Part 20

3.2K 145 14
  • Didedikasikan kepada Abigail Rafa Catalina Hartono
                                    

Sejak tersegel kembali kedalam Eyenya Luna hanya bisa berharap seseorang seperti Kailynn membuka segelnya. Namun, sepertinya keadaan tidak berpihak kepadanya karena Eyenya disimpan di kamar Yang Mulia Raja Seth. Tidak akan ada orang yang berani masuk ke situ.

Luna hanya bisa memandang kegelapan yang menyelimutinya, suhu yang dibawah rata-rata, dan suara orang-orang yang melewatinya. Ia tahu ia seperti sebuah perangkap disini. Jika Kailynn datang dan mencarinya maka Seth bisa segera menangkapnya. Mungkin sebaiknya Kailynn tidak menolongnya. Yah, itu yang jalan yang terbaik. 

Lagipula kenapa Kailynn yang harus menolongnya jika ia sudah membuka segel Cato? Cato jauh lebih kuat dan Cato itu cukup pintar karena membawa Eye bersamanya. Sedangkan ia terlalu ceroboh karena seringkali lupa membawa Eye bersamanya. Padahal ia tahu bahwa Eye itu seperti hidupnya. 

Tiba-tiba sesuatu menyentuh Eyenya. Itu jelas bukan tangan manusia.  

"Luna?" seorang pria menyebut namanya lewat telepati.

Dengan nada bahagia Luna menjawab "Cato! Kenapa kau bisa disini? Apa kau bersama Kailynn?" 

Cato mendengus "Bersama Kailynn? Mana mungkin! Aku juga disegel, Luna."

"Begitu pula aku." suara seorang wanita yang lain mencela telepati Luna dan Cato.

Luna terkejut "Deia?! Kau selama ini bersama Cato?"

Deia meringis "Ya. Tiga hari yang lalu kami dibawa kesini dan ditaruh di ruangan penyimpanan yang aneh. Dan baru tadi tepatnya pukul lima sore kami dibawa ke tempat ini."

"Nama ruangan ini adalah kamar Yang Mulia Raja bukan 'tempat ini'." Luna mengoreksi.

Deia menggeram "Apa kau mau berduel lagi, Luna? Setiap kali berbicara denganmu entah kenapa aku merasa tersinggung." 

"Setelah sepuluh ribu tahun lamanya? Aku mau." Jawab Luna dengan angkuh.

Cato menghela nafas dan berkata "Hentikanlah kalian berdua. Bisakah kalian tidak beradu mulut setiap kali kalian bertemu?"

Medengar keluhan Cato, kedua wanita itu segera menutup mulutnya. Hening. Lalu Luna memecahkan keheningan itu "Oh, iya. Cato dengarkan aku. Deia, kau juga dengarkan aku." 

Deia mendegus "Ya, nona sok tahu." 

Luna menyeringai "Aku tahu kau akan mengataiku begitu, nona sok bisa segalanya." 

Deia melawan "Dasar, mulut besar."

"Rambut putih." Luna mengejek balik.

Dia mendelik "Rambutku tidak seperti itu. Rambutku itu pirang! Justru, rambut kepunyaanmu lah yang hampir mendekati warna putih."

"Rambutku jelas lebih gelap warnanya dari kepunyaanmu! Dasar lubang hidung besar." 

"Tidak bisa memasak!"

"Paling rendah dalam pelajaran olahraga!" 

Cato menghentikkan adu mulut mereka "Tolong diam. Aku ingin mendengar apa yang ingin Luna sampaikan!"

"Tetapi dia yang memulai terlebih dahulu!" seru Luna 

Deia mengerang "Kenapa kita tidak damai saja? Sejak hidup sebagai manusia kita memang sering bertengkar bukan?" 

"Ya. Sering bertengkar. Kau juga sering mencontek pekerjaan rumahku." ujar Luna sambil memutar bola matanya.

Cato mendecakkan lidahnya "Luna, segera katakan saja apa yang hendak kau katakan."

The WatchersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang