Abu-abu

7 2 2
                                    







"Setelah mamang anterin nyonya mamang langsung kesana non"

Menunggu!

Dari sekian banyak kata, hanya satu yang tak lepas dariku.

Masih bersama jutaan tetes air langit yang menjadi teman dalam waktu, menunggu suatu hal apalagi yang akan terjadi padaku.

Alas kaki ku basah, menjadi korban cipratan air hujan yang entah kapan akan reda, sebagian lengan tangan ku juga sudah kuyup.

Dingin?

Tidak ada yang jauh lebih menusuk terbanding teriakan laki-laki itu, bagaimana nasib sepasang sendal jepit ku tadi.

Semoga kau bisa menggantikan alas kaki nya yang basah, hingga sedikit meredakan amarahnya yang mengejutkan itu.

Hanya ada beberapa lalu lalang kendaraan bermotor yang melewatiku.

Jauh di seberang jalan, lapang basket outdoor mengingatkan ku pada sesuatu.

"Hey"

Aku terlonjak kala sebuah suara menggema dalam pendengaranku, seseorang yang duduk pada sisi kananku yang kosong sejak lalu.

"Nungguin jemputan?"

Aku mengulas senyumku perlahan dan mengangguk setelahnya.

"Sendal darimu sudah terpakai olehnya, sepertinya dia nyaman memakainya"

Aku hanya mengagguk dan mengayunkan kedua kakiku yang mana pada ujung sepatunya menyentuh genangan air tanah karena hujan.

"Tapi.."

Aku memutar pandangku dan menatap laki-laki dengan jaket abu-abu ini lekat, menunggu kata apa yang akan keluar pada mulutnya.

"Dia tak menanyakan siapa yang memberinya, juga tak mengucapkan sekedar terimakasih mungkin"

Aku merekahkan senyumku dan mengangguk mengerti.

Tak perlu di jawab terimakasih, demgar dia memakainya saja aku sudah lebih dari cukup, setidaknya dia masih bisa menghargai niatku.

"Sudah lama?"

Aku kembali mengangguk.

"Nanti malem mau dateng sama Rhena atau...?"

Aku menggeleng dan tersenyum.

"Mau aku jemput?"

"terimakasih, nanti merepotkan"

Aku tersenyum ke araahnya.

"Tapi kita searah"

"Terimakasih Rakka, lain kali saja"

Aku tersenyum lembut, berharap agar dia mau mengerti aku dan kata-kataku tak melukai hatinya.

Dia mengangguk dan tersenyum.

Rakka.

Aku mengenalnya saat kali pertama masuk sekolah, masa orientasi tepatnya.

Dia adalah penolong ku saat akan di hukum kakak senior yang memergoki ku tengah melamun dan telat masuk lapangan upacara satu menit lamanya.

Dia kawanku yang jarang sekali bertatap muka dan sekedar bertegur sapa misalnya, karena jarak kelas kami yang bertolak arah dan kegiatan dia begitu padat karena aktivitas yang ada.

Dan sekarang, dia duduk di sebelahku, menjadi kawan kala duduk diam ku tak jua membawa waktu pada mobil mang Udin yang katanya ingin menjemputku setelah mengantarkan Bunda.

Dhelima ShavrheyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang