21. Dista

149 18 0
                                    

Selama Dista tinggal dengan Alice, Dista banyak membantu Alice  dalam pembuatan novel perdana Alice. Dista melakukan koreksi typo di sana-sini, penggunaan kalimat efektif, bahkan sampai memberikan ide untuk novel Alice.

Novel yang sudah rangkum itu Alice beri judul A Bloody Mirror Glass, sesuai dengan genre horor yang Alice pilihkan. Alice langsung mengirimkan naskahnya ke penerbit melalui email.

"Oma, semoga di mana pun oma berada. Oma bisa melihat novel perdana Alice sudah jadi," Alice lega.

"Novel perdana apa, Lice?"

"Pagi Sydney. Aku sedang menulis naskah novel pertamaku ketika aku pertama kali pindah ke sini."

"Oh ya? Sudah sejauh mana? Boleh aku lihat?"

"Sudah selesai." Alice menyerahkan laptopnya kepada Sydney untuk dibaca Sydney.

"Seru kayaknya. Aku baca bentar ya, Lice."

"Oke."

Alice beranjak dari dapur menuju ruang tengah untuk menonton TV. Mata Alice mendapati sesuatu di atas sofa.

"Sepertinya ini semalam tidak ada di sini," Alice bingung. "Atau aku yang tidak lihat ya."

Sebuah boneka kelinci lucu ditutupi plastik putih duduk di atas sofa Alice. Ada note yang tertera di bawahnya.

TEKAN HIDUNGNYA.

Alice menekan hidung kelinci itu sesuai dengan arahan di note tersebut.

"Happy Birthday Alice. Happy Birthday Alice. Happy Birthday Alice. Boneka kelinci ini aku kasih nama, Linzy. Semoga kamu nggak kesepian lagi ya, Lice." Suara Dista terekam di dalam nya. "Lice kalau kamu kesepian, pindah ke Jakarta lagi aja yuk nanti aku bantu cari kos-kosan yang keren deh. Aku suka ga tega ninggalin kamu sendirian."

"Lagi ngobrol sama siapa, Lice?" Sydney muncul dari arah dapur.

"Ssstt.." Alice menyuruh Sydney untuk diam. Dista belum selesai bicara.

"... Yah kamu udah tua juga sih. Tinggal sendiri lagi. Kan aku jadi suka kasihan. Ke panti jompo yuk ku antar. Hahaha sekali lagi selamat ulang tahun ya Alice. Jangan sedih-sedih lagi. Malu sama teman kamu di panti jompo."

"Hahaha." Sydney tertawa lepas. "Kayaknya cowok itu suka deh Lice sama mu."

"Ha iya suka ngeledekin yang nggak-nggak. Sebel deh." Alice duduk di sofa dengan wajah cemberut. Yah bagaimana pun Dista, dia tetap sosok yang menghibur.

TOK. TOK. TOK.

"Bentar Lice. Biar aku aja yang bukain pintunya." Sydney beranjak pergi ke pintu depan.

Seorang pria separuh baya tampak panik, "maaf dek mengganggu waktunya."

"Ada apa ya Pak?" Alice menyusul ke depan pintu.

"Sepertinya adik mengenal pemilik baju ini."

Alice menutup mulutnya. Dista!

"Di mana bapak menemukan baju itu?" Sydney mewakili pertanyaan yang tidak dapat diajukan Alice.

"Kami menemukan jasad seseorang dengan baju ini di dekat perkebunan warga sekitar. Ayo dek mari saya antar."

"Syd nggak syd. Aku nggak bisa. Bagaimana kalau benar itu Dista." Air mata Alice menetes.

"Alice, aku nggak bisa pergi kesana sendirian. Kau lebih mengenal Dista, Lice."

"A.. Aku takut, Sydney. Itu gak mungkin Dista. Dista tidak mungkin meninggal!!"

"Kalau gitu ayo kita lihat. Aku juga mungkin akan berfikir itu bukan Dista karena baju seperti itu bukan hanya Dista yang punya maka dari itu ayo.. kita periksa.."

Alice mengambil jaketnya di kamarnya lalu mengunci pintu rumahnya. Bapak itu berjalan di depan disusul Alice dan Sydney yang jalan berbarengan. Tangan Alice mendadak dingin. Perasaannya nggak karu-karuan.

Dalam perjalanan menuju TKP, Alice terus berdoa agar siapapun yang terbaring di sana bukanlah Dista.

Memasuki perkebunan warga yang dimaksud Bapak itu. Tampak warga mengumpulkan bagian-bagian yang hilang dari mayat itu.

"Sydney, aku tidak bisa melihatnya. Itu terlalu menakutkan." Alice membalikkan wajahnya ke belakang, ia tidak sanggup melihat mayat yang sudah tidak memiliki kepala yang berbentuk lagi.

"Alice.. Li.. Lihat dulu." Lirih suara Sydney."Itu dompet dan ponsel nya coba cek."

Warga memberikan kedua barang berharga itu ke tangan Alice.

Seperti gerhana matahari mendadak datang atau dunia benar-benar kiamat. Orang-orang berlalu-lalang di depan Alice. Rasanya Alice butuh asupan oksigen lebih. Bernafaslah Alice bernafaslah.

Begitu melihat nama pemilik dompet itu, Alice mendadak pingsan.

Alice digotong warga ke rumah terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama. Alice sangat syok. Mayat itu ternyata memang jasad Dista.
***

Begitu mayat Dista di antar ke rumah sakit. Berita tentang Dista langsung menyebar di surat kabar.

Orang tua dan keluarga terdekat Dista datang untuk melihat langsung jenazah itu. Ada Alice, Sydney dan beberapa warga di sana.

Alice nggak kuasa menahan air matanya. Ia memilih pulang setelah menyerahkan dompet dan ponsel Dista.

Yang lebih mengejutkan Alice lagi, belum sampai dia berlalu di ambang pintu. Penyakit serangan jantung ayah Dista kumat. Semua orang menjadi sangat sedih dan panik.

Alice nggak kuat lagi melihat semua yang terjadi di depan matanya. Dia berlari sepanjang lorong rumah sakit, menangis sejadi-jadinya.

Kakinya ngilu, hatinya ngilu, Alice ingin marah pada dirinya sendiri. Kalau saja waktu itu Alice mencegah Dista untuk pulang ke Jakarta, Dista pasti tidak akan meninggal.

Aaarrghh.

***

Seminggu setelah kepergian Dista untuk selama-lamanya. Alice dengar kuburan Dista dan ayahnya dibikin satu.

Sekarang satu-satunya teman yang dekat dengan Alice hanya Linzy, boneka kelinci pemberian Dista.

Sydney masih suka berkunjung sesekali. Katanya agar dia bisa memastikan Alice tidak menjadi gila karena terus-terusan menangisi Dista.

Sydney benar bisa gila Alice dengan semua yang terjadi di depan matanya. Apa yang Alice punya selalu diambil darinya. Pertama, orang tua nya, lalu Oma. Misha bahkan meninggalkannya tanpa pamit. Sekarang Dista yang pergi. Entah siapa lagi nanti. Ini sungguh nggak adil.

Alice memandang keluar jendela dari meja belajarnya. Tiba-tiba ketika sedang melamun, Alice tersentak. Ia teringat sesuatu. Ini pasti kerjaan gadis begaun hitam yang terus muncul di hidupnya.

Alice mengambil pulpen hitamnya dari dalam laci. Ia berlari menuruni anak tangga menuju pohon besar yang ada di halaman rumahnya. Alice memperhatikan pohon itu, tidak ada siapa-siapa di sana. Gadis bergaun hitam itu tidak ada di sana.

"Maaf. Aku sudah menggunakannya tanpa seizinmu. Ini aku kembalikan di tempat di mana aku mengambilnya dulu. Tolong, kali ini jangan pernah datang ke dalam hidupku lagi."

Alice kemudian kembali ke kamarnya setelah meletakkan pulpen hitam yang dulu dia ambil di bawah pohon besar itu. Ia tidak ingin meninggalkan Linzy berlama-lama.

Kaki-kaki Alice melangkah cepat. Saat Alice tiba di kamar. Alice melihat pulpen hitam yang sudah Alice buang tadi berada di tangan Linzy.

"Apa kau bermaksud mengambil Linzy juga?" Bentak Alice kuat.

Alice mengambil Linzy dari atas mejanya dan mengambil pulpen itu dari Linzy. Dengan tangan kiri memeluk Linzy dan tangan kanan memegang pulpen itu, Alice kembali ke halaman rumahnya.

"Jangan ambil Linzy!" Alice membantik pulpen itu tepat di depan pohon besar yang barusan Alice jumpai.

Setelah melakukan hal itu, Alice kembali ke kamarnya.

Alice semakin ketakutan karena rumahnya bergoyang seperti ada gempa besar yang terjadi begitu ia sampai di depan pintu kamarnya dan pulpen itu tiba-tiba saja sudah kembali lagi ke meja nya.
__________________
gr_dhani

Pena HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang