Chapter 2

4K 152 0
                                    

Happy Reading
.
.
.
.
"Assalamualaikum bunda?" Teriakkan riangnya membuat semua orang yang berkumpul di halaman belakang menghampiri dirinya.

"Wa'alaikumsalam." Jawaban serempak dengan aksen kata yang beragam itu terdengar lucu di telinga Lisha.

"Aduh, kayanya pada kangen sama kakak ya?" Perkataan Lisha di jawab anggukkan anak-anak yang tengah melingkar memeluk dirinya.

"Anak-anak! Ayo salim dulu sama kakak. Masa udah saling peluk aja?" Perkataan wanita paruh baya dengan nada lembut itu di laksanakan oleh puluhan anak kecil tersebut. Setelah menyalami semuanya dia mulai berjongkok mensejajarkan tingginya dengan anak kecil yang tengah menangis.

"Fecyl kenapa kamu nangis?" Perkataan lembut Lisha membuat Fecyl memeluk erat tubuh di hadapannya.

"Kakak jangan pernah pergi lagi. Temenin kita terus kak! Aku dan yang lain butuh kakak!" Jawaban menyentuh itu membuat Lisha tentu saja terharu. Di sinilah dia, sebuah tempat yang selalu menginginkannya.

"Benar kak." Semua mulai ricuh mendukung perkataan Fecyl.

"Hey, tenang ok. Kakak engga pernah pergi! Buktinya sekarang kakak di sini kan?" Setelah memberi semuanya pengertian, mereka mulai memahami walau dengan sedikit tidak rela.

'Aku di sini. Tempat yang membuat sebuah kehangatan hati, ketentraman jiwa dan sebuah pikiran. Aku bersyukur tetap tersenyum! Setidaknya aku bisa merasakan kehidupan yang sesungguhnya tanpa sebuah kekangan jeruji dunia.'

6 Oct 2015
Tertanda,
Lalisha Sukmadja. (Rumahku tempat kembali.)

***

"Ha ha ha. Lo kalah!"

"Gua udah bilang kalau dia itu curang." Balasan dengan nada tinggi itu menampik perkataan lawannya tadi.

"Kalau main ini sih, gua raja nya." Seruan itu terus bersautan membuat kelas tanpa guru ini ricuh seketika. Bersyukurlah siswa/i IPA 2 karena kelasnya yang strategis di ujung lorong, yang membuat keributan itu tidak terdengar ke tempat guru piket.

"Ayo Lisha, masa diajakin engga pernah mau ikut?" Lisha mengangkat pandangannya mendengar ajakkan dari temannya itu.

"Gua masih lanjutin nulis dulu. Kalian main aja." Teman-temannya langsung mengalihkan pandangan, mungkin terlalu bosan mendengar jawaban tersebut.

"Gua udah bilang! Percuma!" Ujar salah satu siswi dengan melempar tatapan sinisnya yang tentu saja membuat Lisha meringis ngeri. Matanya yang bulat seakan-akan ingin keluar.

"Lain kali engga usah ngajak lagi! Kita udah hafal jawabannya!" Jawab temannya yang lain tanpa menoleh sedikitpun pada Lisha.

"Udah guys. Kita lanjutin. " Lalisha sebenarnya mendengar bisikkan itu, namun dia sudah tidak peduli lagi. Dia terlalu lelah dengan keramaian. Bukan salah mereka bila menjauh, namun memang dia lah yang terlalu penyendiri. Keramaian bagai sebuah alergi mengerikan baginya.

'Pagi ini dia mendapat sebuah pelajaran lagi. Karena suatu masalah yang terlalu menyiksa bukan lagi karena tingkah orang ketiga. Orang pertama sebagai ^saya^ juga bisa menjadi alasan masalah itu muncul dan datang di permukaan.'

7 Oct 2015
Tertanda,
Lalisha Sukmadja (Akar Masalah)

Setelah melewati hari yang cukup melelahkan, akhirnya bel sekolahpun berbunyi sebanyak tiga kali, menandakan sudah waktunya pulang.

'Ternyata ketika gua SMP pengen cepet SMA itu salah deh. Buktinya, masa SMA yang gua bayangin ngga seindah itu.' Celotehan itu terus meluncur di bibir natural Lisha. Dia kesal, tentu saja. Dia masuk ke sekolah favoritnya ini, mengharapkan perubahan pada hidupnya. Namun tetap saja, mengenal orang pintar di sekelilingnya pun tidak menyurutkan dia untuk menjadi pintar pula. Nasib kali ya jadi orang bodoh? Sudahlah, bersyukur saja.

***

"Kak? Bagaimana perkembangan penjualan novel kamu?" Mendengar pertanyaan menarik itu membuat seluruh mata memandanginya.

"Alhamdullilah sudah banyak keuntungan bun, apalagi novel yang baru-baru ini aku terbitkan. Semua laris manis." Semua yang mendengar itu bersyukur dan mendoakan kesuksesan Lisha.

"Kalau Via besar nanti, Via bakal seperti kak Lisha!" Perkataan riang itu membuat semua yang mendengarnya tersenyum.

"Iya! Ken juga mau kaya kak Lisha ya, bun?" Sekarang ruang tamu yang terlihat sesak dipenuhi penghuninya mulai ricuh mengikuti pernyataan Via maupun Ken. Membuat Lisha tertawa kecil.

"Kok semua mau seperti kakak sih? Memangnya kalian ndak punya cita-cita lain? Via, katanya mau jadi dokter? Ken juga, katanya mau jadi chef? Jadi diri sendiri ya sayang." Semua mengangguk mengiyakan perkataan wanita paruh baya itu tanpa bantahan ataupun sanggahan lagi. Menurut dengan patuhnya.

"Bunda? Makanan sudah siap! Ayo kita makan dulu anak-anak." Mendengar sahutan itu, semua mulai berdiri dan mendekati meja makan yang telah tersusun banyak piring dengan lauk-pauk di atasnya. Setelah berdoa bersama mereka mulai menghabiskan makanannya masing-masing.

"Kamu ngga ada niatan buat tinggal di sini Lisha? Kaya kita gitu." Perkataan itu mulai membuka percakapan yang tadinya hening di kamar, dengan banyak ranjang tidur bertingkat itu.

"Aku ngga bisa Olin. Aku harus mandiri dan mencari duniaku sendiri, walau gitu aku ngga bakal lupain kalian kok. Aku percaya sama kalian buat jagain bunda, bu Neya, bu Harni dan seluruh anak-anak di sini." Lisha mengedarkan pandangannya pada enam remaja seumurannya.

Beruntung masih ada yang bertahan di panti asuhan Kasih Bunda ini. Karena tidak sedikit anak panti yang sudah keluar dari sini, mereka malah melupakan jasa bunda dan pengurus panti ini.

"Aku pamit ya. Tolong sampaikan salamku pada bunda." Setelah itu Lisha mulai menelusuri bahu jalan dengan keramaian lalu lintas yang tak pernah padam akan hingar bingarnya.

"Samudra? Ngapain dia di situ?" Pertanyaan itu terlintas di benak Lisha ketika melihat temannya, oh ralat! Orang yang dia kenal, tengah duduk di bangku taman yang minim cahayanya. Dia yakin itu Putra Samudra Atlanta. Walau penerangan minim dia masih bisa lihat dari bahu jalan ini.

"Mau nyamperin tapi takut di bilang sok kenal. Walau sekelas, gua ngga pernah ngobrol sama dia. Biarin aja deh." Lisha mencoba untuk tidak perduli, karena walau bagaimanapun lelaki itu tidak akan mengenal dia.

Walaupun sekelas, dia terlalu pendiam dan lelaki itu memang sama sekali tidak mengenalnya, terbukti dari kejadian seminggu lalu. Ketika guru menyuruh lelaki itu membagikan buku, dia malah berteriak dengan menanyakan siapa pemilik buku Lalisha Sukmadja. Tentu saja, Lisha tau bahwa walau dia di kelas tersebut masih banyak yang belum mengenal dirinya terhitung dari 3 bulan pembelajaran dimulai.
.
.
.
.
.
Semoga kalian suka:) Vomment:)

SAMUDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang