Locus #1

8.6K 369 10
                                    

"Allahu Akbarrr!" Seorang gadis belia yang duduk dibangku nomor tiga bus putih merasakan getaran hebat mengguncang tubuhnya. Bukan! Ini sama sekali bukan gempa. Tapi, getarannya seolah-olah menciptakan guncangan lokal 7 skala ritcher akibat pompa jantungnya yang begitu deras.

"Aaarrrgh..." kali ini diikuti dengan erangan. Kesakitan yang amat sangat mendera tubuhnya yang lelah. Dan, Tiba-tiba tubuh gadis itu mengejang. Kaki dan tangannya membiru. Wajahnya benar-benar pasi. Mulut gadis itu terkunci rapat. Ada aliran darah dari mata, hidung, dan mulutnya. Darah segar yang membuat wajah itu terlihat benar-benar sangat mengerikan. Seperti tayangan film-film horor.

"Naya!!" Teriakan panik menggema. Sumber suara itu adalah teman sebangkunya sendiri, di atas bus kampus bernomor 23 bertuliskan "Bus Kampus Universitas Andalas".

"Naya, kamu kenapa?" Sekelompok orang segera berkerumun disana. Suara-suara orang-orang panik.
"Kok bisa kayak gini?"
"Ga tau! Dari tadi dia emang kelihatan gak fit. Bawaannya diem aja. Aku heran juga, masa' Naya yang heboh bisa jadi pendiem. Tapi, kupikir dia kecape'an."
"Gimana nih? Bawa ke RS M. Jamil aja!"
"Kalo' pake bus bakalan lama."
"Kita udah di Sitinjau Laut. Nanggung kalo harus ganti mobil."
"Tapi, ini harus segera. Kalo' gak, bisa fatal. Yan, kamu calon dokter kan, coba dilihat." Salah seorang dari mereka mendekat. Seorang mahasiswi kedokteran semester V.

"Gejala seperti ini baru pertama kali kulihat. Bagusnya emang di bawa ke M. Jamil aja!"
"Bang Arif bawa mobil kan? Gimana kalo minta diantar sama dia aja?"

"Ya,  kayaknya  itu  satu-satunya  solusi  paling  tepat.  Mudah-mudahan  tidak terlambat.  Cepat  telepon  bang  Arif!"

Beberapa  menit  kemudian,  Arif  telah  memarkir  Honda  Jazz-nya  di sisi  bus  kampus itu.  Lalu,  beberapa  orang  membopong  tubuh  lemas  Naya  ke  dalam  Honda  Jazz  Biru  tua yang  mengkilap  itu. Arif  melarikan  Honda  Jazz  itu  dengan  kecepatan  tinggi.  Sesekali  diliriknya  tubuh lemas  itu  dengan  rasa  khawatir  yang  sangat.

Ohhh Allah,...apakah  ini  semua  salah  hamba? Apakah  perkataan  hamba  siang  itu  yang  membuatnya  seperti  ini  ya  Rabb?  Oh  Allah, selamatkan  dia.  Ya  Allah,  hamba  mohon,  selamatkanlah  dia.

****
Satu  sosok  mondar  mandir  di  depan  ruang  berlabel  sekretariat  BEM-KM  itu.  Di wajahnya  tergambar  jelas  kecemasan  seolah-olah  ada  sesuatu  yang  hilang.  Digerogohnya saku  kanannya,  mengambil  satu  benda  mungil  dan  memencet  beberapa  nomor,  setelah sebelumnya  mencoba  mengingat-ingat,  apakah  salah  satu  nomor  yang  tersimpan  di phonebook  handphonenya  itu  adalah  nomor  yang  benar  .  Lalu,  perlahan  pemuda berwajah bagus  itu  merapatkan  benda  mungil  itu  ke  telinganya.
"Assalamu'alaikum"  terdengar  jawaban  dari  seberang
"Wa'alaikumussalam  warahmatullah"
"Benar  ini  uni  Rahma?"
"Ya,  benar.  Ini  dari  siapa  ya?"
"Saya,  Arif."  Masak  dia  ga  tau  Arif  siy? "Afwan,  Arif  yang  mana?"  Terdengar  jawaban  kebingungan  dari  seberang.
"Hmm... Presma"
"Ohh,  'afwan.  Ada  apa  ya?"
"Cuma  nanyain,  uni  satu  wisma  dengan  Naya  kan?  Apa  Naya  masih  di rawat di RS M.  Jamil?"
"Hmmm,... ditransver  ke  PRCWH."
"PRCWH?  Apa itu?  Masih  di  Padang"
"Afwan  sebelumnya,  ada  perlu  apa  dengan  Naya?  Barangkali  bisa  saya  bantu?"
"Gak,...  se..seperti  bi..biasa,  urusan  BEM".  Jawabannnya  memeberi  alasan dengan  tergagap.
Tapi,  aku  benar-benar  harus  menemuinya.  Setidaknya,  aku  ingin  tahu keadaannya.  Jangan-jangan  benar,  ucapanku  siang  itu  membuatnya  seperti  itu?  Jangan-jangan  ini  semua  salahku!  Oh  Rabb,....  Ampuni  jika  terselip  di  hati  ini  niatan  lain.
"Halo...  halo..."
"Ups,...  'afwan."
"Maaf,  saya  rasa  kurang  pantas  membicarakan  urusan  BEM  kepada  orang  yang sedang  kritis  kondisinya."
Pernyataan  itu  lugas.
"Yah,..  saya  mengerti.  "  Ujar  pemuda  itu  tergagap.  "Tapi,...  PRCWH  itu dimana?"
"Di  luar  kota  Padang.  'Afwan,  saya  ga  bisa  menjelaskan  lebih  detil"
"Oh  gitu.  Syukran..."
"Afwan"
"Wassalamu'alaikum"
"Wa'alaikum  warahmatullah"

Arif,  pemuda  yang  mondar-mandir  itu  kembali  memasukan  benda  mungil  yang baru  saja  digunakannnya  untuk  menelpon  ke  dalam  kantong  kanan  celana  dasarnya.  Lalu menghembuskan  nafas  kuat-kuat.

Oh  Allah,...  kenapa  rasa  kehilangan  itu  menderap  hati  hamba?  Hamba  tahu  ya Rabb,  kehilangan  itu  adalah  rasa  yang  tak  pantas  untuk  saat  ini.  Tapi,  ya  Allah,  dia kukuh  bertahan  di  hati  ini.  Astaghfirullah.  Astaghfirullah,...  ampuni  hamba-Mu  ini  ya Allah. Rabb,...  hamba  mohon,  selamatkan  dia.

Selamatkan  akhwat  itu  ya  Allah.  Rabb,... berikan  yang  terbaik  untuknya.  Ampuni  hamba  ya  Rabb,  jika  hamba  adalah penyebabnya.  Ampuni  hamba  ya  Allah,  jika  tindakan  yang  hamba  ambil  siang  itu  salah.

Perlahan,  dimasukinya  ruangan  itu.  Sepi.  Tak  satupun  pengurus  BEM  hari  ini yang  'mangkal'  di  sekretariat.  Selain  karena  hari  itu  adalah  liburan  nasional,  jam  juga telah  menunjujkkan  waktu  asyar.  Perlahan,  dirapikannya  berkas-berkas  yang  berserakan di  atas  meja  kerjanya,  mematikan  komputer,  dan  memeriksa  satu  per  satu  ruangan  lain.   Lalu  beranjak,  mendekati  jendela  dan  perlahan,  semilir    angin  menembus  hingga menerpa  wajah  tampan  itu.

Kesegaran udara sore menghampirinya. Sungguh sejuk jika kita menikmati sore dari atas puncak bukit Limau Manih ini. Dari kejauhan, pemandangan mentari sore yang membuat laut Muaro itu seakan berkilau terlihat kemasan, suatu sketsa lanskap yang sangat cantik! Yah... pemandangan laut yang terlihat dari puncak bukit.

Tiba-tiba satu memori menelusup diingatan Arif. Di sini,... ya, ... disini pertama kali ia menjumpai akhwat tersebut. Seorang gadis yang baginya berkepribadian kukuh dibalik sikap lembut dan terkadang childishnya yang menggemaskan. Meskipun ia tahu pasti, bahwa gadis itu tidak sedang menunjukkan kemanjaan yang dibuat-buat ketika berinteraksi dengan lawan jenis.

Mengingat itu, Arif tercenung. Dahulu, betapa kuatnya azzam di hatinya ketika pertama kali tahu bahwa ratingnya di pemilu raya Unand periode ini adalah tertinggi,--kendatipun masih banyak yang tak menggunakan hak pilihnya itu-- untuk benar-benar menjaga amanah ini. Berusaha untuk menjadi pemimpin terbaik. Sebab, dua pulu ribu aspirasi mahasiswa Unand tertumpu di pundaknya. Dan, kepercayaan itu takkan disia-siakannya. Selagi mampu, ia akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk memperjuangkan kepentingan mahasiswa. Itu semua sudah menjadi tekadnya. Di balik itu, ia menyadari sepenuhnya, kursi ini adalah kursi yang berat. Sangat berat! Sebab seorang pemimpin adalah pelayan bagi umatnya. Karena menyadari betapa beratnya posisi itu, ia juga bertekad akan meningkatkan terus energi afinitas ruhiyahnya.

Betapa mirisnya ia, ketika banyak pemimpin yang miskin dengan energi ruhiyah, yang akibatnya, begitu banyak kekuasaan disalahgunakan. Dan, dia telah ber'azzam untuk tidak menjadi bagian dari pemimpin seperti ini. Intinya, ruhiyahnya dulu yang harus ditingkatkan, begitu simpulnya.

Namun, akhir-akhir ini dirasakannya energi itu mulai low battery. Sungguh, dari awal, dia sesungguhnya sudah menyadari akan adanya godaan-godaan seperti ini, karena adalah niscaya itu semua. Namun, ia adalah ujian yang mesti dilalui. Yah, ujian!

Kumandang suara adzan dari arah mesjid Nurul 'Ilmi membuyarkan lamunannya. Arif bergegas mengunci jendela. Lalu beranjak menuju pintu dan menguncinya. Langkahnya kini diarahkannya menuju Mesjid Nurul 'Ilmi. Berbarengan dengan siswa asrama yang juga hendak menuju ke sana. Bisik-bisik suara segerombolan anak asrama putri samara-samar di dengarnya, "Eh itu kan bang Arif?? Itu loh, yang presiden Unand. Keren banget bo!", "Sayang, dia tuh dingin banget ma kita-kita", "Biar dingin, tapi kan keren. Anak orkay lagi! Liat aja, tunggangannya mobil keluaran terbaru."

Arif semakin mempercepat langkah. Ya Allah,... lindungi hamba dari fitnah wanita. Sungguh, perjalanan ini amat berat ya Rabb.

Penantian Gadis Buruk RupaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang