Langit bermuram durja. Beberapa hari ini, cuaca mendung dan turun gerimis. Kaki-kaki Kirana memacu langkah cepat. Uang nya habis untuk membeli LKS, sampai-sampai dia lupa, jika ongkos pulang sudah tidak ada. Rasanya, enggan untuk pulang ke rumah mengingat keganjilan-keganjilan yang kemarin terjadi. Kirana menekankan keluhan-keluhan yang ada di kepalanya seiring langkah kaki. Dia menengadah, bulir-bulir air jatuh tepat mengenai hidung. Hujan. Dengan cepat dia berlari dan memilih berteduh di sebuah warung makan. Warung makan tempat Kirana berteduh sangat ramai. Beberapa orang bahkan tidak mendapat tempat duduk dan terpaksa menunggu orang lainnya pergi. Karena penasaran, Kirana menengok ke dalam warung. Matanya membelalak ketika menangkap sosok anak kecil berkepala botak. Tuyul? Mata Kirana juga menangkap dua wanita berbaju putih dan berambut panjang sedang menggantung di langit-langit. Kuntilanak.
Alis Kirana bertaut. Pantas saja pengunjungnya ramai, padahal tempatnya kotor. Menggunakan pengelaris bukan lah cara yang tepat untuk memperoleh kekayaan. Langit telah berhenti mencurahkan airnya. Kirana beranjak dan berlari kecil. Dia berjalan digenangan air. Basah. Tapi dia tidak peduli. Menjadi cuek terkadang menyenangkan. Tidak peduli akan hinaan, dan terus melangkah kedepan. Ah, andai hidup semudah itu...
Saat didepan rumah, ada seorang Kakek-kakek yang menghampirinya. Keriput kakek itu kentara sekali, wajahnya seolah akan terjatuh. Tatapan mata Kakek tersebut tajam. Kirana mendadak ketakutan. Badan bungkuknya mengharuskan sang Kakek mendongak untuk melihat wajah Kirana dengan jelas. Telunjuknya menunjuk ke arah rumah Kirana.
"Dia ada disana, hati-hati," ujar sang Kakek. Kirana menoleh ke arah rumahnya.
"Apa yang ada di sana?-" tanya Kirana, saat ingin melihat ke arah sang Kakek, Kakek tersebut sudah tidak ada.
"Kemana...."
Dengan langkah berat, Kirana menuju rumah. Suara pintu yang bergesekan dengan lantai menyambut Kirana. Rumahnya gelap. Cahaya merambat masuk melalui pintu yang terbuka. Kirana membuka semua jendela. Rumah Kirana adalah rumah tua dengan arsitektur zaman Belanda. Punya banyak pintu dan jendela sebagai jalan masuk udara dan cahaya matahari, ada tangga, lorong, dan balkon. Halaman belakang rumah Kirana sangat luas. Ada bangku taman dan meja bundar. Ada banyak semak-semak dan sebatang pohon mahoni. Sementara halaman depan, hanya ada air mancur. Kirana memejamkan mata. Merasakan saat-saat indah yang telah berlalu. Bunda, dan Ayah. Mata Kirana spontan terbuka saat mendengar suara piring pecah. Dia berlari menuju dapur. Di dapatinya sebuah pring pecah. Dengan segera Kirana membersihkan pecahan piring. Sebuah pecahan mengenai jarinya. Darah segar menetes.
"Aww!" rintih Kirana. Jari yang mengeluarkan darah tadi ia bersihkan menggunakan air hangat.
Deru mobil terdengar telinga Kirana, kakaknya pulang. Kirana segera membuah pecahan piring, dia bisa di tuduh memecahkannya. Setelah membuang pecahan piring, Kirana kembali ke dapur dengan berlari. Saat dia di dapur, Kak Jaka melihatnya keheranan. Kirana melihat dirinya yang masih berbalut seragam.
"Kenapa belum ganti baju?" tanya Kak Jaka.
"Baru pulang Kak," jawab Kirana agak ragu.
"Pulang telat?" tanya Kak Jaka dengan penuh selidik.
"Ah... anu... em... iya Kak," jawab Kirana tergagap. Kak Jaka hanya mengangguk.
"Aku ganti baju dulu ya, Kak," Kirana berlalu.
Di kamar, Kirana menyisir rambut didepan cermin. Kirana melihat sesuatu yang memegang bahunya. Tangan pucat dengan sedikit kehitaman nan kurus, saking kurusnya, urat-urang berwarna kebiruan amat terlihat. Mata Kirana semakin membulat ketika melihat wajah seram yang menyembul dari bahu kirinya.
"Kyaaaaaaaaa!" teriak Kirana. Pintu kamarnya terbuka, Kak Jaka masuk dengan tergopoh-gopoh.
"Ada apa?" tanya Kak Jaka panik.
"Ada hantu di belakangku..." jawab Kirana dengan napas tak beraturan.
Kak Jaka membawa Kirana keluar kamar. Apa yang sebenarnya terjadi? Kak Jaka membatin. Kirana menutup matanya, menghela napas. Mencoba menenagkan diri. Kirana mengutuki dirinya sendiri. Kenapa dia harus bisa melihatnya? Ini kutukan!! Dada Kirana seperti bergemuruh. Dia menutup mata dengan kedua tangan. Menekan-nekan kedua mata, bahkan, sekarang dia berharap untuk buta! Kenapa hidupnya harus seperti ini? Kenapa? Kenapa?! Tanpa terasa, bulir-bulir air mata jatuh. Kirana menangis sebal. Dadanya terasa sesak.
"Kakak tidak tahu apa yang kamu lihat, tapi kakak yakin kamu kuat. Ada kakak di sini, untuk melindingimu..." kata Kak Jaka lembut, suaranya memberat
Kirana memeluk Kak Jaka. Jaga Kakak Tuhan, aku tidak ingin kehilangan Kak Jaka, Kirana berdo'a dalam hati. Entah mengapa, ada kehangatan yang merayap di hatinya. Aku sayang Kakak, aku harap Ayah dan Bunda disini...
Angin berembus kencang. Rambut Kirana bergerak-gerak diterpa embusan angin. Jendela-jendela mendadak tertutup hingga meninlmbulkan bunyi yang cukup keras. Kirana dan Kak Jaka bertukar pendangan. Mereka berlari ke lantai atas. Kabut, wangi Mawar dan Pandan kembali muncul. Kirana panik. Hatinya menjerit. Pintu kamar terbuka dengan kasar. Sesuatu menarik rambut Kirana. Dia berteriak kesakitan. Kak Jaka yang ingin menyelamatkannya, malah terpental masuk ke kamar Kirana. Pintu kamar mendadak tertutup. Kaki Kirana ditarik ke belakang. Dia terjatuh. Jari-jari Kirana menahan tubuhnya agar tidak tertarik ke belakng. Dia di tarik ke kamar milik Ayah dan Bunda. Kirana ingin berteriak, tapi dia seolah membisu. Entah apa yang membuat suaranya hilang.
Tap!
Sebuah pisau tertuncap dilantai tepat didepan wajah Kirana. Dia bersyukur pisau itu tidak mengenai wajah ataupun bagian tubuh lainnya. Kakinya ditarik semakin kuat, jari-jari tangan Kirana sudah kehabisan tenaga. Dia ditarik masuk ke kamar. Hidupku berakhir di sini! Kirana mulai pasrah. Pintu kamar ditutup kencang, Kirana sempat berpikir rumahnya akan roboh. Tapi sekarang, pikirannya tertuju ke Kak Jaka, bagaimana keadaan kakak sekarang? Dengan sisa tenaga, Kirana mencoba berdiri. Baru saja berdiri, sosok perempuan yang beberapa waktu lalu di lihatnya muncul di hadapannya. Ada raut wajah kemarahan yang tersirat di wajahnya. Kirana merasa kakinya mati rasa. Apapun yang terjadi, satu harapannya, Kak Jaka selamat! Masa bodoh dengan diri sendiri! Wanita itu mendekat ke arah Kirana. Tangannya terulur. Sepersekian detik, tangan kurus dengan jari-jari panjang berhasil meraih leher Kirana. Napas Kirana terhenti untuk lima detik. Tiba-tiba, Kirana mendapati dirinya sudah tersandar di dinding dengan tangan si wanita yang mencekik lehernya. Kirana yang setengah sadar, mendadak di lepaskan begitu saja hingga jatuh dengan cukup keras. Di sisa-sisa kesadaran, wanita itu memantuk-mantukkan kepala Kirana ke lantai. Rasanya, otak Kirana bergeser.
**********
Kirana mendapati dirinya sedang berada di lorong yang entah dimana. Mungkin kini dia di surga? Tapi tidak mungkin! Telinganya menangkap suara tawa anak-anak. Perempuan. Kirana mengikuti asal suara tersebut. Ada dua orang anak perempuan yang sedang bermain di ruang tamu. Sepertinya ini rumah, gumam Kirana. Tapi tunggu, kenapa dia bisa di sini? Apa yang terjadi? Kirana melihat dua orang anak perempuan yang berusia tujuh tahun. Salah seorang diantara mereka berambut sebahu, kulitnya kuning langsat, matanya besar dan berbinar-binar. Cantik. Sementara yang satunya lagi berkulit putih pucat, matanya sayu, rambutnya panjang tergerai, menutupi sebagian wajah. Mereka bermain boneka. Kirana tersenyum. Anehnya, mereka tidak melihat Kirana, dia juga tidak bisa bicara.
"Boneka mu cantik Ri, sama sepertimu" kata Si pucat -kita namai saja begitu-
"Terima kasih, boneka punya Riana juga cantik kok, sama seperti pemiliknya," Si gadis yang satu lagi berkata ke Riana - nama Si pucat tadi-
"Aku... cantik..." ucap Riana terbata.
"Iya, Riana, cantik," kata temannya, dia menyingsingkan rambut yang menutupi wajah Riana. Riana tersenyum, gigi gingsulnya terlihat. Senyumnya manis.
"Terima kasih Arini," Riana tersenyum.
Semua menjadi gelap.
**********
Pintu kamar digedor-gedor. Kirana membuka mata, berat sekali rasanya. Ubin yang sebelumnya berwarna putih cemerlang, kini kotor dengan bercak darah. Darah segar yang mengalir dari kepala Kirana.
Pintu terbuka, seorang gadis dengan perawakan jangkung masuk ke kamar. Wajah gadis itu ditutupi masker. Rambut hitam panjangnya tertiup angin. Kirana mencoba memperjelas pandangannya. Tapi, benturan yang cukup keras, berhasil membuat rasa pusing yang hebat. Perlahan, mata Kirana kembali tertutup tanpa sempat berkata apapun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sixth Sense [COMPLETED]
HorrorBagaimana jika kehidupan normal kalian berubah menjadi hancur? Di selimuti teror-teror yang mengancam nyawa, dan ternyata berasal dari masa lalu? Sepasang kakak beradik mengalami teror yang mereka tidak ketahui asal muasalnya. Namun, teror tersebut...