Tiba-tiba handphone milik Naya kembali berdering. Papa sayang calling tertera di layar handphone itu.
"Assalamu'alaikum, Papa."
"Wa'alaikumussalam. Naya sayang, kemana saja? Kata mama, Naya ga angkat-angkat telpon dalam dua minggu nih." Terdengar suara ngebas dari seberang "Papa sekarang lagi di pengadilan. Tadi mama kasih tau kalo' Naya udah bisa dihubungi."
"Iya Pa, abii...s, handphone ga di tangan Naya sih."
"Kenapa bisa begitu?"
"Maklumlah Pa..., Naya kan orang sibuk. He...he..." Gadis itu memberi jawaban asal.
"Oh ya, Papa ingin membicarakan suatu hal yang sangat penting untuk masa depan kamu Nak. Gimana kalo' Naya pulang ke Bogor?" Sang Papa bertanya dan lagi-lagi mencipta dilema dihati. Aduh, gimana nih? Haruskah Naya jujur sama Papa mengenai kondisi Naya.
"Pa, Naya ga bisa pulang."
"Kenapa Sayang?" Kejar sang papa.
Duh, cerita apa ga ya?
Cerita,
Engga'
Cerita,
Engga'
Hmm..., mudah-mudahan Papa bisa menanggapinya dengan bijak. Naya yakin Papa seorang sosok yang bijaksana. Bismillah...
"Naya..."
"Ya Pa."
"Begini, Naya kenal sama Arif? Mahasiswa Sosiologi Unand tingkat akhir?"
Naya terkesiap. Dadanya benar-benar bergemuruh. Ba...bagimana Pa..Pa bisa tahu bang Arif?
"Naya, masih di sana sayang?"
"Eh...i-iya Pa."
"Naya kenal sama dia?"
"I-iya Pa, Naya kenal."
"Dia anak temen satu angkatan Papa. Oang tuanya berasal dari Sumatra Barat."
Masya Allah. Sungguh dunia ini sempit sekali. Naya bahkan ga nyangka kalo' bang Arif tuh anak temennya papa. Hmm..., syukurlah dia tak menyinggung-nyinggung masalah khitbah itu. Tapi...,
"Dia meminta kamu kepada Papa."
Naya terperanjat. Keterkejutan yang bukan main. Masya Allah, bang Arif? Bang Arif meminta Naya pada Papa? Ada keharuan menyelinap dibilik dadanya. Oh Allah..., getaran ini. Desiran halus yang menjalari hati ini? Oh... rasa apa ini?
"Naya..., kok jadi terdiam gitu? Diam tanda setuju ya, he...he...?" Papa mencoba mencairkan suasana yang cukup tegang dengan pembicaraan itu.
"Ah Papa..."
"Papa ga maksa kok. Tapi, Papa pikir, dia anak laki-laki yang baik. Dia sopan. Dia juga terlihat sangat bertanggung jawab. Lagian, dia ga neko-neko. Seorang laki-laki yang benar-benar tulus yang ditawarkannya bukanlah angan-angan semu dan pacaran tapi, pernikahan. Dan dia langsung khitbah Naya ke Papa." Sang Papa berpendapat yang membuat dada gadis itu semakin bergemuruh. Oh Papa, pernyataan papa semakin membuat Naya terombang ambing. "Yaa...h, keputusan akhir tentu di tangan Naya. Makanya Papa minta Naya pulang dan kita musyawarakan di rumah. Gimana?"
"Hmm...?" Gadis itu hanya bergumam.
"Ya sudah, nanti Papa telepon lagi. Mau ada sidang. Ditutup dulu ya. Wassalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam warahmatullah."
Fiufff... Naya menghembuskan nafas berat. Persendian bathinnya terasa lemas. Sementara, degupan keras seakan membentuk gendang berirama di dadanya karena jantung memompa darah jauh lebih cepat dari biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Penantian Gadis Buruk Rupa
EspiritualNaya, mahasiswi muslimah berjilbab lebar yang terkenal sebagai aktivis BEM dan orator ulung tiba-tiba mengalami pendarahan, kejang dan membiru serta kehilangan kesadaran ketika perjalanan menuju luar kota bersama pengurus BEM lainnya. Semua orang pa...