Pemuda dengan tubuh lemah itu kembali merebahkan badannya sepeninggal teman-temannya. Tangan kanannya yang gemetaran itu meraih amplop putih berloggo OSIS SMAN 5 Bogor yang tadi disodorkan sang sekretaris OSIS itu. Kelihatannya gadis itu tergesa sekali memasukan uang hingga tak melihat kalau amplop yang digunakannya adalah ampolop itu.
Faiz terhenyak kaget mendapati nominal yang terdapat dalam amplop itu. Hah? Tiga ratus ribu? Alhamdulillah. Tapi... dari mana aku akan mendapati ganti uang-uang ini semua? Ah..., Allah..., tolonglah hamba-Mu ini.
Waktu maghrib telah masuk. Pemuda itu tak dapat mengumandangkan azan lantaran sakit. Sedangkan shalat di tunaikannya dengan cara duduk saja.
Malam ini dia sendirian di kamar itu. Malam-malam sebelumnya, dia masih ditemanai Hafidz, kakak lelaki Tiara yang juga pencinta sastra itu. Namun, malam itu pemuda yang lebih tua dua tahun dari Faiz yang kini kuliah di jurusan ilmu Komputer IPB itu harus menginap di kampus lantaran ada kegiatan.
Ibu-ibu di komplek jalan Manunggal itu pun sudah banyak yang menjenguknya, membawakannya nasi dan lauk serta buah-buahan. Ada juga yang bahkan, menawarkan agar Faiz dibawa saja ke rumah sakit. Namun, selama ini dia masih menolak.
Faiz, adalah sosok yang sangat sederhana. Wajahnya bisa dikatakan rata-rata dengan hidung sedikit bangir, kulit sawo matang. Rambutnya ikal dan senantiasa tersisir rapi. Tinggi tubuh tegapnya mencapai seratus tujuh puluh cm.
Kalaupun ada hal yang istimewa darinya, itu adalah semata karena kepribadiannya, jiwa kepemimpinannya, sikap cair, humoris tapi tegas, dan izzah yang dimilikinya. Lelaki itu sangat sederhana. Namun, inner handsome –katakanlah begitu--, dimilikinya. Kepribadiannya ramah, mau berteman dengan siapa saja, dan tidak sedikitpun merasa minder dengan keterbatasan ekonomi yang melandanya. Selain itu, dia adalah pemuda yang sangat taat. Rajin menolong dan gemar pula berinfak kendatipun keuangannya sendiri morat-marit. Dan dia juga adalah penulis yang sangat berwawasan. Karya-karyanya berupa artikel, essai, resensi, cerpen dan beberapa novel ada juga yang nampang di majalah-majalah ataupun koran-koran lokal. Ya, memang masih ditaraf lokal sih.
Lelaki itu tinggal di mesjid Al-Mukhlisin tersebut sebagai marbot. Selain itu, dia juga sebagai Pembina TPA Al-Mukhlisin. Kadang-kadang dia juga berjualan koran atau memberi privat untuk anak SD dan SMP di komplek itu. Bahkan, menjadi penjaga rental pun dilakukannya. Dari sanalah dia belajar komputer dan punya kesempatan pula mengetikkan hasil karyanya jikalau pelanggan rental sedang sepi.
Ingatannya kembali menyelam pada masa-masa silam. Masa yang teramat menyakitkan baginya. Sungguh sangat tragis nasib pemuda itu. Dia adalah salah satu produk broken home dari keluarga yang tak harmonis di kota kecil yang bernama Padangpanjang, Sumatera Barat. Sang ayah adalah pejudi kelas kakap yang kerap bermain perempuan. Sedang sang ibu adalah wanita malam yang sering beroperasi di sekitar daerah terminal Padangpanjang di derah Bukit Surungan yang selalu sepi itu. Waktu itu, terminal itu masih belum aktif dan belum dikelola dengan baik sehingga wajar saja menjadi lahan empuk para PSK dan om-om kesepian atau lelaki hidung belang yang senang jajan diluar.
Di rumahnya, Faiz kecil kala itu sering meringkuk sendirian. Ketakutan telah menjadi santapannya. Anak itu menjadi tak terurus. Belum lagi tamparan sang ayah yang sedang mabuk menjadi langganan di pipinya. Beruntung sekali seorang lelaki tua berumur enam puluhan yang tinggal di sebelah rumahnya sangat perhatian padanya. Beliau menganggap sebagai cucunya sendiri dan menyekolahkannya. Bahkan, Faiz berhasil meraih peringkat satu di kelasnya.
Hari yang naas ketika masyarakat kelurahan Guguk Malintang, dengan penuh amarah mendatangi rumahnya membawa obor dan minyak tanah. Masyarakat yang sedang diamuk amarah itu melontarkan kata-kata kotor dan membakari rumahnya. Ayahnya yang sedang mabuk itu tak dapat berbuat apa-apa. Tubuh gelap itu ikut terbakar bersama api amarah yang dinyalakan masyarakat. Bagaimana tidak? Sudah lebih dari lima orang gadis di kelurahan itu yang diperkosanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penantian Gadis Buruk Rupa
SpiritualNaya, mahasiswi muslimah berjilbab lebar yang terkenal sebagai aktivis BEM dan orator ulung tiba-tiba mengalami pendarahan, kejang dan membiru serta kehilangan kesadaran ketika perjalanan menuju luar kota bersama pengurus BEM lainnya. Semua orang pa...