1.Giliran Takdir

661 52 48
                                    

oleh: nabielyafie

Langit cerah, secerah hatiku yang berbunga-bunga, aku akan menjadi penulis novel! hanya itulah yang ada di pikiranku. Namun aku tak tahu harus bagaimana memulainya meskipun semangatku sangat tinggi.

Aku melihat ke luar jendela, Jakarta dengan hiruk pikuk riuhnya, dan pemandangan yang didominasi pencakar-pencakar langit. Biaya kebutuhan hidup yang di atas rata-rata, ditambah kemacetan yang membuat putus asa jika baru menghadapinya. Karena hidup berharga, maka ada harga yang harus dibayar per harinya. Namun tidak bagiku yang semuanya sudah serba ada.

Aku memandangi cermin, melihat diriku sendiri di sana memakai gaun pendek berwarna biru langit, memperhatikan dengan teliti setiap inci wajahku yang sudah ber-make up, rambut hitam-panjangku sempurna sepinggang, sudah cantik, semua siap! Pita biru ini, bando biru ini, semua terlihat cute dan rapi tidak ada yang kurang lagi, tetapi aku masih tak paham kenapa orang-orang memanggilku dengan Gadis Loli, apakah karena mataku yang biru ini?

Suara lembut memasuki pendengaranku, "Selamat pagi, Sayang," sapa Ibu memasuki kamarku, "pagi-pagi udah cantik aja nih, mau ke mana?"

"Pagi, Mom," sahutku sambil melukiskan senyum, "hihi, nggak ke mana-mana kok, hari ini Alice cuma mau jalan-jalan aja, mau mencari inspirasi buat bikin novel, doain ya, Mom."

"Oh, wohoo, anak Mami ini." Tangannya mengelus-elus kepalaku, "iya, Mami doain semoga dapat inspirasinya ya. Semangat ya, Sayang."

"Yey, makasih Mom."

"Sama-sama Sayang. Yuk, sarapan."

"Hayuk, Mom."

Aku berlalu keluar kamar menuju ruang makan, di sana sudah ada Ayah dengan gawai di tangannya bersama Nenek.

"Pagi Papi, Oma," sapaku.

"Pagi ...," sahut Ayah, matanya masih fokus menatap gawainya, di samping tangannya sebuah kopi hitam nampak uapnya menguar menandakan masih hangat.

"Pagi juga cucu Oma yang cantik." Senyumnya nampak tidak semu, meskipun keriput merajalela, tetapi masih saja terlihat manis.

Aku pun mengambil tempat duduk dan makan bersama.

Penciumanku tertarik kepada aroma roti bakar yang terhidang di atas meja makan, tanganku pun meraihnya.

"Ini Sayang, susunya," seru Ibu yang baru datang dari dapur, lalu menyerahkan secangkir susu kepadaku.

"Iya Mom, makasih." Aku pun menyambut gelas itu, dan langsung meminumnya seteguk.

Meskipun di umurku yang sudah tujuh belas ini, susu masih menjadi minuman kesukaanku.

Aku terpikirkan sesuatu, bagaimana kalau aku jalan-jalan ke pantai saja.

Aku selesai dengan sarapanku, saatnya pergi, "Mom, Papi, Oma, Alice berangkat dulu, ya." Aku menyalami mereka satu-satu, lalu pergi.

"Hati-hati di jalan ya, Sayang."

"Iya, Mom."

Aku keluar dari pintu rumah, seekor kucing mengeong mendekat ke arahku, aku pun jongkok dan mengelus kepalanya sedangkan ia menggesek-gesekkan tubuhnya ke kakiku, dia adalah kucing keluarga ini, namanya Akira, kucing persia yang berbulu jingga, matanya biru sepertiku, tubuhnya yang gemuk ditutupi bulu tebal terasa seperti bantal jika dipeluk, kaki-kaki pendeknya nampak sangat lucu saat dia berjalan. Sayangnya, kendaraan bermotor kesayanganku sudah menunggu jadi aku tidak bisa berlama-lama bersama Akira—meskipun aku ingin. "Dadah Akira sayang, Alice pergi dulu ya." Dia pun mengeong menyahuti, kuanggap sebagai iya darinya.

Pena HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang