3. sialan

8.8K 672 23
                                    

Selesai dengan kegiatan mencuci piring dia langsung melenggang pergi ke kamar Gracia. Sementara itu Gracia mengikutinya dari belakang. Dengan santainya dia duduk di depan meja rias sambil melipat kakinya.

'Hhhh, dasar nona manja'

"Seprai yang baru mana?"

"Itu di lemari paling atas. Yang rapi ya, jangan sampai ada kerutan sedikitpun" angkuh sekali kau nak. Awas kalau sampai Tuhan membalasmu. Jangan salahkan Shani lagi.

Shani melakukan semuanya seperti sudah terbiasa. Sementara itu, Gracia mulai beranjak keluar dari kamar. Ke ruang tv.

"Semua sudah hamba kerjakan Yang mulia. Ada lagi yang hamba harus lakukan?" cibir Shani.

"Hehehe. Sini duduk sebelah aku" Shani pun menghempaskan badannya di samping Gracia. Dan memejamkan sejenak matanya. Lelah rasanya hari ini, semalem dia harus kerja ekstra. Paginya masih di siksa juga.

Dari samping, Gracia memperhatikan Shani. Peluh yang menetes di dahi dan lehernya. Entah kenapa membuat dia kepikiran. Bagaimana rasanya jika dia mendaratkan bibirnya di sana.

'Astaga Gre, mikirin apasih'

Gracia yang merasa kasian pun mengambil tisu dan mengelap peluh Shani. Awalnya Shani kaget, namun dia acuh saja. Sambil mengelap peluh Shani, pandangan Gracia menelusuri setiap inchi wajah Shani. Dahinya yang tidak terlalu lebar. Alisnya yang tebal alami. Tidak seperti dirinya yang tak punya alis. Pada Matanya yang terpejam. Lalu hidungnya yang mancung. Walau masih mancungan dirinya. Bibirnya yang mungil dan pink. Dari segala pemandangan Gracia tadi. Dapat dia katakan bahwa Shani bisa terbilang Manis. Ralat sangat Manis.

"Udah selesai mandanginnya? "

'Lah, gimana dia tau?'

"Apadeh, ga usah ge er"

"Gapapa geer daripada gabisa move on"

"Selalu aja ledekin masalah itu"

Akhirnya mereka berdua pun diam. Sibuk dengan pikiran masing masing. Shani sendiri bingung kenapa dia bisa begitu patuh pada Gracia. Kalau alasannya hanya karena ancaman Gracia. Jelas bukan. Shani bisa saja membalikkan fakta. Tapi melihat pancaran luka dari mata Gracia. Dia jadi iba. Banyak luka yang terpendam di mata itu. Tidak perlu orang ahli untuk mengetahuinya. Semua sudah terpampang nyata di mata Gracia. Dia mulai beranjak dari tempatnya.

"Ci, mau kemana?"

"Pulang"

"Anterin aku ke supermarket dulu yuk. Mau beli persediaan buat sebulan."

"Hhhhh, yaudah ayo. Tapi nanti setelah anterin kamu, aku langsung pulang ya"

"Oke deh"

**

"Waaaaahhh lihat. Ada pasangan lesbian di depan kita nih. Foto dulu yuk terus upload twitter. Biar makin rame hahaha"

Siapa sangka di parkiran supermarket Gracia bertemu dengan mantan terkutuknya. Plus sahabat -ralat- mantan sahabat. Apalagi mantannya itu berkata yang iya iya padanya. Ingin rasanya dia menyumpal mulut sampah mantannya itu. Waaaahhh, sepertinya tanduk Gracia sudah mulai muncul 😈.

"Setidaknya lesbian masih lebih baik daripada penghianat dan pelakor. Aaahh perpaduan yang sangat sempurna. Sama sama tempatnya di sampah. Lagian lo pasti tau siapa yang ada di sebelah gue ini. So, lebih baik lo diem kalo gak mau bokap lo hancur dan lo gak bisa ONS an lagi 😏" Gracia pun melengos tak acuh. Dan menggandeng Shani masuk ke mobilnya.

Shani sambil menyetir pun daritadi masih diam saja. Membiarkan Gracia menenangkan dirinya. Bertemu dengan mantan dalam keadaan seperti itu pasti rasanya complicated. Jadi gak tega ninggal dia kalo Gracia udah kayak gini. Ya meskipun dia terpaksa jadi pacar Gracia.

"Hiks hiks hiks.. Emang dasar penghianat, pelakor. Gue santet beneran lo berdua hiks hiks hiks" sekuat apapun Gracia menyembunyikannya di depan orang. Ada saatnya dia merasa terlalu sakit untuk lebih lama berpura pura.

Shani pun menepikan mobilnya. Tanpa berkata apapun Shani merengkuh Gracia ke dalam pelukannya. Sometimes action speak louder than words.

Saat tangis Gracia mulai mereda. Shani melepaskannya. Gracia daritadi diam saja. Rasanya aneh, saat biasanya dia akan selalu dijahili. Lalu tiba tiba senyap seperti ini.

Jadi daripada bosan dia menghidupkan radio mobilnya.

Belum saja Shani menentukan salurannya, Gracia sudah mematikannya.

"Aku pengen suasana hening"

Shani diam saja. Tapi saat tiba di kedai es krim, dia membelokkan mobilnya.

"Lah ngapain kita kesini? " perasaan tadi Gracia gak minta kesini deh.

"Aku lagi pengen, ayo"

Mereka berdua menikmati es masing masing dalam diam. Gracia sibuk menata hatinya, Shani sibuk memikirkan bagaimana membuat Gracia senyum kembali.

"Saat hati kita gundah, kita disarankan untuk makan manis. Entah kenapa aku juga gak tau. Tapi biasanya, aku gitu" sungguh ini bukan Shani yang biasanya. Yang lempeng, cuek.

"Kenapa kamu ceritain ke aku?"

"Karena aku pengen kamu tau, bahwa untuk melupakan masalah gak harus larinya ke alkohol. Makin kamu terlihat berantakan, makin seneng mantan kamu ngecengin kamu"

"Halah kamu kemaren juga ke club gitu" ejek Gracia.

"Aku ke Club karena nganterin feni. Bukan karena pengen mabuk. Buktinya aku bisa nganterin kamu"

"Dan sekaligus menikmati. " tambah Gracia.

Shani mengacuhkan Gracia, karena pandangannya jatuh pada bibir Gracia yang belepotan. Langsung saja Shani elapin tuh. Gracia otomatis kaget dengan perbuatan Shani.

"Kamu itu cantik. Gak pantes nangisin orang kayak dia. Kamu harus lihat di sekeliling kamu, bahwa ada orang yang bahagia hanya dengan lihat senyum kamu" tanpa menghiraukan muka Gracia yang udah merah kek udang rebus. Shani beranjak begitu saja.

'Dasar princess es'

Tbc

Haaaii makasih masih mau membaca cerita abal abal ini. Maaf juga kalo ada typo, gak baca ulang soalnya.

Authornya baru pulang wisuda langsung apdet loh ini.. Kasih selamat kek wkwkwk ngarep.

Vote dan komennya jangan lupa yaa..

Keyhole💜

I (Can't) REFUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang