mengingatkan Alice pada Dista, Alice kemudian mematikan ponselnya dan mencabut batrai nya keluar.
Alice berhenti memandangi tulisannya. Ia tergeletak di atas tempat tidurnya memandang langit-langit kamar.
Suasanya sepi hanya ada dua ekor cicak yang saling bertukar sapa di sebelah gantungan lampu. Malam semakin larut semakin tenang, ketenangan itu mendadak mengantar Alice ke alam tidurnya.
_________________Fajar menyingsing dari kejauhan ufuk timur. Cuit-cuitan burung saling bersahutan. Sinar matahari masuk ke dalam kamar Alice melalui gorden coklat yang menggelantung di jendela, pancaran silau nya membangunkan Alice dari tidurnya.
Alice menaikkan selimutnya lebih tinggi, menutupi seluruh tubuhnya yang tadi sudah tidak tertutup selimut lagi.
Ingatan bahwa sekarang Alice tinggal sendiri, membuatnya malas beranjak meninggalkan tempat tidurnya. Apalagi Misha baru saja meninggal, Alice langsung mendapatkan izin cuti untuk tidak masuk kerja siang ini. Lengkap sudah alasan untuk tetap tinggal di balik selimut tebal itu.
Baru saja Alice akan tertidur kembali. Suara bel rumah membuat Alice terjaga kembali.
"Siapa sih pagi-pagi gini udah bertamu, apa nggak kepagian?" Gerutu Alice berjalan menuju pintu.
Suara bel terus-terusan berbunyi, sampai Alice membuka pintu, matanya membelalak tidak percaya. Alice pasti sudah ketiduran sekarang atau ini hanya delusi.
Alice tanpa sadar ternganga merespon kehadiran orang di balik pintu rumahnya.
"Kamu gak apa-apa kan?"
Suara itu sarat akan kecemasan. Suara yang Alice tunggu berhari-hari lalu, suara yang tiba-tiba menghilang setelah memberinya harapan, suara itu! Alice bingung dengan perasaannya sekarang. Ia ingin sekali marah tapi melihat kondisi cowok itu sekarang, seperti nya semalaman cowok itu tidak tidur.
"Hey, Alice? Kamu sakit?" Cowok itu melambai-lambaikan tangannya di depan Alice, "Kenapa menatapku seperti itu?"
"Dista?!" Kesadaran Alice belum sepenuhnya kembali. Entah kenapa air matanya ikut mengalir. Selemah itukah dirinya di hadapan Dista?
"Ada apa?" Suara Dista, seperti air segar di tengah gurun pasir membasuh dahaga Alice. Alice lantas memeluk Dista tanpa peduli dengan amarahnya pada cowok itu.
"Alice, apa kamu baik-baik saja? Apa ada orang yang menyakitimu?"
"Sa.. sakit. Takut." Telapak tangan Alice mendadak dingin.
"Lice, cerita samaku yuk di dalam. Nggak enak ngobrolnya sambil pelukan di depan pintu." Dista mengelus punggung Alice, berharap dapat menenangkan Alice.
"Dis, aku takut." Pandangan Alice tiba-tiba menggelap. Kesadarannya hilang sepenuhnya. Kaki yang ia gunakan untuk menopang tubuhnya perlahan melemah. Alice pingsan dalam pelukan Dista.
__________________Dista masih menunggu Alice sadar. Ia terus mengusap-usapkan minyak ke tangannya untuk dihirup Alice.
Awalnya Dista ragu untuk datang menemui Alice ke Batam, mengingat Dista dan Misha bukan orang yang mudah akrab karena perselisihan di awal mereka bertemu dulu. Alice pernah bilang, Misha akan datang dan menemaninya menempati rumah ini. Sepertinya orangnya sedang tidak di rumah, soalnya rumah ini kelihatan lebih sepi dari terakhir kali Dista meninggalkan rumah ini.
Dista teringat perempuan bergaun hitam yang dulu ia temui di rumah Alice, apa perempuan itu sudah tidak lagi mengisengi Alice ya? Tapi kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya perempuan itu cantik.
Tiiinnn..!
Bel rumah Alice berbunyi, tapi yang punya rumah belum sadar.
Kalau Dista buka bukankah akan jadi masalah besar?
Bel itu terus berbunyi.
Ayolah, Alice sadar!!.
Bel itu masih berbunyi, saat Dista akhirnya memutuskan untuk membuka pintu dan berpura-pura sebagai sepupu Alice yang lain di hadapan tetangganya Alice. Dalam hati Dista berharap kalau itu bukan Sidney yang nantinya akan berfikir yang tidak-tidak.
Baru saja Dista akan membuka pintu, suara knop pintu diayun membuat Dista mundur selangkah.
Dista terkejut melebihi siapapun saat itu, untung refleksnya tidak dalam mode on, bisa-bisa bogeman mentah melayang di wajah tamu Alice yang entah siapa.
Cowok dengan postur tubuh tinggi ini, punya kunci rumah Alice yang mana Dista sendiri tahu kalau itu privasi dan Alice nggak mungkin memberinya ke sembarang orang. Bagaimana mungkin?
Ketika Dista dan cowok itu sibuk dengan pikiran masing-masing, muncul suara Alice dari arah dalam rumah, dari sofa yang dapat melihat langsung ke arah pintu, tempat Dista meletakkan Alice tadi.
"Ray?"
"Alice?" Serentak suara Ray dan Dista berbarengan.
______________________
gr_dhani😅 Nah kan jadi jealous. Siapa nih yang pernah gini? Kelamaan nembak eh ketikung orang lain
KAMU SEDANG MEMBACA
Pena Hitam
HorrorKolab @nasyaelf @gr_dhani @another_kira @nabielyafie [COMPLETED] Warning! R 17+ Kehidupan yang seharusnya penuh warna-warni, kini berubah menjadi hitam! Seorang penulis novel, kini menulis takdir bukan lagi cerita fiksi. "Seumur hidupku ... hanya a...