Satu titik dalam gelap. Lalu titik itu berangsur membesar dan terus membesar. Cahayanya semakin benderang dan sempurna sudah. Sebuah kamar serba putih yang dipenuhi alat-alat 'aneh'. Gadis itu terlalu lemah untuk mengingat semuanya. Fikirannya seolah sedang melakukan searching me-recall semua memory dan mencoba mengingat-ingat, ruangan apakah ini? Namun, otaknya tak berhasil menemukan jawaban. Keterkejutannya bertambah ketika didapatinya tubuhnya amat lemah tak berdaya, bahkan dia tak mampu menggerakkan anggota tubuhnya selain kedipan mata. Astaghfirullah... gadis itu mendesis. Tempat apa ini? Di mana Naya? Apa yang terjadi sebenarnya?
"Tuiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing....!" Alaram berdering disisi tempat tidur serba putih yang kini ditempatinya. Serentak dengan masuknya beberapa orang berseragam putih. Gadis itu semakin heran. Namun, lagi-lagi otaknya terlalu lemah untuk bisa mencerna.
"Dia sudah sadar!" Salah seorang dari kumpulan orang berseragam putih-putih itu bergumam.
Naya memejamkan mata. Meski sisa-sisa energi yang ada di otaknya masih menyisakan pertanyaan-pertanyaan yang belum menemukan jawabnya. Siapa mereka?
"Dia kembali tak sadarkan diri, Dok?"
"Tidak. Dia sudah sadar!"
"Sebaiknya dia istirahat saja dulu. Untuk memulihkan energinya. Gadis ini sangat lelah."
Segerombol orang itu berlalu. Namun, salah satu dari mereka sepertinya belum beranjak dari posisinya. Seorang pemuda dengan kening berkerut, memperhatikan Naya dengan seksama.
Aneh! Pikirnya.
*****
Pagi menjelang.
Naya menggeliat dari tidurnya. Setidaknya, badannya terasa lebih segar pagi ini. Gadis itu membuka matanya. Udara segar menyeruak. Astaghfirullah! Naya belum subuh! Diliriknya jam dinding di kamar itu. Masya Allah, sudah jam 05.30! Gadis itu akhirnya memutuskan untuk bertayyamum, dan menunaikan subuh dengan isyarat. Meski fikirannya diliput berbagai tanda tanya besar, tentang keadaannya, tentang satu potong episode kehidupannya yang hilang dari lembar memorinya.
Gadis itu menunaikan subuh dengan tenang. Teramat tenang. Hingga dia menyelesaikan salamnya. Lalu memanjatkan munajah pada Dzat Yang Maha Memiliki Semesta.
Nyanyian jangkrik menemani subuhnya. Gemercik dedaunan bertasbih memuji-Nya. Sungguh bebatuan meluncur karena takut kepada-Nya. Sungguh, bertasbihlah apa-apa yang meliput langit dan bumi, mengagungkan asma-Nya.
"Pagi Naya!" Sebuah suara bariton mengagetkan Naya. Tubuh lemasnya sedikit bergerak. Ditolehkannya kepala kearah sumber suara sembari berpikir-pikir dari mana dia tau nama Naya? Siapa dia?
"Pagi." Ujarnya lemas, membalas sapaan pemuda tinggi tegap dengan wajah blasteran. Bola mata yang khas nordik yang berwarna biru dan rambut yang sedikit pirang. Namun, hidungnya adalah hidung rata-rata orang Indonesia. Dari logatnya pun bisa ditebak, kalau pemuda ini sangat fasih berbahasa Indonesia.
"Heran ya? Kok bisa-bisanya sih berada di sini? Iya kan?" Todongnya. Naya tak menjawab. Belum habis keherananya tentang tempat ini dan kenapa dia bisa berada disini, kini harus ditambah lagi dengan teka-teki pemuda yang kini berada satu ruangan dengannya. Astaghfirullah, Naya berduaan saja dengannya ditempat ini! Tempat apa ini? Oh Rabb... Lindungi Naya.
"Saya Rhian."
Naya menoleh sejenak. "Bahkan, keberadaanku di sini pun masih menjadi teka-teki besar bagiku." Ucapnya kemudian. Pemuda di hadapannya tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penantian Gadis Buruk Rupa
EspiritualNaya, mahasiswi muslimah berjilbab lebar yang terkenal sebagai aktivis BEM dan orator ulung tiba-tiba mengalami pendarahan, kejang dan membiru serta kehilangan kesadaran ketika perjalanan menuju luar kota bersama pengurus BEM lainnya. Semua orang pa...