20. Nasib Buruk

156 22 0
                                    

Sudah sebulan berlalu sejak Ray pergi dan tidak terlihat lagi. Sidney tampak lega mengetahui semuanya dari Alice. Sore itu Dista akan pulang ke Jakarta walau dengan berat hati. Mau bagaimana lagi ... Dista sudah dapat teguran dari warga setempat karena tinggal dengan perempuan yang bukan istrinya. Semua persiapan selesai, Dista pun pergi setelah berpamitan. Rasa takut kembali menghantui Alice karena terakhir kali ada yang berpamitan padanya, orang itu tidak kembali. Alice ingin mengantar, tetapi Dista menolak.

Mentari terbenam meninggalkan jejak warna indah di langit. Sidney kembali mengunjungi Alice, sekaligus berniat menginap di rumahnya.

"Hari ini keluarga besarku sedang berkumpul di rumah. Sebentar lagi natal, dan rumahku sesak, hampir tak ada ruang untuk bernapas di sana ... ha ha ha ... jadi ... jika kau tidak keberatan, apa boleh aku tidur di sini malam ini?" Sidney menggaruk kuduknya seraya terkikih geli.

"Aku mengerti. Silakan masuk."

"Terima kasih. Um, kau jadi pendiam ya sekarang...."

"Kau bisa tidur di kamar itu. Aku ada di kamar atas jika butuh sesuatu."

Sidney hanya bisa tersenyum kecil menatap Alice yang semakin jauh darinya. Dia pun menutup pintu, tak lupa pula dikunci. Sidney merinding saat masuk ke kamar. Kamar yang sama di mana Misha mati mengenaskan dan sekaligus kamar mendiang nenek Alice.

"Kalau dipikir-pikir, semua orang yang ada di kamar ini tak lagi hidup. Mungkinkah ...." gumamnya pada diri sendiri.

Suara dering ponsel Sidney membangunkan dirinya. Alarm yang sudah biasa disetelnya.

"Enam pagi? Cepatnya ... tidurku malam ini nyenyak sekali. Aneh ... tidak biasanya."

Alice menyiapkan sarapan seadanya, roti dan susu dihidangkan ke atas meja. Dilihatnya Sidney keluar dari dalam kamar dengan tampilan rapi.

"Kau bangun cepat sekali. Aku iri, kukira aku yang akan membuatkan sarapan pagi ini," ujar Sidney.

"Kau tidur nyenyak sekali, bahkan sampai mendengkur. Aku tidak enak membangunkan dirimu."

"Benarkah?! Tidak mungkin. Astaga malu sekali." Sidney menutup wajahnya yang memerah.

"Tadi malam mimpiku begitu indah. Baru pertama kali aku bermimpi seindah itu setelah pindah ke sini...."

"Syukurlah. Aku tidak ingat mimpiku. Tiba-tiba saja sudah pagi."

"Maaf, hanya ada roti dan susu. Kalungmu unik, kelihatannya antik ya?" tanya Alice.

"Ini saja sudah cukup. Oh ... ini?" Sidney memegang liontin kalungnya, "hanya warisan berharga. Kalung ini diberi turun-temurun dalam keluargaku. Bagus 'kan?"

Alice mengangguk.

"Bagaimana dengan novelmu?"

"Seharusnya sudah mulai dicetak ... tapi mereka meminta ekstra part lagi."

"Oh begitu...."

Di tengah suasana yang hangat antar dua orang teman, ponsel Alice berdering. Sebuah notifikasi pesan masuk tampil di layar yang menyala itu. Alice membuka pesan tersebut dan ekspresi wajahnya berubah seketika.

"Ada apa, Lis?"

"Ibu Dista mengirim pesan," jawabnya.

"Dia sudah sampai ke rumah dengan selamat 'kan?"

"Tidak. Dista belum sampai ke rumah. Pesawat yang menuju ke Jakarta kemarin ... tidak ada Dista!"

"Mungkinkah dia masih di Marina?"

"Entalah ... semoga dia baik-baik saja."

Kemarin ....

Sebuah motor menyalib taxi di perbatasan jalan Marina. Pengendara itu turun tanpa membuka helm-nya. Dari dalam taxi keluarlah Dista yang marah-marah pada pengendara itu, tapi tidak dihiraukan. Pengendara yang tampak adalah laki-laki tersebut mendekati kaca jendela supir dan membisikkan sesuatu. Tak lama kemudian taxi itu bergerak mundur dan pergi begitu saja. Dista meneriaki supir taxi, bukan karena ditinggal tetapi barangnya masih di dalam mobil. Pengendara tadi mulai mendekati Dista. Sebuah palu dikeluarkan olehnya ... suasana jadi mencekam. Perlahan dia maju dan Dista pun mundur.

"Woi sadar! Untuk apa benda itu, huh?!" teriak Dista. Keringat kini membasahi dahi dan lehernya.

"Siapa pun, tolong!!!"

Jalan itu amat sepi. Tentu saja, karena ini Marina City. Jangan berpikir bisa dapatkan lebih. Sekeras apa pun Dista menjerit, tidak akan ada yang datang. Setelah yakin dirinya sangat terancam jika terus berada di sana, Dista berlari sekencang mungkin. Tanpa menoleh ... hanya berharap.

Keberuntungan tidak sedang memihak Dista. Dalam pelarian, tubuhnya tumbang karena palu yang dilayangkan ke kepalanya.

"Headshot!" lirih si pengendara.

Diseretnya tubuh Dista ke semak belukar lalu memukul sekuat tenaga kepala Dista dengan palu beberapa kali. Tengkoraknya hancur dan organ dalamnya terlihat bersamaan dengan darah yang bercucuran.

"Terlalu mudah, seperti memecahkan pot keramik!"

Hari semakin gelap, pengendara itu pergi setelah menguburkan mayat Dista dan melaju ke arah luar kota. Sebelum pergi, dia berbisik di atas tanah, "Jika kau hidup, bagaimana bisa aku membunuhnya? Tolong tenanglah di alam sana ...."

Pena HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang