Seberang Jalan

23 3 3
                                    


14.30 WIB.


Tepat tiga puluh menit aku merunduk, menyaksikan gerakan kaki yang selalu terayun tanpa menyentuh tanah dengan hanya diam.

Hening yang aku ciptakan cukup untuk membuatku sabar menunggu jemputan yang datang terlambat.

Surai hitam lebat bergelombangku sesekali terayun mengikuti kemanapun arah angin meniupnya pergi, dengan beberapa kali membenarkan letak kacamataku yang mulai jatuh karena terlalu lama merunduk.

Lamat-lamat, aku mendengar suara riuh yang mungkin tak jauh dari sekitarku.

Aku mulai mendongakkan kepala dan menatap tepat di seberang jalan.

Ada sebuah pertandingan basket putra tengah berlangsung, beberapa teriakan kekesalan dan kemenangan bersorak serentak tatkala sebuah bola bundar berwarna orange masuk kedalam ring dalam sekali lempar.

Satu-persatu laki-laki yang tengah sibuk dengan aktivitasnya aku amati tanpa ragu, berhenti pada sebuah teriakan kencang yang mengambil titik fokusku.

Laki-laki dengan surai cokelat tua dibawah sinar matahari itu tersenyum dan tawanya menggelegar diantara tawa kawan-kawannya.

Aku tersenyum mengingat sesuatu, bahwa dia adalah salah satu dari siswa dengan seragam sama denganku.

Kaos basket yang mulai lepek, basah terkena keringatnya sendiri malah membuat aku geli dengan sesekali menggelengkan kepala dan menunduk malu.

Ya tuhan, ada apa denganku?

Hanya karena seorang manusia yang belum aku ketahui namanya saja dapat menghidupkan semburat merah diarea pipiku.

Setelah beberapa menit aku berkutat dengan isi kepalaku, aku kembali mencari keberadaan titik fokusku.

Satu menit berlalu.

Kemana dia?

Aku menautkan alis mataku untuk memicing, membenarkan letak kacamataku agar dapat dengan mudah menemukan satu titik terindah yang baru saja aku temukan.

Permainan basket dengan para pemain yang sama masih asyik dengan aktivitasnya, tapi dimana dia?

Mulai panik dan mengedarkan pandang untuk area sekitar lapangan, masih saja aku tak menemukan sorot mata sipit kala senyumnya merekah kuat.

Aku berdiri karena ingin memastikan apakah dia benar-benar tidak ada, atau yang aku saksikan hanyalah sebuah ilustrasi terindah bayanganku saja?

Tin!!

Tepat kebingunganku mulai membuncah, sebuah mobil hitam berhenti dihadapaku.

Hanya butuh waktu tiga langkah dari posisiku duduk sedari tadi, seorang pria paruh baya lengkap dengan seragam supir pribadi membukakan pintu mobil bagian belakang.

Selepas aku masuk dan segera duduk, aku mengalihkan pandangku pada samping kanan diluar jendela.

Huhh..

Kini apa yang beberapa menit lalu aku cari tengah tertangkap dari indra penglihatanku.

Dengan gerakan santai, tangan mengangkat botol air mineral yang ia teguk dengan cepat, sebelah tangannya lagi gunakan untuk menahan berat tubuhnya yang kini tengah duduk di tanah tanpa alas dengan selembar handuk kecil berwarna putih mengalung di lehernya.

“non..”

Aku sedikit terjingkat karena panggilan dari pria paruh baya dibalik kemudi.

“ehh iya mang Udin, jalan saja, kita langsung pulang. Rheya sudah capek sekali ini”

“baik non”

Mesin mobil terdengar kuat dan tak lama kendaraan yang dikemudikan oleh mang Udin berjalan perlahan meninggalkan arah pandangku pada laki-laki yang masih asyik duduk di pinggir lapangan basket di seberang jalan.

“non Rheya baik-baik saja kan?”

Kekhawatiran yang muncul dari pertanyaan mang udin terpancar kuat, aku yanga mengangguk tanpa suara dan mulai membuka lembar kosong dibalik buku bersampul biru muda.

Dengan rekah senyum yang masih tak mau pergi, penaku menari dengan indah dalam hening dan tarikan napas tenang.

@rheyadhelima :
Ketika matahari tengah terik membakar kulit manusia, nampak sekuntum bunga yang tengah merekah indah tanpa aroma. Jangan hilang hanya untuk membuat aku cemas, tetap diamlah maka aku tak akan pernah bersua dihadapanmu saat itu juga.
#seberangjalan

-penaberjalan-

Terimakasih 🙏

Jangan lupa vote ⭐ and komen 💬 yaaaa para pembaca cerdas 😉

Salam manis,
@rheyadhelima

Dhelima ShavrheyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang