Penyelesaian

1.3K 102 0
                                    

Deg!

Sisil tersadar. Dia baru saja melihat memori inti dari Riana. Ini hanya sebuah kesalah pahaman. Riana mengira, Arini membunuhnya, padahal tidak begitu. Kirana terus berontak, dia melempar sebuah vas yang nyaris mengenai Mawar. Bunda hanya terdiam. Dia tahu, selama ini Riana mengincarnya.

"Mawar, tolong pegangi tangannya, Arini..." Sisil menunjuk kesebuah kalung berlambang bulan cembung.

Dengan segera, mereka melakukan apa yang diperintahkan oleh Sisil. Kirana terus meronta-ronta dan mencoba membebaskan diri. Sisil membisikkan sesuatu.

"Kepadamu, kumohon, bicaralah..."

"Kepadamu, kumohon, bicaralah, katakan apa yang kau rasakan,"

Sisil membuka mata Kirana. Matanya hitam pekat, tanpa ada putih setitik pun. Pelupuk mata Bunda memanas melihat keadaan putri bungsunya. Kak Jaka hanya duduk sembari berdoa, terkadang, dia menyesal tidak memiliki kemampuan apa-apa karena tidak bisa membantu Kirana.

"Riana..." bisik Arini.

"Aku akan membunuhmu! Kamu menghancurkan hidupku!" Suara Kirana terdengar berbeda.

"Kamu salah paham, aku terpaksa, aku dan Andre harua melakukannya. Kami tidak ingin kamu tersiksa," air mata Bunda kembali menetes.

"Kamu memisahkan ku dengan keluargaku! Persetanlah kamu!" kata-kata Riana barusan, membuat hati Arini sakit. Sakit sekali.

"Ibu..." Mawar bersuara. Mata hitam Kirana kini menatap wajah Mawar yang sedang tersenyum.

"Aku Mawar, putri ibu... kumohon, jangan ganggu Kirana. Aku sayang ibu," Mawar mengelap pipinya yang basah karena air mata.

"Mawar..." tangan kanan Kirana mengelus pipi Mawar. Tapi, tatapannya beralih saat melihat Arini menggenggam tangan kirinya.

Dengan sangat cepat, Kirana mencekik Bunda-- tanpa sadar tentunya. Bunda hanya mampu membelalakkan matanya. Napasnya serasa berhenti. Sulit sekali. Mawar melepas tangan Kirana dengan keras dan sedikit kasar.

"Kumohon, pergilah," Sisil meniup telinga dan menarik sesuatu dari puncak kepala Kirana. Asap putih terlihat.

Kirana tidak sadarkan diri. Sisil mengeluarkannya secara paksa. Ini bukan hal bagus. Riana pasti marah dan akan kembali dengan hal yang lebih dari sebelumnya. Tapi jika terus dibiarkan, nyawa Kirana akan teramcam.

"Bisa jelaskan semua ini?" Kak Jaka tampak sedang meredam emosi.

"Jaka, Riana adalah teman Bunda, suaminya adalah teman Ayah. Dia... adalah ibunya Mawar. Dia meninggal karena leukimia," Bunda tersenyum tipis.

"Dia bilang Bunda membunuhnya," kata-kata Kak Jaka penuh penekanan.

"Dia salah paham. Bunda terpaksa. Bunda tidak ingin melihatnya tersiksa. Ini adalah kesepakatan bersama." Bunda berkaca-kaca.

"Benarkan! Selama ini salah Bunda! Jika saja Bunda tidak berbuat seprti itu, Kirana akan baik-baik saja!" Kak Jaka kembali menyalahkan Bunda. Dia... hanya melihat dari satu sudut pandang saja.

"Bu... bukan begitu Jaka. Mengertilah..." Bunda terisak. Sisil mencoba meneangkan. Kak Jaka dengan penuh emosi pergi setelah menggebrak meja.

Mawar yang tadi hanya diam kini beralih mengejar Kak Jaka. Mawar berlari mengejar Kak Jaka. Agaknya, Kak Jaka tahu jika Mawar mengejarnya. Kak Jaka berhenti mendadak dan hampir saja Mawar mengejarnya.

"Kenapa lo ngejar gue?" Kak Jaka melihat Mawar dengan tajam.

"Karena... kamu udah bikin Bunda sedih, kamu sebenarnya salah paham," Mawar mencoba menetralkan napasnya yang tidak beraturan setelah berlari tadi.

Sixth Sense [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang