22. Hadiah Terbaik

174 18 0
                                    

By : @Another_KIRA

Ia sering melihat wanita bergaun hitam itu dalam mimpinya. Wanita yang ia sebut sebagai malaikat berjubah hitam itu sering kali muncul dalam mimpinya beserta wooden house-nya. Tak ada siapapun selain dirinya di dalam rumahnya itu. Hanya ada dia. Meringkuk sendirian. Bisu dan sepi.

Namun, mimpinya kali ini berbeda. Kali ini ia mendengar suara yang memanggilnya. Suara yang ia yakini bukan berasal dari dalam melainkan dari luar rumah. Anehnya, ia seperti mengenal suara itu meski samar. Ia bergegas menuju ke arah suara itu berasal.

Perlahan ia membuka pintu rumah lalu melangkah keluar. Kepalanya  menoleh ke arah suara tadi datang. Ia terkejut. Sangat terkejut hingga tanpa sadar sebelah tangannya menutup mulut.

Tubuhnya terasa ngilu. Tubuh dan hatinya serasa menjadi satu lalu hancur lebur melihat pemandangan yang saat ini ia lihat.

Ayah dan ibunya, oma, Mitha, Misha, Dista dan beberapa orang lain yang tidak ia kenal sedang tergantung di pohon yang berada di depan rumahnya dengan leher terbelenggu rantai. Seakan merekalah buah dari pohon itu.

Masing-masing dari mereka mengeluarkan darah yang masih segar dari leher mereka.Mengalir di sekujur tubuh mereka. Bahkan sampai menetes membasahi tanah.

Normalnya mereka semua tak mungkin bersuara. Namun,  suara itu memanglah berasal dari mereka. Merekalah yang memanggilnya. Mereka menatap dengan pandangan kosong kepadanya sembari terus menggumamkan namanya.

"A... Lice...."

"Alice... Alice...."

"Lice...."

"Alice...  Alice... Alice.... "

Kesedihan mengalir dalam aliran darahnya hingga turun melalui air matanya. Ia hanya bisa tertegun lemas tak dapat berbuat apa-apa.

"Lice... berikan kami... berikan kami teman lagi...."

"Bawa lebih banyak... pada kami... untuk menemani kami...."

"Ayo Lice...."

Ia tidak paham sedikit pun dengan apa yang mereka maksud.

Pandangan Alice berpindah ke dua orang yang berada di bawah pohon. Mereka berdua sedang duduk menghadap ke arah pohon.

Salah seorang sedang menulis di sebuah buku dengan pulpen tua yang sering dipakai oleh Alice dan salah seorang lagi sedang mengambil darah yang menetes dari orang-orang yang tergantung di atas dengan tangannya lalu ia menulis di buku yang dibawa oleh orang yang satunya.

Alice seperti melihat sosok yang sama persis dengan dirinya. Namun,  ia tidak yakin itu adalah jelmaan dirinya karena mereka berdua sedang membelakanginya. Dan salah seorang lagi mirip dengan malaikat bergaun hitam yang pernah ia jumpai.

Semakin lama mereka nampak semakin jauh dari pandangan Alice. Semakin mengecil lalu lenyap. Yang ada hanya gelap.

Tempat gelap itu adalah kamarnya. Tepatnya ia berada di atas tempat tidurnya. Keringat nampak gemerlap di pelipisnya. Napasnya tersengal-sengal. Alice mencoba mengatur napas, menenangkan diri bahwa yang dilihatnya cuma mimpi biasa seperti yang sering mendatanginya.

Diambilnya Linzy lalu ia taruh dalam dekapannya berharap mimpi itu cepat pergi dari pikirannya. Tapi lagi-lagi Pena tua itu berada di tangan Linzy.

*****

Saat ini tidak ada yang Alice inginkan lagi. Hari-hari yang ia habiskan hanya membaca dan menulis. Perlahan Alice seakan kehilangan perasaannya sebagai seorang manusia.

Perasaan takut, harap, benci, cinta, kasih sayang, senang, sedih dan segala perasaan yang ia rasakan semuanya terasa sama. Kosong dan hampa.

Alice menjadi lebih sering diam dan murung. Satu-satunya warna dalam hidup Alice sudah pudar. Kini hidupnya benar-benar memiliki satu warna saja. Hitam. Gelap dan menakutkan.

Terlepas dari itu, Alice tetap mencoba bangkit untuk menjalani harinya. Terlebih hari ini adalah hari yang penting.

Tanggal menujukkan 24 Desember yang berarti malam ini adalah malam natal. Sebenarnya ia ingin merayakannya di rumah meskipun hanya sendirian. Namun, karena Sydney bersikeras mengajaknya untuk merayakan natal bersama keluarganya, ia harus datang dan meninggalkan keinginannya itu. Tapi setidaknya ia ingin membelikan sesuatu untuk diberikan kepada Sydney dan keluarganya.

Alice keluar untuk mencari sesuatu ditemani oleh Linzy di tangannya. Karena hanya Linzy-lah satu-satunya sesuatu yang menurut Alice berharga melebihi hidupnya sendiri. Dengan pakaian serba hitam, ia meninggalkan rumah. Karena Linzy membawa pulpen tua itu,  maka Alice memutuskan untuk membawanya bersama Linzy.

Alice membeli beberapa hadiah berbau natal yang akan ia hadiahkan untuk keluarga Sydney dan tak lupa beberapa makanan. Dalam sekejap tangan Alice dipenuhi barang belanjaannya. Ia langsung menuju ke kediaman Sydney, tempat untuk Alice menghabiskan malam natal.

Alice berjalan perlahan sambil menikmati indahnya langit senja. Namun, ada yang aneh. Ia merasa seperti ada orang yang mengikutinya. Entah mungkin hanya perasaannya atau memang ada yang mengikutinya. Ia tidak yakin.

Perlahan angin dingin mendesis. Membelai kulitnya. Alice sedikit mempercepat langkahnya.

Begitu Alice sampai di rumah Sydney, Sydney sempat terkejut.

"Kau mengajak orang lain?" tanya Sydney yang masih terheran.

"Oh ini... Iya, maaf ya aku mengajak Linzy."

"Bukan. Bukan itu yang kumaksud."

"Lalu?"

"Orang yang mengikutimu dari belakang."

"Heh!? Apa maksudmu? Ada yang mengikutiku?" Alice terheran dengan ucapan Sydney.

"Itu lho... Gadis dengan gaun hitam."

"Oh!? I-itu... Apa benar ada?"

Sydney melihat sekali lagi. Namun, ia tak mendapati gadis itu lagi di sana.

"Lho!? Kok tidak ada ya?"

"Kau pasti salah lihat!"

"Sepertinya begitu. Ya sudah, ayo masuk!"

Alice pun masuk ke dalam. Sydney dan keluarganya menyambut hangat kedatangan Alice. Alice tak menyangka akan sebanyak ini keluarga Sydney. Wajar saja jika Sydney sampai menginap di rumahnya.

Pohon natal yang penuh hiasan terpancang indah dengan kilauan warna-warni dari lampu yang ada di sekelilingnya membuatnya semakin indah. Makanan siap santap telah berada di tempatnya. Suasana ramai yang tak pernah Alice rasakan lagi, hari ini ia merasakannya kembali.

Entah sudah berapa lama Alice tidak pernah seperti ini hingga Alice lupa akan rasanya. Berkumpul bersama orang banyak untuk menghabiskan waktu bersama. Bercanda tawa bersama. Tanpa sadar air mata Alice sudah berada di sudut matanya. Air matanya semakin tak terbendung ketika ia mengingat kembali kenangannya bersama dengan keluarganya dulu. Benar-benar indah. Alice merasa inilah hadiah natal terbaik yang pernah ia dapatkan seumur hidupnya.

Keluarga Sydney menyadari betapa sulitnya kehidupan yang telah dilalui oleh Alice di umurnya yang masih tergolong muda. Ibu Sydney menyeka air mata Alice lalu mengisyaratkan untuk makan sup yang disodorkannya. Alice mengangguk. Ia mencoba untuk tak terlihat sedih di depan keluarga Sydney. Ia tahu bahwa saat ini ia tengah merayakan natal karena itulah ia mencoba tersenyum. Senyum yang nampak dipaksakan.

Perayaan natal itu pun berakhir dengan berfoto ria.  Perasaan sedih kembali mendatangi Alice. Entah kapan lagi ia akan merasakan natal seperti ini lagi. Ia berharap semoga tahun depan ia bisa berkumpul lagi seperti ini.

Seperti sebelumnya, Alice dan Sydney harus pergi ke rumah Alice untuk tidur di sana. Mereka berdua pamit lalu pergi menuju ke rumah Alice di tengah malam yang gelap gulita.

Pena HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang