Mata Kirana mengerjap, cahaya matahari merambat masuk melalui jendela kamarnya. Kirana segera bangun, mandi dan bersiap kesekolah. Awalnya, dia malas untuk bersekolah, mengingat kejadian kemarin dan kejadian beberapa hari yang lalu saat bermasalah dengan Husen.
Sisil masih dirumah mereka. Dia takut terjadi sesuatu. Apa lagi, teror yang sulit diprediksi dan sangat sulit untuk dikontrol. Hening. Tidak ada percakapan. Entah kenapa, Kirana seperti kehilangan gairah untuk makan.
Kak Jaka menepuk bahu Kirana, dia mengisyaratkan untuk segera pergi sekolah. Kirana berdiri. Bunda ikut berdiri. Dia mengambil sesuatu dari kantung celananya.
"Jaka," panggil Bunda. Kak Jaka menoleh.
"Ini," Bunda melempar sebuah kunci. Kunci sebuah motor. Kak Jaka yang paham tersenyum dan mengangguk.
Mereka menuju ke garasi. Kirana terlonjak kaget saat melihat sebuah motor sport berwarna merah terparkir. Kak Jaka memasukkan kunci dan menstarter motor tersebut. Dia memakai helm full face. Kirana melihat motor tersebut dengan bingung.
"Aku naiknya gimana?" tanya Kirana.
"Nih, nih, di depan. Ya di belakang lah, gimana sih," ucap Kak Jaka dengan nada yang terdengar lucu.
"Tinggi kak," - Kirana.
"Enggak tinggi, kamu aja yang kependekan," kata Kak Jaka.
"Eh, sialan,"
Dengan susah payah, akhirnya Kirana berhasil naik keatas boncengan motor tersebut. Dia duduk menghadap kedepan bukan kesamping, berhung yang dikenakan adalah rok panjang bukan rok pendek.
Mereka sampai di sekolah Kirana. Beberapa orang melihat Kirana mulai bisik-bisik. Kirana yang risih mendengarnya hanya bisa mendecak. Tapi ternyata, Kak Jaka juga mendengarnya. Dia tersenyum miring, sebuah ide mengilhami kepalanya. Kak Jaka membuka helm dengan gaya rupawan, membuat beberapa siswi berhenti berjalan.
"Kenapa?" tanya Kirana.
"Gerah," jawab Kak Jaka.
"Lah, kan nanti mau dipake lagi," Kirana berujar sewot.
"Yaudah ya sayang, nanti pulang aku jemput," kata Kak Jaka dengan penekanan di kata sayang. Para siswi terkejut.
"Paan sih, jijik, sana pergi, simpan tuh sayang buat Kak Mawar," Kirana berkata penuh kemenangan.
"Dah ah, pusing," kata Kak Jaka lalu pergi.
Kirana berjalan kekelasnya. Kirana mengambil kunci lokernya dan membuka loker. Seluruh orang menatap aneh Kirana karena pernah kerasukan disekolah.
"Dia yang kerasukan itu kan?"
"Hati-hati nanti setannya nular,"
"Jangan dekat-dekat dia bahaya,"Jujur saja, sebenarnya Kirana sakit hati dengan semua perkataan itu. Kirana hanya bisa mengembuskan napasnya dan mengambil sebuah novel karangan Agatha Christie. Titik-titik air jatuh tepat diatas lembaran buku itu. Ah, tidak ada gunanya menangis.
"Kak Kirana jangan nangis," sebuah suara menyapa Kirana. Seorang -- bukan, orang, dia hantu-- tersenyum malu-malu. Kirana tidak mengenali sosok yang satu ini.
"Aku Esther, teman main kakak dulu," Esther kembali tersenyum.
Kirana menautkan alisnya, Esther? Ya, akhirnya Kirana ingat. Esther adalah gadis kecil yang cantik. Dia harus meninggal karena virus yang dulu menyebar. Dia meninggal tepat beberapa hari setelah kemerdekaan Indonesia.
"Hai, Esther, maaf ya, aku agak lupa," kata Kirana.
"Tidak apa-apa kak, emm... kak..." Esther tampak memainkan jemarinya, Kirana tahu maksud Esther.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sixth Sense [COMPLETED]
HorrorBagaimana jika kehidupan normal kalian berubah menjadi hancur? Di selimuti teror-teror yang mengancam nyawa, dan ternyata berasal dari masa lalu? Sepasang kakak beradik mengalami teror yang mereka tidak ketahui asal muasalnya. Namun, teror tersebut...