7. Percikan Kesedihan

289 32 29
                                    

By : Another_KIRA

Hari itu cuaca mendung. Langit yang tadinya cerah, kini tertutup oleh awan abu-abu.

Oma yang biasanya bergumal dengan tanaman-tanamannya, kini hanya bisa duduk manis di kursi sambil sesekali mensesap secangkir teh.

Aku melihat ekspresi lega terlukis di wajahnya setelah menenggak teh tersebut. Aku menggelemgkan kepala. Sudah bisa dipastikan bahwa itu adalah teh pahit yang tak diberi gula secuil pun.

Oma memang sering kali meminumnya. Katanya sih untuk kesehatan.

Langkahku yang sedari tadi menuruni anak tangga perlahan, akhirnya sampai di lantai dasar. Entah kenapa aku ingin duduk di samping Oma.

Ingin merasakan kehangatan dekapan Oma kembali. Kudekati Oma yang sedang duduk di kursi panjang. Kuhempaskan punggungku ke sandaran kursi.

"Ma, nggak pahit ya?" tanyaku ketika Oma mensesap lagi teh tersebut.
Melihatnya saja sudah membuat lidahku terasa kelu.

"Supaya Oma sehat Alice," jawabnya sambil melayangkan pandangannya ke arahku.

Alasan itu selalu sama seperti yang kerap kali kudengar. Ingin kulanjutkan obrolanku kembali, tiba-tiba ponsel jadul milik Oma berdering pertanda panggilan masuk. Ponsel yang hanya bisa mengeluarkan dua warna itu berdering dengan nada yang selalu sama.

Itu pasti Mom dan Dad! Aku yakin mereka akan menceritakan sekumpulan pengalaman mereka selama di Bali hingga mereka tak sempat menghubungiku.

Rasanya memang seperti sudah lama saja kami berpisah. Kerinduan yang dalam terhadap mereka mulai menyibak dalam hatiku.

Oma mengambil ponselnya yang kebetulan berada di dekatnya. Tangan lemahnya perlahan mengangkat ponsel sembari sebelah tangannya tetap memegang cangkir.

Oma melihat layar ponsel dari balik kacamatanya. Oma mengerutkan alis. Dengan segera Oma mengangkat panggilan tersebut. Sebelum Oma angkat bicara, suara orang yang diseberang sana meracau mendahuluinya.

"Ya," jawab Oma.
"Ya benar."
"Ya?" sahut Oma bingung..

Sepertinya itu bukan orang tuaku.

"Apa?!"
"Ya ampun!"

Aku bingung dengan tanggapan Oma. Meski begitu, orang yang menelpon terus meracau tanpa henti.

BLAAAR ...

Cangkir Oma terjun dari tangannya. Sesaat kemudian, ponsel yang digenggamnya pun terjatuh pula.

Oma memegang dadanya. Wajahnya nampak sedang menahan sakit. Aku sangat terkejut dengan hal ini.

"Ma ... ! Ma ...! Apa yang terjadi Ma?"

Tak ada tanggapan dari Oma. Tubuhnya semakin lama semakin terkulai lemas di atas kursi. Segera kusambar ponsel Oma yang masih menyala.

" Halo!"
"Iya?"sahut orang di seberang.
"Anda ini membicarakan apa dengan Oma?" tanyaku dengan panik.
"Tuan Albert beserta istrinya meninggal dunia karena pesawat yang ditumpangi mereka mengalami kecelakaan."
"A-apa?" tanyaku tak percaya.
"Tim forensik sudah mengidentifikasinya."

Astaga! Mom dan Dad?! Kejadian apa lagi ini? Mataku mulai berkaca-kaca. Dadaku terasa sesak. Nafasku tersengal. Kepalaku seketika berat.

Kenapa seperti ini? Air mataku tanpa sadar mulai mengalir. Tak kuhiraukan lagi orang itu. Aku kembali pada Oma yang masih menahan sakit.

"Oma! Oma kenapa?" kataku sambil terus memegang tangan Oma.

Oma tetap membisu. Melihat keadaan Oma yang seperti ini. Dadaku semakin sesak. Seakan bernafas pun sulit.

Pena HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang