14. Semua Orang Menyebalkan

206 22 10
                                    

"Kenapa sih? Sombong sekali, padahal cuma tukang ojek. Tahu begitu harus nya tidak usah ku sapa tadi. Huh, menyebalkan." Alice duduk di depan komputernya. Menggerutu atas sikap Ray barusan terhadapnya. Sesekali Alice melempar pandang ke arah pintu tapi belum ada lagi pengunjung yang datang.

Mata Alice kemudian memperhatikan ke sekeliling toko tempatnya bekerja. Dinding biru marmer, lantai dengan keramik putih, jajaran perlengkapan dapur, meja karir dengan komputer dan alat scan, baju pegawai, kain pel di ujung ruangan di sebelah gudang dan lampu di asbes atas.

Nyaman. Itu kesan pertama Alice. Lumayan lah untuk menambah pengalaman seorang part-timer seperti Alice.

Sesuai dengan keputusan Alice dulu sebelum pindah ke Batam. Alice akan berusaha hidup di sini dengan baik dengan Oma.

Ah, Oma..

Alice jadi rindu Oma..

Alice mengusap air matanya yang tiba tiba muncul di sudut matanya. Ia dulu memang bilang akan hidup dengan baik dan buru-buru mengurus berkas kuliahnya di Jakarta untuk pindah ke Batam. Fakultas yang dulu mempertemukannya dengan Dista kembali.

Ish, kenapa seharian jadi melow sih!! Apa kabar ya, Dista?

Alice mengambil ponselnya, mencari kontak Dista dan menelfonnya dengan semangat. Alice tidak sabar untuk memberitahu Dista kalau Alice sudah mendapatkan pekerjaan di Batam dan akan segera mencari kampus yang sesuai dengan fakultas yang dia ambil dulu. apalagi kalau bukan fakultas sastra.

Jari telunjuk Alice mengetuk-ngetuk meja menunggu jawaban dari Dista. Senyum lebar menghiasi wajah Alice. Sebentar-sebentar Alice melihat ke arah pintu toko, kalau-kalau ada pelanggan yang masuk, apalagi pelanggannya Dista. Ah, membayangkannya saja sudah membuat Alice berbunga-bunga. Alice sampai lupa bagaimana perlakuan Ray pada nya tadi.

Lima menit berlalu. Dista belum juga mengangkat telfon dari Alice. Air muka Alice berubah masam. Senyum nya memudar. Wajah Alice berpangku tangan. Kesal akan Dista.

Ada apa sih? Kuliah di Jakarta sesibuk itu kah? Perasaan dulu sewaktu Dista masih di fakultas dan di tempat kuliah yang sama dengan Alice, pelajaran kuliah tidak mengurangi quality time mereka berdua, kenapa sekarang Dista tidak mengangkat telfonnya? Keterlaluan, Dista! Awas aja nanti akan Alice balas!

***
Dista tidak tahu bagaimana jalan ceritanya. Perasaannya campur aduk. Mitha, cewek yang sempat ia sukai dikabarkan meninggal dunia, tepat setelah Dista pulang dari rumah sakit setelah menjenguk Mitha. Saat itu ia juga bersama Dito dan Haekal. Benar-benar tidak ada hal yang mencurigakan. Mitha terlihat senang menerima kedatangan mereka.

Apa Mitha sedang berpura-pura dan lalu untuk menutupi kesedihannya selepas Dista dan kawan-kawannya pulang, Mitha memakai kesempatan itu untuk bunuh diri? Tapi untuk apa? Untuk apa juga dia harus melompat dari jendela kamarnya? Ah? Nggak mungkin, kata orang tuanya Mitha mengalami kelumpuhan. Atau jangan-jangan dia terpeleset? Bagaimana mungkin? Seseorang pasti mensabotase kematian Mitha!? Tapi siapa yang sebegitu dendam padanya? Kematian Mitha terkesan sangat janggal untuk Dista. Bisa jadi ini salah satu bentuk kelalaian pihak rumah sakit!! Bagaimana pun Dista tidak terima Mitha harus meninggal seperti ini!

Sepanjang hari Dista terus memikirkan Mitha seolah olah hanya Dista lah yang kehilangan Mitha padahal yang saat itu paling terpukul tentu orang tua Mitha.

***
Alice pulang pukul delapan malam setelah menyerahkan pekerjaannya kepada Mbak Tika, penjaga kasir shift malam. Toko tempat Alice bekerja paruh waktu buka selama dua puluh empat jam jadi akan ada pembagian beberapa shift kerja setiap harinya.

Alice membuka pintu rumah yang tidak terkunci. Lampu rumah pun belum dihidupkan ketika Alice masuk.

"Misha?" Panggil Alice berlalu ke kamarnya. Alice mengganti pakaiannya sedang pikirannya masih melayang kepada Misha.

Alice tidak ada perasaan buruk atau pikiran jelek soal Misha. Anak itu memang sudah menjadi kebiasaannya ceroboh, keluar rumah lupa mengunci pintu bahkan sangkin cerobohnya Misha kadang pergi begitu aja tanpa memakai alas kaki!

Alice sudah maklum, bukan masalah yang harus diperdebatkan lagi bagi Alice.

Alice kemudian duduk di meja belajar nya. Mengambil diary nya dan pulpen hitam yang ia temukan di depan rumahnya. Alice berniat menuliskan kelanjutan naskahnya. Matanya fokus menatap kertas putih yang akan ia beri goresan.

TEP!

Lampu rumah mendadak padam. Mata Alice berubah melotot. Bibirnya menyeringai lebar.

Dalam keadaan mati lampu mendadak Alice berlari ke arah dapur seperti habis melihat sesuatu yang membuatnya ketakutan. Keringat dingin perlahan membasahi kaos yang Alice pakai. Alice menyusuri anak tangga dengan berlari kencang sampai akhirnya terjatuh berguling di tangga sampai menyentuh lantai bawah.

Saat Alice sadar, Alice tidak merasakan sakit sama sekali. Alice malah tertawa kencang dan berlari semakin cepat ke arah dapur. Masuk ke arah lorong di bawah lemari dan berguling jatuh di tangga.

Gdbag. Gdbug. Gdbag.

Suara berisik yang dibuat Alice mengembalikan kesadaran Misha.

"Siapa itu?" Suara Misha ketakutan. Misha memegangi kepalanya yang sakit. Sejak kapan ia terbaring di atas meja begini?

Alice bangkit dari posisinya dan berlari menghampiri Misha. Tawanya mengisi seluruh ruangan itu. Begitu Alice berdiri di hadapan Misha, tangan Alice sudah berpindah ke leher Misha. Ia mencekik Misha dengan kedua tangannya.

Wajah Misha mulai membiru saat ia mendengar Alice berkata, 'keluar atau kau akan tahu akibatnya. Keluar!!!'

***
TEP!

Lampu di rumah Alice nyala kembali. Alice tidak ingat bagaimana ia sekarang bisa tertidur di atas meja makan dengan Misha yang menatapnya ketakutan, "ada apa?"

"Aku mau pulang ke rumah mama."

"Kenapa?"

Air mata Misha menetes menjawab pertanyaan Alice.

"Aku tanya, kenapa?"

"Aku takut, Lice." Misha menarik bangkunya mundur lalu memeluk Alice.

Jauh di lubuk hati Alice, Alice juga ingin bilang kalau ia takut tapi anehnya setiap kali Alice mencari tahu kenapa ia takut, setiap kali pula ia tidak benar benar mendapat jawaban nya. Ia hanya takut.

Alice membalas pelukan Misha, "udah malam, Mis, kamu sebaiknya tidur dulu. Besok pagi kita bicarakan lagi sebelum siangnya aku berangkat kerja."

Misha mengangguk lemah. Tanpa sadar Misha bukannya takut dengan hal lain tapi dengan Alice.

_____________________________
gr_dhani  :))))

Pena HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang