Hhhhhh bosan sekali rasanya. Pagi hari ini dia gak tau mau ngapain. Mau jailin Shani, dia pagi buta tadi udah pulang karena mau kerja katanya. Jangan tanya lagi siapa yang mengantarkan, sudah pasti Shani pulang sendiri. Dasar emang gak bertanggung jawab Gracia tuh. Padahal tadi malem, dia yang maksa Shani buat nginep. Ya tau sendirilah gimana susahnya Gracia kalo bangun. Tapi entah kenapa, otaknya selalu encer. Buktinya dia udah lulus bareng sama Shani.
Ah, telfon papanya aja kali ya. Tapi Papanya kan bos, pasti sibuk. Ah bodo amatlah. Terdengar nada sambung dari seberang.
"Halo" jawab papanya.
"Halo pa, Gracia bosen nih di apart sendiri. Gracia boleh main ke kantor papa gak?" rajuk Gracia. Memang yang paling manja dasar.
Papanya tersenyum mendengar nada manja dari anaknya. "Boleh kok, tapi papa lagi di kantor cabang yang baru. Kamu udah tau kan?"
"Yang di jalan punakawan itu bukan?"
"Iya sayang. Kamu hati hati ya kesininya"
"Iya pa" langsung saja di matikannya telpon papanya. Sopan sekali jadi anak.
Gracia segera bangun dan ganti baju. Lalu ngaca dan tersenyum 'cans sekali' hadeeehh dasar narsis. Dia meraih kunci mobilnya dan melenggang pergi.
Di perjalanan, saat lampu merah dia melihat seorang anak kecil yang mengemis. Gracia termenung, Harusnya dia bisa lebih bersyukur atas hidup ini, meskipun keluarganya berantakan. Tapi tidak sampai seperti anak itu. Saat anak itu mengetuk pintu mobilnya, dia memberi uang lima puluh ribuan kepada anak itu. Senang bukan main tentunya anak itu, sampai mengucap terima kasih berkali kali.
Saat sampai di kantor papanya, dia heran. Bukannya ini kantor cabang, tapi kenapa besar sekali. Memang kantor pusat perusahaan papanya lebih besar. Tapi cabang lainnya tak sebesar ini. Dia masuk sambil terus mengedarkan pandangannya, dia tak mengenal satu pun pegawai yang dia lihat. Ah iya, pasti ini semua karyawan baru juga. Kalo di kantor pusat dia sudah kenal banyak orang.
Saat sampai diruangan papanya, dia melihat papanya sedang berbicara dengan seseorang. Sepertinya serius. Tapi kayaknya Gracia tau siapa orang itu. Oh iya, dia om Jimy. Adik papanya.
"Abang gak bisa gitu dong. Kurang apa aku sama abang. Masak cabang segede ini mau di kasih buat anak abang yang masih baru lulus itu sih" protes Jimy.
Oh seharusnya dia tidak melihat ini kan. Baru saja dia berbalik, suara papanya menghentikannya.
"Ah kebetulan, ayo Gracia sini. Papa mau ngomong" panggil papanya.
Gracia masuk sambil melirik ekspresi om nya yang sedang kesal itu. Duuhh persis kayak sangkuni yang haus tahta.
"Nah Jim, lihat dan pandang anakku ini baik baik. Dia memang baru lulus, justru itu aku akan melatihnya agar jadi sepertiku. Lagipula dia pintar dan bertanggung jawab" kata papa Gracia. Andaikan papanya tau apa yang dilakukannya setiap hari. Pasti dia akan menyesal setelah mengatakan itu.
"Ck, abang gak adil ah. Masa dia anak baru langsung dikasih cabang sebesar ini" Gracia dongkol sih sebenernya. Tapi gimana ya, dia kan bagaimanapun om nya.
"Jim, yang kau sebut anak baru ini anakku loh. Wajar dong aku kasih cabang ini. Lagipula apa masih kurang kau aku beri cabang di banten?"
Ingin sekali Gracia berkata pada papanya bahwa adiknya yang satu ini, tidak akan pernah puas pada harta. Makanya sampai sekarang belum menikah, mana mau perempuan dengan orang tamak macam dia. Lalu tanpa berkata apapun lagi dia keluar sambil menggerutu sepanjang jalan. Papanya hanya bisa menghela nafas. Gracia mengerti sekarang, kenapa papanya selalu pulang telat. Pantas saja, orang yang diurusi macam om nya begitu.
KAMU SEDANG MEMBACA
I (Can't) REFUSE
FanfictionKamu yang aku butuhin, bukan dia -Shani- Kamu player, kamu juga suka bohong. Ah, tapi juga sayang -Gracia-