Chapter 16

1.4K 110 3
                                    

Budayakan Vote sebelum membaca dan comment setelah membaca. Votemu sangat berarti bagi author:)
Happy Reading

.
.
.
.

"Ada apa ya den, neng, malem-malem kesini? Temennya non Wildya ya?" Tanya seorang wanita paruh baya dengan raut bingung ketika Samudra dan Lalisha bertamu pukul 19.00 WIB dengan seragam sekolah yang masih melekat ditubuh mereka, walau Lalisha telah menutupnya dengan jaket Samudra.

"Iya kita temen Wildya, bu. Kita mau ketemu sama Wildya ada ngga ya, bu?" Dengan sopan Samudra menyalami wanita itu disusul Lalisha yang melakukan hal yang sama.

Walaupun sudah terlihat kalau wanita paruh baya itu hanya pembantu entah mengapa Samudra lebih memilih memanggilnya ibu daripada bibi, seperti kebanyakan orang kaya lain. Sikapnya yang ramahpun membuat Lalisha terpaku dengan tatapan yang berbeda. Seperti ada sesuatu yang berbeda dari tatapan itu.

"Ada Den, mari masuk dulu. Diluar dingin, bibi mau panggil non Wildya dulu." Setelah mereka duduk di ruang tamu Samudra menangkup pipinya dengan satu tangan. Hal itu membuat Lalisha salah tingkah, tentu saja!

"Lephas, Sham!" Gumamnya sambil menyingkirkan tangan jahil Samudra. Samudra terkikik dan menggeleng kepalanya tanda dia masih ingin melakukan hal menyenangkan ini. Bibir merah muda Lalisha yang maju dengan pipinya yang terjepit adalah sesuatu hal kesukaan Samudra.

"Gemesin abisnya! Salah lo sendiri, tadi ngeliatin gua 'nya dengan tatapan memuja, jadi gua ge'er kan! Jadi sekarang lo tanggung jawab."

"Iya lo ge'er! Siapa juga yang liatin lo dengan tatapan menjijikan itu?" Ujarnya setelah melepas tangan Samudra yang berada di pipinya. Samudra terbahak lalu mengacak rambut Lalisha dengan gemas.

"Uluh, cemberut gitu. Pacar siapa sih ini?" Goda Samudra dengan mencolek pipi gadis itu.

"Ngehina ya!" Seru Lalisha kesal. "Punya pacar aja nggak." Lirihnya bertambah kesal, Samudra yang melihatnya mengangkat sudut bibirnya.

"Oh kode ya? Pengen dipacarin?" Kalimat singkat itu menimbulkan rona merah di wajah Lalisha. Oh tentu saja!

"Ngomong apa sih! Ngga jelas!"

"Lisha? Putra? Kalian ngapain ke sini?" Terlihat Wildya yang menuruni tangga dengan tatapan bingung. Lalisha yang melihat Wildya dihadapannya mengerutkan dahi dengan bingung.

"Lisha! Lo apaan sih, ngeliatin gua segitunya!" Kesal Wildya, Samudra yang hanya memperhatikan diam tak bersua.

"Mata lo sembab banget, Dya."

"Eh- itu..."

"Buku diary gua mana?" Sela Lalisha sebelum Wildya mengatakan alasannya. Wildya dengan gelagat yang gelisah membuat Lalisha mengerutkan dahinya bingung.

"Jawab, Dya." Setelah ucapan Samudra tadi Wildya langsung menghampiri Lalisha dengan memeluk tubuhnya kuat, Samudra yang melihatnya ingin protes namun langsung dicegah Lalisha ketika ia mendengar suara tangis Wildya.

"Lo kenapa, Dya?"

"Kenapa lo tanya gitu, bego! Seharusnya gua yang nanya sama lo! Lo ngga apa-apakan?" Dengan perlahan Wildya melepas pelukannya namun tetap mencengkram tangan atas Lalisha.

"Maksud lo apa?" Bingung Lalisha.

"Novel ke-4 lo! Nyeritain kehidupan diri lo sendiri, dengan kisah memilukan yang tersaji didalamnya. Gua kasih applause buat lo yang buat gua sampe nangis karena baca cerita lo itu. Tapi sekarang, lo semakin buat gua nangis, Lisha!" Jeda Wildya dengan isakannya, Lalisha hanya bisa mematung dengan tatapan kosongnya.

"Kisah lo terlalu nyakitin, Lish! Kenapa lo ngga cari sandaran? Kenapa-..."

"LO NGGA SEHARUSNYA BACA DIARY GUA!" Teriak Lalisha sambil menghempaskan tangan Wildya, Samudra dan Wildya yang mendengarnya terkejut bukan main.

Lalisha semakin yakin, jika buku diarynya ada ditangan Wildya dan yang paling ia yakini lagi yaitu Wildya yang telah membaca buku diarynya.
Karena siapa lagi yang mengetahui bahwa novel terbitan ke-4 nya terinspirasi dengan kisah aslinya sendiri? Selain Wildya membaca curahan hatinya dibuku mungil itu.

"Gua punya privacy! Lo ngga seharusnya baca diary gua!" Dengan nada penuh tekanan Lalisha mencoba mengeluarkan emosinya.

"Status kita boleh temen, tapi temen juga punya batasan tersendiri! Jangan ulangin hal yang sama, sama orang lain.  karena gua yakin, mereka akan sama marahnya kayak gua." Setelah mengatakan itu Lalisha melangkah meninggalkan ruang tamu Wildya, Samudra yang telah tersadar dari terkejutnya berpamit pulang dan langsung mengejar Lalisha.

"Lalish?" Cegah Lalisha ketika ia sudah mencapai gerbang rumah Wildya.

"Gua pengen sendiri, Sam!"

"Lo boleh sendiri, tapi gua anterin pulang dulu ya." Dengan sedikit paksaan akhirnya mereka telah sampai didepan kos'an Lalisha.

Dengan tiba-tiba Samudra membawa Lalisha kepelukannya. "Lo boleh luapin emosi, tapi jangan sampai bikin hati orang sakit ya."

"Sesakit apa hati Wildya sampai lo bilang kaya gini, Sam." Isak Lalisha dengan keras, Samudra dengan gerakan refleks mengelus rambut panjangnya.

"Dia ngga terlalu sakit hati, tapi dia bakal ngerasa bersalah karena bikin lo sedih gini. Gua juga bakal ngerasa bersalah kalau lo nangis pas lo lagi sama gua."

"Tapi dia udah baca kisah hidup gua, Sam. Buku diary itu berarti banget buat gua, sekarang Wildya malah buat sesuatu yang berarti malah terlihat hina."

"Terlihat hina apa maksud lo?"

"Kisah hidup gua! Kisah hidup yang bahkan gua aja mikir terlalu hina buat dibaca sama Wil-..."

"Sekali lagi lo ngomong gitu, gua bakar sekalian buku lo! Lo terlalu berharga Lalish. Kalau menurut lo, hidup lo itu hina, lalu kehidupan gua apa? Lebih hina?" Ujar Samudra lirih.

"Sam? Bukan gitu maksud gua." Lalisha mendongkakkan kepalanya untuk melihat wajah sendu Samudra.

"Hidup gua terlalu hancur, Lalish. Gua itu gila, haus sama darah, keluarga berantakan bahkan gua itu pria bertopeng, gua yang ngga berarti. Jadi apa deskripsi yang pantes buat gua? Gua lebih hina dari lo Lalisha."

"Jangan ngomong gitu, Sam! Lo berarti buat gua. Lo orang pertama yang ngulurin tangan saat gua terpuruk kaya gini, lo segalanya."

"Maka dari itu! Kalau gua berarti, lo jangan sedih lagi karena lo juga berarti buat gua. Air mata kesedihan lo buat gua sakit. Gua sayang sama lo, Lalish. Jangan bikin gua khawatir." Kalimat akhirnya membuat Lalisha menegang dipelukan Samudra, sedangkan Samudra hanya terus memeluk tubuh Lalisha dengan erat.

"Gua ada buat lo." Kecupan ringan dipuncak kepalanya membuat Lalisha memejamkan matanya, meresapi kenyamanan yang ada.

'Gua juga selalu ada buat lo, Sam.'

****

Salam Hangat,
Irawati Putri.

Semoga suka.

SAMUDRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang