Kirana pov
Kubuka pintu mobil, gradasi warna biru yang ada pada laut beradu dengan birunya langit. Aku berlari menuju pantai. Membiarkan ombak mengenai kakiku yang kini bertelanjang dan mencetak jejak. Cipratan air membasahi baju belakangku. Kulihat Kak Jaka sebagai pelaku yang harus bertanggung jawab atas baju bagian belakangku yang kini basah.
Kak Jaka tertawa mengejek. Aku mengejarnya. Tawa murni milikku dan miliknya becampur. Aku balas mencipratkan air tepat diwajahnya. Cuaca panas khas pantai tidak kami hiraukan. Menyenangkan sekali. Pantai hari ini sepi, wajar saja hari ini senin dan masih pagi. Sekolah? Ayah sudah meminta izin karena akan pergi-- bersenang-senang.
"Kirana, Jaka, ayo makan dulu," paggil Ayah.
Kami menoleh. Kak Jaka tersenyum licik, aku benci senyuman itu. "Yang terakhir harus membersihkan kamar pemenang selama satu minggu!" Kak Jaka berlari. Aku mengejarnya.
Kak Jaka sampai duluan dan berhenti mendadak. Aku tidak yang bisa menghentikan langkah, menabrak punggung keras Kak Jaka. Hidungku sakit. Sungguh! Aku lebih mirip menabrak pohon dibanding orang!
"Ayo makan," Bunda terasenyum.
Aku mengambil piring, mengisinya dengan nasi dan lauk yang terdiri dari makanan laut. Aku memosisikan diri untuk duduk disebelah Kak Jaka. Seberapa seringpun kami bertengkar, aku tidak ingin berjauhan dari kakakku.
"Kak, aku mau cuminya," jemariku menunjuk kearah mangkuk putih berisi cumi.
"Ini?" Aku mengangguk, "nih," ku raih mangkuk itu. Aku menggasak isi piring hingga bersih.
Kami tidak langsung pulang. Aku dan Kak Jaka melanjutkan permainan kami tadi. Setelah agak siang, mulai banyak turis yang datang. Bunda menyuruh ku untuk bilas.
Setelah makan Ayah mengajak kami kesuatu tempat. Perjalanan ketempat ini hanya memakan waktu sekitar 20 menit dari pantai yang tadi kami kunjungi tadi. Sebuah tempat luas yang ditumbuhi ilalang. Aku dan Kak Jaka berlarian disekitar situ.
Bunda dan Ayah mengajak kami berfoto. Jujur, tempat itu memang sangat bagus untuk berfoto. Tak heran, banyak orang yang menggunakannya sebagai tempat untuk foto prewedding.
Saat yang paling kubenci dari berpergian adalah pulang. Ayah mengendarai mobil sembari bercanda ria dengan kami. Tiba-tiba...
Bruk!
**********
Kirana mengelus kepalanya. Dia jatuh dari tempat tidur. Lagi. Kepalanya terasa amat berat. Ia suka awal dari mimpi itu, tapi tidak dengan akhirnya. Kirana benci, sangat benci. Sebenarnya, sudah berkali-kali dia mimpi seperti itu. Mimpi yang mengingatkannya pada kecelakaan sialan yang mengambil nyawa Ayah. Kirana memukul-mukul kepala dan mencuci muka. Pandangan yang semula kabur mulai jelas. Kirana melihat pantulan dirinya dicermin. Ada raut lelah.
Prang!
Suara piring pecah sukses membuatnya terkejut. Kirana segera berlari menuju dapur. Nampak Bunda dan Kak Jaka. Bertengkar lagi...
Kirana memilih untuk menjadi penonton dalam beberapa menit. Mencoba memahami apa yang terjadi."Harusnya dipirkan dengan baik! Itu kenangan dari Ayah! Yang diwariskan untukku dan Kirana! Tidak ada siapapun yang berhak menjualnya! SIAPAPUN!" Kak Jaka berkata dengan nada tinggi.
"Bunda minta maaf, ini terpaksa," kata Bunda.
"Itu hakku dan Kirana, Ayah sendiri yang bilang begitu dan Bunda sudah menjualnya? Sama saja Bunda mengkhianati Ayah." Kak Jaka berkata dengan penuh penekanan.
"Bunda minta maaf,"
Kirana hanya terdiam. Uratnya menegang. Apa yang diwariskan Ayah? Kenapa Bunda menjualnya? Apa? Kenapa? Bagaimana? Siapa? Pertanyaan demi pertanyaan menggentayangi Kirana seperti hantu.
Esoknya, Kirana sekolah. Senin. Kirana harus upacara, ya, bukan dia saja sih, tapi banyak orang lainnya. Pagi- pagi sekali dia datang. Hah! Sepi sekali. Hanya ada dia dan temannya yang sedang melaksanakan piket kelas.
Pelajaran hari ini semuanya kosong, guru sedang rapat untuk mempersiapkan kelas 9 yang akan melaksanakan ujian. Kirana menghabiskan waktunya dengan membaca buku.
Pulang. Terkadang saat ini agak dibenci oleh Kirana. Dia tidak mau melihat Bunda dan Kak Jaka bertengkar. Kirana ingin keluarganya seperti dulu lagi. Jauh sebelum kisah ini dibuat.
Kirana mencoba mencari cara untuk menghentikan pertengkaran diantara mereka. Pintu rumah dibukanya dengan satu tangan.
Kirana mendapat sebuah ide. Beruntung, dia masih punya uang. Kirana akan melakukan sesuatu. Dia melihat Kak Jaka yang tengah duduk. Pulang awal kah dia?
"Kak," sapanya. Kak Jaka hanya tersenyum.
Kirana mengendap-endap menuju kamar Bunda. Dia menaruh brownis yang tadi di beli, dibawahnya ada sepucuk surat. Aku harap Bunda menemukannya.
Benar saja, Bunda yang masuk kamar menemukan brownis itu. Dia melihat sebuah kertas dengan tulisan. Matanya memincing, sesuatu menghangat.
Maaf, tapi kurasa kita perlu bicara. Satu keluarga...
Bunda menghela napas. Dia tahu itu Kirana. Apa yang dilakukan anak itu? Kirana selalu punya kejutan dan cara sederhana.
Kini, Kirana, Bunda, dan Kak Jaka duduk di meja makan. Kirana menatap Bunda dan Kak Jaka satu persatu. Matanya menyiratkan permohonan dan rasa sedih.
"Aku mau seperti dulu," Kirana to the poin.
"Maksudmu?" Tanya Bunda.
"Aku ingin keluarga kita seperti dulu, kalian pasti paham,"
Bunda tersenyum, "maaf sayang,"
"Bisa kan? Bun, Kak," Kirana tampak memaksa.
"Iya sayang,"
"Kak?"
Kak Jaka menghela napas. "Bisa, maafkan kakak,"
Kirana tersenyum lebar sekali. Entah kenapa, rasanya dia ingin menangis. Sejurus kemudian, Kirana menghambur memeluk Bunda dan Kak Jaka bersamaan.
Bunda menatap Kirana langsung. Dia memeluk putri kesayangannya dan mencium pipinya. Kak Jaka memeluk Kirana dan mengelus kepalanya.
Aku sayang mereka...
**********
Hai! Ketemu again ama saia😁 gak ada ide tapi mood nulis, ya gini deh :" mana cuman dikit lagi, BTW, ini hampir terakhir 😢 terus baca, vomment+ ikuti eaaa....
See u 💋💋💋
KAMU SEDANG MEMBACA
Sixth Sense [COMPLETED]
HorrorBagaimana jika kehidupan normal kalian berubah menjadi hancur? Di selimuti teror-teror yang mengancam nyawa, dan ternyata berasal dari masa lalu? Sepasang kakak beradik mengalami teror yang mereka tidak ketahui asal muasalnya. Namun, teror tersebut...