"Padaa...ng, sambutlah! Naya dataa...ng!" Naya, itu berteriak sesampainya di Bandara Internasional Minang Kabau. Mengungkapkan segenap ekspresi yang mengendap dibilik jiwanya juga segelintir rasa yang tak terdefinisikan, antara gundah dan merasa kehilangan. Teriakan itu membuat beberapa orang di sekelilingnya melirik kearahnya. Ada yang geleng-geleng kepala. Namun, ada juga yang tidak terlalu peduli. Sepasang Laki-laki dan wanita setengah baya yang berjalan di belakangnya hanya mengulum senyum permakluman mengamati tingkah anak mereka.
Tiupan angin dari arah laut mengibarkan jilbab putihnya. Rok donker berdasar jeans yang cukup longgar yang dikenakannya pun ikut sedikit berkibar. Gadis itu menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya kuat. Fiuff....
"Naya mau ke Limau Manih sekarang?" Si Bapak yang tadi berada di belakangnya bertanya arif, seolah bertanya kepada anak kecil. Lelaki itu kini persis berdiri di hadapan gadis itu. Sementara, tak jauh dari tempatnya berdiri ada dua travel bag dan satu koper yang terisi penuh. Naya memutar bola mata, berpikir sejenak.
"Emang, Limau Manih teh apaan, Pa? Naya mah mau ke UNAND, bukan ke Limau Manih." Protesnya.
"He...he.... Gimana nih mahasiswi Unand ga tau Limau Manih?"
"Wajar donk Pa, Naya mah baruu... aja tahu yang namanya Padang tuh kayak gini. Lah? Kok langsung disodorin nama-nama aneh gitu?" Sang gadis merajuk.
Ingatannya melayang seolah membentuk waktu mundur, ketika dia hendak memutuskan akan mengisikan pilihan apa di formulir SPMB-nya. Ketika dia masih bersama-sama Hanna mengikuti bimbel.
"Na, bagusnya Naya milih apa yak?" Tanya Naya sepulang bimbel suatu hari.
"Hmm...Naya sukanya apa?"
"Naya sih, sebenarnya suka yang berbau IPS gitu. Kemaren tuh, ujian akhir IPA Naya malah gak yakin bisa lulus."
"Kalo' menurut aku, Naya mah cocoknya di FISIP."
"Karena Naya suka demo yak?"
"Itu salah satunya. Salah banyaknya...."
"Aih..., Naya lagi serius nih"
"Afwan. Hmm..., gini," Hanna menatapnya lama. "Naya orangnya organisatoris pisan. FISIP cocok buat Naya. Come on ukhti, Indonesia butuh politikus kayak kamu! Lagian, yang akhwat kan jarang-jarang ada yang politikus yah? Tapi, aku kan tak bisa memaksa. Keputusan akhir mah ada di tangan Naya."
"FISIP apa bagusnya? UI?"
"Ya, FISIP UI. Ilmu politikna. Lagian dari Parung ke UI kan tidak jauh. Tinggal naek angkot Depok 03, brenti di terminal Depok, ngambil angkot ke kampus, nyampe deh." Rumah Naya memang terletak di perbatasan Depok dan Bogor. Cukup jalan 50 meter aja udah sampai di perbatasan itu. Di dekat situ ada yang namanya Segitiga Emas yang langganan macet yang merupakan pertemuan antara Tanggerang, Depok, Jakarta, dan Bogor.
"Mau sih. Trus pilihan dua bagusnya apa?"
"Itu mah terserah Naya."
"Kumaha Hanna teh? Naya tuh minta saran, atuh"
"Iya. Tapi aku juga bingung, mau kasih saran apa."
Namun, entah mengapa, kimia Unand menjadi pilihan yang diisikannya sebagai pilihan dua pada formulir SPMB tahun itu setelah Ilmu Politik UI. Lalu pilihan ketiganya ditempatkannya pada Sejarah Unpad.
Gadis itu sebenarnya sangat berharap untuk lulus di Ilmu Politik UI atau paling tidak, di Sejarah Unpad. Sedang, Kimia Unand malah sama sekali tak ada dalam benaknya. Dan, ternyata Allah berkehendak lain. Kendatipun tidak yakin akan bisa diterima disana, namun tanpa disangka-sangkanya malah jebol disana. Gadis itu sempat syok melihat hasil SPMB-nya yang niatan awalnya cuma iseng-iseng aja. Barang kali karena, teman-teman dan pelanggan mamanya kebetulan banyak yang perantauan dari Ranah Minang. Orang Ranah Minang memang terkenal suka merantau. Mereka cukup sering "ngomporin" Naya untuk memilih Unand.
Diantara pelajaran IPA gadis itu memang paling menyenangi kimia. Satu-satunya nilai IPA yang selalu diatas 6. Waktu ditanya kenapa milih Kimia dengan enjoy dijawabnya, "Sebagai bentuk penghargaan Naya kepada pelajaran IPA yang memiliki apresiasi bagus terhadap Naya. He...he... kebalik ya?" Kenapa Padang? "Mau ziarah ke batu malin kundang tiap minggu" Jawabnya asal.
Sebenarnya ketika hendak berangkat ke Padang, gadis itu masih ragu antara memilih Kimia atau tidak. Karena, selain dia tak punya saudara di Padang, dia juga tak meminati bidang itu. Memilih Kimia pada Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru tahun itu hanyalah coba-coba baginya. Karena, sebenarnya dia sendiri tak yakin akan bisa lulus di Kimia. Hanya saja, dulu, ketika berumur 8 tahun, dia sempat menjadi korban keganasan zat kimia, hampir-hampir saja logam timbal memenuhi aliran darahnya. Untung saja waktu itu dia tertolong. Hingga, kejadian berbekas itu membuat dia memiliki suatu alasan untuk memilih jurusan itu sebagai salah satu kandidat jurusan IPA yang akan dipilihnya pada SPMB. Setelah istikharah, akhirnya dia memilih untuk meneruskan pilihannya itu. Walau bagaimana pun, dia harus belajar bertanggung jawab atas apa yang menjadi pilihannya.
"Paling tidak, Naya udah nyoba gimana hidup di negeri orang tanpa mama papa." Sang mama membujuk.
"Jalani aja dulu ya. Kalau pun mau ngulang tahun depan, Papa mengijinkan kok. Hmm.. kapan lagi kan, anak manja ini bisa mandiri? Kalo' kuliah di UI kan deket. Paling apa-apanya disiapin Mama."
"Ya, Pa, Ma, Naya akan berusaha. Hmm..., tapi, taon depan depan Naya mau coba FISIP lagi." gadis itu berkata dengan nada merajuk.
"Jalani dulu. Mana tau, taon depan Naya udah bener-bener senang di Kimia. Ya kan?"
"Iya sih, tapi..., kayaknya harus nunggu Perang di Timur Tengah selesai dulu deh Pa, baru Naya menikmati dunia sains ini. He...he...."
KAMU SEDANG MEMBACA
Penantian Gadis Buruk Rupa
SpiritualNaya, mahasiswi muslimah berjilbab lebar yang terkenal sebagai aktivis BEM dan orator ulung tiba-tiba mengalami pendarahan, kejang dan membiru serta kehilangan kesadaran ketika perjalanan menuju luar kota bersama pengurus BEM lainnya. Semua orang pa...