14. Happy end

9.3K 584 60
                                    

Semenjak kepergian Gracia, hidup Shani tak tentu arah. Raganya memang sehat, tapi tidak hatinya. Hidupnya seolah monoton, setelah ke kantor, dia lalu pulang. Dia yang selama ini mencari Gracia tak pernah berhasil. Seperti ada seseorang yang sengaja menutup aksesnya untuk bertemu Gracia. Bahkan papanya Gracia ikut bungkam tentang keberadaan Gracia. Orang suruhannya tiba tiba berhenti tak jelas di tengah jalan. Sontak saja semua keadaan itu membuatnya frustasi.

Feni yang melihat cicinya seperti itu, ikut prihatin. Dia dulu memang sangat menyalahkan cicinya, tapi melihatnya seperti ini dia jadi tidak tega. Shani jadi seorang gila kerja. Berangkat pagi buta, pulang larut malam. Rautnya yang sudah datar, jadi makin datar saja. Wajahnya seperti menanggung beban satu negara.

Feni menghampiri cicinya, "ci, udah dong, aku sedih tau lihatnya" Feni mengelus pundak Shani.

Shani pun menoleh dan tersenyum, yang sangat palsu. "Emang aku kenapa? Aku gak papa kok"

"Mata cici gak bisa bohong"

"Kalau begitu kasih tau aku dimana Gracia, biar aku gak selalu terlihat bohong lagi" wajah Shani sudah sangat melas sekarang. Betapa cinta itu bahkan bisa membuat orang gila.

"Gak sekarang ci"

Shani kembali mengalihkan pandangannya ke depan. Menatap layar tv tanpa minat.

"Aku bakal kasih tau cici, tapi cici harus janji mau berubah oke?"

Shani langsung menoleh dan mengangguk antusias.

"Gracia bakal pulang 3 tahun lagi, aku gak tau tepatnya dia dimana. Dia hanya bilang itu sama aku. Oh iya, cici harus bahagia kalo nanti mau nemuin dia nanti"

"Kamu bohong Fen"

"Aku serius ci, jadi sekarang lakukan semuanya seperti dulu. Seperti cici belum kenal sama Gracia. Dia gak akan kembali hanya dengan lihat cici seperti ini. Berbahagialah ci"

Setelah Feni mengatakan itu, dia beranjak pergi. Membuat Shani merenungkan ucapan Feni.

3 tahun ya Gre? Bukankah itu sangat lama Gre? Bahkan kita gak selama itu saat sama sama. Aku tau ini salahku. Tapi hati aku udah terlanjur cinta sama kamu. Jika 3 tahun waktu yang kamu tetapkan untuk menghukumku, aku akan terima. Aku akan tetep nunggu kamu.

.....

Pasir pantai putih bersih, seperti perasaan jujur. Gadis itu tersenyum, bukan hanya bibirnya, tapi matanya juga. Pandangannya terfokus pada satu arah. Dia belum beranjak dari tempatnya. Berdiri di sambil memandangi gadis yang 3 tahun ini tak pernah hilang dari benaknya.

Shani sekarang sudah berubah. Tidak player seperti dulu. Ya, gadis itu yang menyadarkannya. Bahwa sebuah kesetiaan itu tak ternilai harganya. Beribu malam telah dilalui Shani tanpa kehadiran gadis itu, berjuta tetes air matanya jatuh, karena terlambat menyadari perasaannya.

Angin yang berhembus menerbangkan helaian rambutnya, menutupi sebagian wajahnya. Tubuh tinggi semampai, kulit putih bersih dan wajahnya yang ayu, membuat orang yang melewati pasti setidaknya menolehkan pandangannya. Tapi Shani hanya memfokuskan pandangannya pada gadis itu.

Gadis yang dulu dia khianati, kini semakin terlihat dewasa. Shani menghela nafas. Ia ingin sekali menghampirinya, mengatakan bahwa ia adalah Shani. Seseorang yang pernah singgah dalam hidupnya.

Tawanya sungguh lepas, pasti dia sudah bahagia. Batin Shani.

Helaian rambutnya ia selipkan di belakang telinga. Gadis yang dia perhatikan dari tadi ada dihadapannya. Dia sudah bahagia, itu sudah cukup. Ya, kau tak perlu menyapanya. Memangnya kau tidak malu, setelah apa yang kau lakukan. Jangan jadi perusak rumah tangga orang Shani. Jika kau menyapanya, itu hanya akan mengingatkannya pada luka yang kau beri. Sudah cukup, dia sudah bahagia. Tinggalkan dia seperto yang dia lakukan dulu. Shani melihat sekali lagi gadis itu yang tertawa bersama putranya.

I (Can't) REFUSETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang